Oleh: Auliyaur Rosyidah
Aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh para pengemudi ojek daring pada beberapa tahun yang lalu rupanya belum menunjukkan tanda-tanda teraihnya kebijaksanaan yang mereka harapkan hingga sekarang. Para pengemudi ojek daring yang berunjuk rasa karena sistem kerja mereka yang penuh persaingan, kurang menguntungkan dan tidak terjamin sebagaimana harusnya itu hingga kini masih merasakan hal yang sama.
Sejumlah pengemudi ojek daring yang diwawancarai oleh BBC News Indonesia mengatakan bahwa dalam sehari mereka hanya memperoleh penghasilan antara Rp. 10.000 sampai dengan Rp. 100.000 saja. Bahkan adakalanya nol rupiah. Seorang pengemudi mengatakan bahwa dirinya nyaris tak pernah mendapatkan pandangan dari ponselnya menunggu orderan, namun kali itu hingga siang hari ia belum mendapatkan satu pelanggan pun padahal sudah sedari pagi mangkal di beberapa tempat. Jika taka da penumpang maka ia tidak mendapatkan penghasilan apa-apa di hari itu ia bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa mereka tidak mendapatkan upah minimun sebagaimana harusnya pekerja mendapatkannya.
Selain itu, dari segi jumlah penumpang, mereka juga dihadapkan pada masalah sarana. Mereka tidak mendapatkan tunjangan dari Perusahaan untuk biaya perawatan motornya, bahan bakarnya maupun paket internet untuk terus dalam jaringan. Dengan begitu, penghasilan pas-pasan yang mereka dapatkan itu masih harus dipangkas untuk semua keperluan tersebut.
Kondisi ini dikarenakan mereka berstatus sebagai mitra bagi Perusahaan. Sehingga mereka tidak memiliki jaminan upah minimum, perawatan sarana, dan keselamatan kerja seperti yang dimiliki para pekerja pada umumnya. Namun lebih buruknya lagi, mereka sebagai mitra yang seharusnya dapat mengutarakan complain atau diskusi kontrak terakait permasalahan-permasalah yang muncul, saat ini mereka tidak melihat adanya hak tersebut dalam realita kerjanya. Semua keputusan dibuat sepihak oleh Perusahaan dengan prinsip “take it, or leave it”. Pun saat mereka mendapatkan penilaian buruk dari penumpang, Perusahaan selalu menon-aktifkan langsung akun mereka tanpa adanya kesempatan negosiasi ataupun pembelaan dari mereka para pengemudi.
Mirisnya pihak Perusahaan menyangkal semua keluhan itu pihak Perusahaan menyatakan bahwa mereka telah berjalan sesuai undang-undang kemenhub dan undang-undang kemitraan yang berlaku. Oleh karenanya, seharusnya pemerintah segera menindak masalah ini dengan memperbaiki undang-undang tersebut agar kesejahteraan bagi para pengemudi ojek daring ini, mengingat jumlah para pekerja pengemudi daring seperti ini sangat banyak sekali di dalam negara.
Di dalam Islam, konsep kemitraan seperti kasus ini diperbolehkan. Konsep kemitraan disebut dengan musyarakah. Musyarakah adalah bentuk umum dari usaha bagi hasil di mana dua orang atau lebih menyumbangkan modal dan skill dalam melakukan usaha, dengan proporsi pembagian profit bisa sama atau tidak. Jika ditelusuri lebih dalam, kesengsaraan yang dirasakan pengemudi ojek daring tersebut sebenarnya disebabkan oleh sistem problematic yang diterapkan di negara ini.
Bagi banyak orang, pendapatan pengemudi ojek daring itu tergolong dibawah standar. Banyak sekali kebutuhan yang tidak tercukupi jika hanya mengandalkan pendapatan dari profesi tersebut. Sebab, biaya Pendidikan dan kesehatan ditanggung oleh individu, yang mana kedua biaya tersebut amatlah tinggi. Sedangkan Pendidikan dan kesehatan merupakan kebutuhan pokok yang hampir sama pentingnya seperti kebutuhan pangan, sandang, dan papan. Jika beban penanggungan biaya kesehatan dan Pendidikan ini dijamin oleh negara, maka rakyat tidak akan tersengsarakan, sebab gaji yang kecil tetap bisa menghidupi mereka tanpa perlu terhimpit menyediakan jatah keuangan untuk Pendidikan dan kesehatan. Rakyat tidak perlu bayar sekolah, ataupun biaya rumah sakit. Atau mereka tetap harus membayar tetapi dengan harga yang murah saja.
Begitulah seharusnya peran negara yang mengayomi rakyat. Negara yang benar-benar melayani rakyat. Sebab, negara mampu melakukannya dan mewujudkannya. Jika sumber daya alam dikelola dengan baik tanpa adanya privatisasi dan korupsi yang membuat kekayaan tersebut bukan masuk kepada warga melainkan masuk ke dalam kantong sejumlah anggota penguasa, semua itu bisa menjadi sumber pemasukan negara yang dapat digunakan untuk menyediakan fasilitas Pendidikan dan kesehatan untuk warga. Apalagi Indonesia adalah termasuk negara yang memiliki sumber daya alam yang besar dan melimpah dari sektor pertanian, perikanan, perkebunan, minyak, batubara, emas, dan lain sebagainya.
Namun sayangnya, hal itu ibarat mimpi siang bolong selama negara kita masih menerapkan sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang menuhankan rakyat dengan konsep kedaulatan ditangan rakyat, padahal kenyataannya rakyat hanya diwakilkan segelintir orang yang hakikatnya mudah tergoda hawa nafsu, hingga dapat dibutakan matanya dari tugas melayani rakyat. Sistem demokrasi yang mengutamakan hasil voting dalam penyelesaian keputusan, padahal voting bisa dibeli, bisa direkayasa. Hak-hak rakyat tidak terwujud, sebab sistem demokrasi ini telah memberikan jalan bagi para penguasa untuk menelantarakan hak-hak tersebut dan memupuk keuntungan bagi dirinya sendiri. Rakyat yang harusnya diberi pelayanan, sekarang harus membeli pelayanan. Tampak jelaslah bahwa sistem demokrasi ini telah menjadikan negara seperti lintah yang menghisap darah rakyatnya.
Berbeda dengan sistem Islam islam. Bila negara tercinta kita ini menerapkan sistem Islam, kedaulatan negara mutlak ada di tangan Allah swt. Pemerintah negara tidak bisa semena-mena membuat aturan sendiri (yang mana menimbulkan celah untuk membuat aturan yang menguntungkan dirinya sendiri). Pemerintah negara harus tunduk kepada aturan Allah swt. Termasuk dalam hal penjaminan fasilitas Pendidikan dan kesehatan bagi setiap warganya, yang mana akan berpengaruh besar pada kesejahteraan warganya meski mereka hanya memiliki pekerjaan dengan upah kecil sekalipun, seperti para pengemudi ojek daring ini.
Tags
Opini