Oleh. Lilik Yani (Muslimah Peduli Peradaban)
Ketundukan kita terhadap aturan Allah, itu yang harus ditanamkan kepada umat. Ketika Allah menetapkan aturan bahwa laki-laki adalah pemimpin wanita, masihkah berani melawan dengan menjadi imam bagi para laki-laki.
Tak cukupkah aturan Allah sebagai panduan segala aktivitas agar selamat dunia akherat. Tanpa perlu menunjukkan kelebihan diri, kemampuan lebih, kecerdasan di atas rata-rata hingga mampu menjadi pemimpin tertinggi dalam sebuah negeri?
Jika Allah sudah menetapkan laki-laki pemimpin wanita, masihkah berani melawan?
Dilansir dari REPUBLIKA.CO.ID, Masih ingat Amina Wadud? Itu tuh, wanita liberal yang menciptakan sensasi pada 2005 dengan menjadi imam shalat Jumat di gereja Katedral di AS. Yang nyeleneh lagi, makmum yang ikut-ikutan shalat di belakangnya tidak hanya kaum perempuan, tapi banyak juga yang laki-laki. Tentu saja ibadah shalat dengan makmum campur-aduk alias gado-gado ini menimbulkan kecaman dunia Islam.
Tak cukup sampai di situ, tiga tahun kemudian, tokoh kebanggaan kaum liberal yang juga profesor studi Islam di Virginia Commonwealth University ini, kembali berulah. Wadud didapuk sebagai imam shalat di Pusat Pendidikan Muslim di Oxford, Inggris pada 2008. Juga dengan makmum campur-aduk, laki-laki dan perempuan. Hebatnya lagi, bak khatib Jumat beneran, si Wadud juga memberikan khutbah singkat sebelum shalat dua rakaat.
Peran Fatwa MUI demi Mencegah Umat Tersesat
Beragam kecaman dari ulama-ulama Islam dunia menampar muka Wadud, namun ia tak ambil pusing. Untuk menjaga agar kejadian nyeleneh ala Amina ini tidak terjadi di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) segera mengeluarkan fatwa.
Dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI VII, pada 19-22 Jumadil Akhir 1426 H/26-29 Juli 2005 M, MUI menetapkan Fatwa Nomor: 9/MUNAS VII/MUI/13/2005 Tentang Wanita Menjadi Imam Shalat.
Hal ini, menurut MUI, perlu dilakukan untuk memberikan kepastian hukum dalam syari’at Islam tentang hukum wanita menjadi imam shalat, agar dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam. MUI mendasarkan fatwanya pada Kitabullah, sunnah Rasulullah SAW, ijma' ulama, dan kaidah-kaidah fiqh.
Firman Allah SWT antara lain: "Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita)..." (QS An-Nisaa': 34)
Sedangkan hadits-hadits Nabi SAW, antara lain:
Rasulullah bersabda, “Janganlah seorang perempuan menjadi imam bagi laki-laki.” (HR Ibnu Majah)
Rasulullah bersabda, “Saf (barisan dalam shalat berjamaah) terbaik untuk laki-laki adalah saf pertama (depan) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf terakhir (belakang); sedangkan saf terbaik untuk perempuan adalah saf terakhir (belakang) dan saf terburuk bagi mereka adalah saf pertama (depan).”
Adapun berdasarkan ijma’ sahabat, di kalangan mereka tidak pernah ada wanita yang menjadi imam shalat di mana di antara makmumnya adalah laki-laki. "Para sahabat juga berijma’ bahwa wanita boleh menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya hanya wanita, seperti yang dilakukan oleh Aisyah dan Ummu Salamah.
Oleh sebab itu, Sidang Komisi C Bidang Fatwa MUI memutuskan fatwa. "Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, MUI memutuskan bahwa wanita menjadi imam shalat berjamaah yang di antara makmumnya terdapat orang laki-laki hukumnya haram dan tidak sah. Adapun wanita yang menjadi imam shalat berjamaah yang makmumnya wanita, hukumnya mubah."
Mengapa Wanita Tak Boleh Menjadi Imam Laki-Laki?
Rasulullah SAW adalah panutan bagi umat Islam. Panutan bagi seluruh manusia di dunia ini.
اَيُّهَا النَّاسُ قَدْ جَاۤءَتْكُمْ مَّوْعِظَةٌ مِّنْ رَّبِّكُمْ وَشِفَاۤءٌ لِّمَا فِى الصُّدُوْرِۙ وَهُدًى وَّرَحْمَةٌ لِّلْمُؤْمِنِيْنَ
Demikian ayat Al-Qur'an, bahwa Rasulullah SAW dan ajaran Islam serta ajaran Al-Qur'an merupakan rahmat karunia kepada semua alam. Bukan hanya alam manusia, tapi alam gaib dan semesta seluruhnya.
