Kisruh Pengelolaan Nikel : Korupsi VS Hirilisasi

Oleh : Hj. Sophie


Di tengah semakin sulitnya bertahan hidup bagi rakyat kecil karena semakin tingginya harga-harga kebutuhan pokok, namun di kalangan para pengusaha yang melibatkan juga pejabat negara justru terjadi kembali kasus korupsi yang tentu ini bukanlah hal yang baru. Entah sudah berapa kasus serupa yang terjadi di negeri ini. Mirisnya kasus ini dilakukan oleh orang-orang yang bertanggung jawab dalam pengelolaan Sumber Daya Alam yang merupakan sumber pendapatan negara yang seharusnya dialokasikan untuk kepentingan rakyat. Namun lagi-lagi demi kepentingan pribadi mereka melakukan kecurangan. Kali ini korupsi tersebut terjadi di bidang tambang nikel di Sulawesi Tenggara. Yang merugikan negara hingga 5,7 triliun.

Kasus ini menjadi bukti bahwa telah terjadi kekisruhan dalam pengelolaan nikel. Semua ini terjadi karena adanya penerbitan Rencana Kerja Anggaran Biaya (RKAB) oleh tersangka pejabat tanpa evaluasi dan verifikasi yang diperjual belikan sehingga dengan bermodal RKAB tersebut oknum pangusaha bisa menjual hasil tambang ilegal agar menjadi seolah-olah legal, sehingga di lapangan telah terjadi pencurian nikel secara terus menerus. Tanpa pengawasan dari negara. Dengan demikian jelas bahwa negara telah ditipu oleh oknum pengusaha dan penguasa.

Tindakan penambangan nikel ilegal bukan hanya merugikan negara tapi juga menyebabkan kerusakan alam, laut menjadi tercemar sehingga nelayan mendapatkan hasil laut yang minim. Dan juga menyebabkan pencemaran lingkungan sehingga mengganggu kesehatan rakyat yang hidup di sekitar wilayah tersebut. Bahkan mereka sudah mengajukan protes namun tidak pernah direspon oleh pemerintah maupun aparat negara. Alih-alih masyarakat sekitar menjadi sejahtera justru malah sebaliknya, mengalami peningkatan kemiskinan. Makin tampak nyata inilah hasil liberalisasi tambang nikel.

Bisnis tambang nikel tentu saja berimplikasi pada iklim kendaraan berbasis listrik yang hal ini sejalan dengan ambisi pemerintah. Sehingga menyebabkan beragam kesepakatan transaksional seputar hirilisasi turut mengiringi. Dengan adanya hirilisasi industri, SDA yang diekspor keluar negeri akan memiliki nilai jual yang lebih tinggi. Dan menjadi wajib untuk meminimalkan dampak dari penurunan harga komoditas. Dengan demikian ekspor barang nanti bukan lagi berupa bahan baku tapi barang setengah jadi atau barang jadi agar harga tetap bisa stabil.

Untuk memperkuat hirilisasi industri maka pemerintah mendorong lebih banyak investasi ke dalam negeri. Dan tentu semuanya berasal dari pihak swasta baik lokal maupun asing. Artinya hirilisasi hanya akan tersisa sebatas wacana bagi rakyat, sedangkan penikmatnya adalah swasta, khususnya oligarki di sekeliling penguasa. Dengan demikian membuka peluang praktik korupsi di kalangan pengusaha dan penguasa. Inilah potret jika pengelolaan SDA dikelola dengan sistem kapitalisme. Mereka akan menghalalkan segala cara untuk meraih keuntungan pribadi tanpa memikirkan rakyat dan dampaknya bagi lingkungan. Padahal sejatinya tugas negara adalah mengurusi rakyatnya. 

Dengan fakta yang ada jelas pengelolaan negara termasuk di dalamnya tata kelola SDA akan terjamin apabila dilakukan hanya dengan menerapkan sistem Islam. Korupsi dan penguasaan SDA oleh individu akan terhindar karena dikelola oleh orang-orang di dalam insitusi daulah yang bertakwa dan amanah. Semua keuntungan dari pengelolaan SDA sepenuhnya akan digunakan untuk memenuhi kebutuhan dan kepentingan rakyat, sehingga kesejahteraan akan tercipta dalam kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Dengan sistem Islam dalam naungan Daulah Islamiyah akan terbentuk keberkahan hidup baik untuk kaum muslim maupun non muslim. Karena Islam rahmat bagi semesta alam. 

Wallahu’alam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak