Oleh : Ummu Hadyan
Liquefied Petroleum Gas alias LPG ukuran 3 kilogram (LPG 3 kg) belakangan ini dikabarkan mengalami kelangkaan di beberapa wilayah di Indonesia. Daerah-daerah tersebut adalah Magetan, Banyuwangi, dan beberapa wilayah di Pulau Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan bahwa penyebab kelangkaan karna terjadi peningkatan konsumsi. "Juli ini memang ada peningkatan konsumsi sebesar 2 persen sebagai dampak dari adanya libur panjang beberapa waktu lalu. Kami sedang melakukan recovery dari penyediaan distribusinya untuk mempercepat," ujarnya melalui keterangan resmi, Selasa (25/7). (Cnnindonesia.com 27/07/2023)
Ia mengatakan bahwa pihaknya bakal bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk menggelar operasi pasar. Selain itu, pendistribusian LPG 3 Kg pun akan dievaluasi agar tepat sasaran. (Bisnis.tempo.co 27/07/2023)
Hal serupa ditegaskan oleh Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso dalam keterangannya, Selasa (1/8/2023) bahwa PT Pertamina (Persero) melakukan sosialisasi dan mengedukasi masyarakat agar LPG bersubsidi hanya digunakan bagi masyarakat sesuai sasaran yang ditetapkan Pemerintah yakni kelompok kurang mampu dan usaha kecil dan mikro.
“Bagi masyarakat mampu yang masih menggunakan LPG 3Kg agar beralih ke LPG Non Subsidi, agar saudara-saudara kita yang membutuhkan tetap dapat menggunakan haknya," ucap Fadjar. (Tribunnews.com 01/08/2023)
Ketersediaan LPG sejatinya menjadi tanggung jawab pemerintah. Kelangkaan ini adalah tanda gagalnya pemerintah memenuhi kebutuhan pokok rakyatnya. Kisruh gas melon dinegeri ini sebenarnya bukan dikarenakan tidak tepat sasaran atau konsumsi yang meningkat. Akan tetapi pengelolaan migas yang masih berada dibawah Sistem Kapitalisme neoliberal. Pasalnya berdasarkan data yang dirilis oleh kementerian ESDM, Indonesia memiliki cadangan alam gas alam atau gas bumi sebesar 41,62 triliun kaki kubik persegi pada 2021.
Sistem Kapitalisme telah melegalkan liberalisasi migas meski negeri ini memiliki kekayaan migas namun rakyat tidak bisa menikmati pemanfaatan nya dengan murah bahkan gratis karna justru negara menyerahkan nya pada pihak swasta baik dari pengelolaan hingga penjualannya, tentu saja dengan konsep pengelolaan yang berorientasi bisnis.
Ditambah lagi dengan paradigma kepemimpinan yang diadopsi negeri ini telah menghilangkan fungsi negara sebagai pengurus umat atau ra'in. Sebaliknya penguasa hanya bertindak sebagai pembuat regulasi untuk memenuhi kepentingan kelompok tertentu atau pemilik modal. Alhasil kebijakan ekonomi yang dikeluarkan pun tidak memihak pada kepentingan rakyat. Terbukti dengan adanya LPG non subsidi dalam waktu yang bersamaan dengan kelangkaan LPG jelas akan membuka pasar pada pengusaha.
Inilah fakta pengelolaan migas dibawah Sistem Kapitalisme Neoliberal. Perubahan kebijakan apapun yang ditempuh pemerintah pada ujungnya tidak akan memudahkan rakyat memperoleh haknya terhadap sumber daya alam yang sejatinya milik mereka.
Berbeda dengan Sistem Islam. Islam menetapkan negara berkewajiban menyediakan kebutuhan pokok rakyat tanpa dibayangi dengan kelangkaan dan mahalnya harga bahan bahan pokok sehari hari. Negara juga harus menjamin bahwa setiap individu rakyat dapat terurus dengan baik. Negara harus memudahkan agar mereka dapat mengakses berbagai kebutuhan layanan publik, berbagai fasilitas umum dan sumber daya alam yang menguasai hajat publik termasuk minyak dan gas.
Sistem Ekonomi Islam meniscayakan ketersediaan migas yang merupakan sumber energi untuk semua rakyat dengan harga murah atau gratis karna Islam mengharuskan pengelolaan sumber daya alam oleh negara. Minyak dan gas merupakan jenis harta milik umum atau rakyat dimana pendapatan nya menjadi milik seluruh kaum muslimin dan mereka berserikat didalamnya sebagaiman sabda Rasulullah SAW :
اَلْمُسْلِمُوْنَ شُرَكَاءُ في ثلَاَثٍ فِي الْكَلَإِ وَالْماَءِ وَالنَّار
Artinya: Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api. (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Oleh karena itu setiap individu rakyat memiliki hak untuk memperoleh manfaat dari harta milik umum sekaligus pendapatan nya. Tidak ada perbedaan apakah individu rakyat tersebut laki laki atau perempuan, miskin atau kaya, biasa atau konglomerat, dan anak anak atau dewasa.
Adapun pengelolaannya, karna minyak dan gas tidak bisa dimanfaatkan secara langsung, melainkan hatus melalui tahapan proses pengeboran, penyulingan dan sebagainya serta memerlukan usaha keras dan biaya untuk mengeluarkannya maka negaralah yang mengambil alih penguasaan eksploitasinya mewakili kaum muslim. Kemudian menyimpan pendapatannya di Baitul Mal kaum muslimin.
Kepala negara adalah pihak yang memiliki wewenang dalam hal pendistribusian hasil dan pendapatan nya sesuai dengan ijtihad nya yang dijamin hukum hukum syariat dalam rangka mewujudkan kemaslahatan kaum muslimin.
Dimungkinkan untuk melakukan pembagian hasil barang tambang dan pendapatan milik umum dalam bentuk bentuk :
Pertama, untuk membiayai seluruh proses operasional produksi minyak dan gas. Pengadaan sarana dan infrastrukur sejak riset, eksploitasi, pengolahan hingga distribusi ke SPBU SPBU. Termasuk didalam nya membayar seluruh kegiatan administrasi dan tenaga yakni karyawan, tenaga ahli atau pun direksi yang terlibat didalamnya.
Kedua, dibagikan kepada individu individu rakyat yang memang pemilik harta milik umun beserta pendapatannya. Khilafah tidak akan terikat oleh aturan tertentu dalam pendistribusian ini. Khilafah berhak membagikan minyak bumi dan gas kepada yang memerlukannya untuk digunakan secara khusus dirumah rumah mereka dan pasar pasar mereka secara gratis.
Boleh saja Khilafah menjual harta milik umum ini kepada rakyat dengan harga yang semurah murahnya atau dengan harga pasar. Ia juga boleh membagikan uang hasil keuntungan harta milik umum kepada mereka. Semua tindakan tadi dipilih nya dalam rangka mewujudkan kebaikan dan kemaslahatan bagi seluruh rakyat. Pengelolaan migas dalam Khilafah sungguh akan mensejahterakan rakyat dan mengembalikan hak hak mereka.
Wallahu a'lam bish shawab.
Tags
Opini