Oleh : Ummu Aqeela
17 Agustus menjadi tanggal dan bulan yang bersejarah di Indonesia, tanggal dan bulan yang digadang-gadang menjadi titik penanda usainya perjuangan melawan penjajah dan menyambut kemerdekaan, sudah 78 tahun itu berlalu, namun bukan berarti perjuangan kita membangun diri dan bangsa ini telah usai. Justru, kemerdekaan yang telah kita raih itu merupakan awal, pintu gerbang atau jembatan emas untuk meraih kemerdekaan yang hakiki. Hakikat dari kemerdekaan bukan semata mampu membebaskan diri dari cengkeraman penjajahan bangsa asing. Namun, kemampuan untuk membebaskan diri dari belenggu hawa nafsu yang mencengkram jiwa dan melepaskan ketergantungan kepada selain Allah Ta’ala.
Meraih kemerdekaan hakiki merupakan misi Islam. Misi ini telah dijalankan oleh Rasulullah SAW. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilan beliau mengantarkan negeri Madinah meraih kemakmuran dan kesejahteraannya. Demikian pula dengan keberhasilan beliau memerdekakan Makkah dari cengkeraman kafir Quraisy serta meruntuhkan kejahiliyahan dengan hidayah. Dikatakan berhasil meraih kemerdekaan yang hakiki karena kesejahteraan, kedamaian, dan keamanan yang meliputi diri, masyarakat, dan bangsa, semua itu menjurus kepada tercapainya hakikat dari kemerdekaan.
Saat ini banyak bangsa yang sudah merdeka, tetapi sejatinya belum lepas dari penjajahan. Pasalnya, penjajah hanya mengubah gaya penjajahannya. Penjajahan tidak lagi secara fisik, tetapi secara non-fisik. Di antaranya dengan menggunakan sistem dan hukum penjajah, menggunakan orang-orang yang dipersiapkan dan dididik untuk menjadi komprador yang mengabdi kepada kepentingan penjajah, juga menggunakan pendekatan ekonomi melalui sistem ekonomi yang didesain untuk mengalirkan kekayaan dari wilayah yang dieksploitasi kepada para kapitalis dan negara penjajah.
Ironisnya, sistem dan hukum yang dipersiapkan oleh penjajah itu terus diterapkan dan dipertahankan di negara-negara bekas jajahan. Bahkan pembaruan sistem dan hukum pun sering dilakukan dengan arahan dan bimbingan dari penjajah. Penjajahan gaya baru ini lebih berbahaya dari penjajahan gaya kuno/penjajahan secara fisik. Sebab penjajahan gaya baru itu lebih sulit dikenali. Bahkan tak sedikit pihak yang dijajah dengan penjajahan gaya baru ini tidak merasa dan tidak menyadari sedang dijajah. Malah sebaliknya, mereka merasa sedang dibebaskan, dimerdekakan dan dimakmurkan.
Penjajahan gaya baru sebenarnya mudah disadari jika kita mau membuka hati dan pikiran; mau berpikir dan bersikap kritis terhadap keadaan. Dengan menilai fakta yang terjadi dan membandingkannya dengan klaim dan propaganda yang disebar, penjajahan gaya baru itu bisa dirasakan dan disadari.
Dalam perspektif Islam, kemerdekaan sejatinya adalah bebas untuk bertindak. Hal ini dapat dipahami karena manusia adalah makhluk yang diberikan otonomi dan kepercayaan sebagai khalīfah fil ardh, pemimpin di muka bumi. Namun, bukan berarti bebas sebebas-bebasnya (liberal), tetapi kebebasan atau kemerdekaan itu dibatasi dengan hukum-hukum dalam syariat Islam. Batasan tersebut bisa ditemukan dalam al-Quran sebagai sumber utama hukum Islam dan terdapat pula dalam hadits yang menjadi sumber hukum Islam kedua. Sehingga kemerdekaan itu mempunyai batasan dan menjadi petunjuk kepada manusia dalam menjalani kehidupan di dunia sebagai bekal untuk kehidupan di akhirat kelak.
Tugas terberat dari sebuah bangsa merdeka sesungguhnya adalah bagaimana mempertahankan kemerdekaan dirinya sebagai bangsa merdeka, serta bebas dari hegemoni internal dan eksternal yang menindas. Merdeka dari hegemoni penindasan internal berarti bebas dari penguasa-penguasa pribumi yang bertindak dan bertingkah laku laksana penjajah asing.
Kita memerlukan pemerintahan yang sayang dan cinta kepada rakyatnya sendiri. Tidak hanya cinta sebatas bibir, namun juga mencintai dan mengayomi dalam bentuk dan tindakan nyata. Merdeka dari hegemoni eksternal artinya bebas dari pengaruh dan tekanan asing (terutama di bidang politik, ekonomi, dan budaya). Bangsa yang merdeka, namun di bawah tekanan politik negara lain, sesungguhnya bukan bangsa yang merdeka. Bangsa yang merdeka, tapi menyerahkan pengelolaan sumber daya alamnya kepada pihak asing tanpa share yang adil, bukan pula bangsa yang merdeka. Alhasil, sebuah bangsa yang merdeka tetapi sangat inferior terhadap identitas budaya bangsa lain, maka sejatinya bangsa tersebut belumlah dikatakan merdeka secara utuh.
Kemerdekaan bagi bangsa Indonesia haruslah kemerdekaan yang holistik dan integral dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena kemerdekaan atau Kebebasan secara maknawi sejatinya adalah situasi batin yang terlepas dari segala rasa yang menghimpit, yang menekan dan yang menderitakan jiwa, pikiran dan gerak manusia baik yang datang dari dalam diri sendiri maupun dari luar. Dan himpitan itu hanya bisa terlepas ketika syari’at Islam tertancap tuntas dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat serta bernegara.
Wallahu’alam bishowab