Rasulullah SAW mencontohkan bahwa dalam menjalankan ibadah salat, laki-laki menjadi imam dan perempuan menjadi makmum di belakangnya. Tidak perlu ditanya lagi mengapa perempuan tidak boleh menjadi imam terhadap makmum yang laki-laki.
Rasulullah SAW tidak mencontohkan hal itu (perempuan jadi imam), para sahabat tidak mencontohkan hal itu. Para ulama juga tentu harus mengikuti apa yang Rasulullah laksanakan. Di zaman sekarang, masalah ini (perempuan jadi imam) diangkat menjadi masalah emansipasi, bahwa perempuan sama dengan laki-laki, berarti menjadi imam pun boleh. Di sini kita harus setop dulu, ajaran agama tidak bisa diganti apabila zaman berubah.
Ajaran agama dapat berubah apabila terdapat keleluasaan di sana. Seperti misalnya kalau kita melaksanakan salat berjamaah, kita harus merapatkan barisan. Tapi ketika pandemi [barisan] harus berjarak. Di sini berarti fikih salat kita sudah berubah karena keadaan berubah.
Tapi, masalah imam perempuan ini tidak (bisa berubah). Perempuan boleh menjadi imam salat kepada jemaah yang perempuan juga, jadi makmumnya anak yang belum dewasa dan perempuan. Itu sudah diwariskan, dan tidak boleh diubah lagi.
Kaum laki-laki jadi imam perempuan. Syarat imam juga harus fasih bacaannya, tidak bisa sembarangan. Dengan demikian, jelas bahwa perempuan tidak menjadi imam itu tidak masalah. Dan di sini lah kita harus meneladani Rasulullah. Ajaran Islam yang ada sekarang karena ada kita yang menjaga dan tidak mengubah ajaran pokok Islam.
Ketetapan Allah adalah Terbaik
QS. An-Nisa Ayat 34
اَلرِّجَالُ قَوَّامُوۡنَ عَلَى النِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ اللّٰهُ بَعۡضَهُمۡ عَلٰى بَعۡضٍ وَّبِمَاۤ اَنۡفَقُوۡا مِنۡ اَمۡوَالِهِمۡ ؕ فَالصّٰلِحٰتُ قٰنِتٰتٌ حٰفِظٰتٌ لِّلۡغَيۡبِ بِمَا حَفِظَ اللّٰهُ ؕ وَالّٰتِىۡ تَخَافُوۡنَ نُشُوۡزَهُنَّ فَعِظُوۡهُنَّ وَاهۡجُرُوۡهُنَّ فِى الۡمَضَاجِعِ وَاضۡرِبُوۡهُنَّ ۚ فَاِنۡ اَطَعۡنَكُمۡ فَلَا تَبۡغُوۡا عَلَيۡهِنَّ سَبِيۡلًا ؕاِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلِيًّا كَبِيۡرًا
Laki-laki (suami) itu pelindung bagi perempuan (istri), karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan), dan karena mereka (laki-laki) telah memberikan nafkah dari hartanya. Maka perempuan-perempuan yang shalih adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada, karena Allah telah menjaga (mereka).
Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan nusyuz, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka, tinggalkanlah mereka di tempat tidur (pisah ranjang), dan (kalau perlu) pukullah mereka. Tetapi jika mereka menaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya. Sungguh, Allah Mahatinggi, Mahabesar.
Masih dalam kaitan larangan agar tidak berangan-angan dan iri hati atas kelebihan yang Allah berikan kepada siapa pun, laki-laki maupun perempuan, ayat ini membicarakan secara lebih konkret fungsi dan kewajiban masing-masing dalam kehidupan. Laki-laki atau suami itu adalah pelindung bagi perempuan atau istri, karena Allah telah melebihkan sebagian mereka, laki-laki, atas sebagian yang lain, perempuan, dan karena mereka, yakni laki-laki secara umum atau suami secara khusus, telah memberikan nafkah apakah itu dalam bentuk mahar ataupun serta biaya hidup rumah tangga sehari-hari dari hartanya sendiri.
Maka perempuan-perempuan yang saleh adalah mereka yang taat kepada Allah dan menjaga diri ketika suami tidak ada di rumah atau tidak bersama mereka, karena Allah telah menjaga diri mereka. Perempuan-perempuan yang kamu khawatirkan akan melakukan nusyuz (durhaka terhadap suami), seperti meninggalkan rumah tanpa restu suami, hendaklah kamu beri nasihat kepada mereka dengan lemah lembut dan pada saat yang tepat, tidak pada sembarang waktu.
Dan bila nasihat belum bisa mengubah perilaku mereka yang buruk itu, tinggalkanlah mereka di tempat tidur dengan cara pisah ranjang, dan bila tidak berubah juga, kalau perlu pukullah mereka dengan pukulan yang tidak menyakitkan tetapi memberi kesan kemarahan. Tetapi jika mereka sudah menaatimu, tidak lagi berlaku nusyuz, maka janganlah kamu mencari-cari alasan untuk menyusahkannya dengan mencerca dan mencaci maki mereka. Sungguh, Allah Mahatinggi, Maha-besar.
Kaum laki-laki adalah pemimpin, pemelihara, pembela dan pemberi nafkah, bertanggung jawab penuh terhadap kaum perempuan yang menjadi istri dan yang menjadi keluarganya. Oleh karena itu, wajib bagi setiap istri menaati suaminya selama suami tidak durhaka kepada Allah. Apabila suami tidak memenuhi kewajiban dan tanggung jawabnya, maka istri berhak mengadukannya kepada hakim yang berwenang menyelesaikan masalahnya.
Menurut riwayat Hasan al-Bashri:
"Seorang perempuan mengadu kepada Rasulullah saw, bahwa suaminya telah memukulnya. Rasulullah saw bersabda, "Ia akan dikenakan hukum kisas. Maka Allah menurunkan ayat Ar-Rijalu qawwamuna 'ala an-nisa," (Riwayat al-hasan al-Bashri dari Muqatil).
Diriwayatkan pula bahwa perempuan itu kembali ke rumahnya dan suaminya tidak mendapat hukuman kisas sebagai balasan terhadap tindakannya, karena ayat ini membolehkan memukul istri yang tidak taat kepada suaminya, dengan tujuan mendidik dan mengingatkannya.
Yang dimaksud dengan istri yang saleh dalam ayat ini ialah istri yang disifatkan dalam sabda Rasulullah saw:
"Sebaik-baik perempuan ialah perempuan yang apabila engkau melihatnya ia menyenangkan hatimu, dan apabila engkau menyuruhnya ia mengikuti perintahmu, dan apabila engkau tidak berada di sampingnya ia memelihara hartamu dan menjaga dirinya." (Riwayat Ibnu Jarir dan al-Baihaqi dari Abu Hurairah).
Inilah yang dinamakan istri yang saleh, sedang yang selalu membangkang, yaitu meninggalkan kewajiban selaku istri, seperti meninggalkan rumah tanpa izin suami untuk hal-hal yang tidak penting, dinamakan istri yang nusyuz (yang tidak taat).
Bagaimana seharusnya suami berlaku terhadap istri yang tidak taat kepadanya (nusyuz), yaitu menasihatinya dengan baik. Kalau nasihat itu tidak berhasil, maka suami mencoba berpisah tempat tidur dengan istrinya, dan kalau tidak berubah juga, barulah memukulnya dengan pukulan yang enteng yang tidak mengenai muka dan tidak meninggalkan bekas.
Setelah itu para suami diberi peringatan, bila istri sudah kembali taat kepadanya, jangan lagi si suami mencari-cari jalan untuk menyusahkan istrinya, seperti membongkar-bongkar kesalahan-kesalahan yang sudah lalu, tetapi bukalah lembaran hidup baru yang mesra dan melupakan hal-hal yang sudah lalu. Bertindaklah dengan baik dan bijaksana. karena Allah Maha Mengetahui dan Mahabesar.
Peran Negara agar Perempuan Tak Melawan Aturan
Meski secara kecerdasan, kemampuan, keahlian bisa dipelajari oleh perempuan untuk menjadi pemimpin salat, atau pemimpin negeri sekalipun. Namun, ketika aturan Allah tidak mengijinkan. Maka sikap terbaik yang harus diberikan adalah taat aturan Allah, jangan melawan.
Apalagi terbukti bahwa aturan Allah yang terbaik untuk menyelamatkan dan melindungi umat. Meski sudah jelas begitu, mengapa masih tidak mau taat kepada aturan dari Sang Pengatur alam semesta ini?
Kecenderungan umat untuk melawan aturan Allah, mengapa masih juga ada hingga saat ini? Tak takutkah dengan azab Allah kepada orang yang melawan ketetapan Allah?
Perlu peran pemimpin umat yang senantiasa menjaga dan melindungi umatnya agar tidak melawan arus. Berikan penyadaran dalam jiwanya dengan memberikan suatu pandangan bahwa kita harus taat kepada Allah dalam kondisi apapun.
Bukan masalah bisa atau tidak bisa, mau dan tidak mau saja, tapi berikan pemahaman bahwa yang penting dari semua itu adalah seorang hamba harus tunduk kepada Allah. Tunduk taat kepada Allah dalam kondisi apapun. Tunduk tanpa menyela, tunduk tanpa alasan, kecuali karena ketaatan pada aturan Allah lillahi ta'ala.
Wallahu a'lam bish shawwab
Tags
Opini