Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial dan Keluarga
Laman berita www.tubankab.go.id, pada tanggal 1 agustus 2023 melansir bahwa, Mas Lindra, sapaan Bupati Tuban menyampaikan rasa bangganya karena dapat bergabung bersama warga dalam upaya pelestarian budaya setempat. Menurutnya, kesempatan ini menjadi salah satu momen bertemunya masyarakat dan pemimpinnya.
Lebih lanjut, kirab budaya ini menjadi wujud edukasi generasi muda mengenai sejarah dan pengorbanan leluhur. Selain itu, menjadi wahana membentuk jati diri dan karakter pada generasi muda Kabupaten Tuban. Upaya pelestarian budaya tidak harus dibenturkan dengan agama. Budaya luhur akan selalu dapat berdampingan ajaran agama.
Sesungguhnya, hubungan Islam dan budaya sangat jelas kaidahnya. Islam menjadi standar, sedangkan budaya adalah objek yang distandarkan. Jika budaya lokal itu sesuai dengan Islam, tidak dilarang mengambilnya. Misalnya, memakai “iket” sebagai penutup kepala khas laki-laki Sunda. Sebaliknya, jika budaya lokal itu tidak sesuai Islam, tidak boleh untuk diamalkan. Misalnya, mengenakan “kemben” bagi perempuan Jawa sebab Islam mengharamkan hal ini karena menampakkan aurat.
Adalah hal yang perlu didudukan Kembali tatkala budaya lokal justru menjadi standarnya. Sebaliknya, ajaran Islam menjadi objek yang distandarkan dengan alasan demi terwujudnya kerukunan. Walhasil, Islam pun harus ditundukkan dan dikalahkan di bawah budaya.
Telah nyata bahwa para pengusung moderasi menghendaki budaya dan kearifan lokal menjadi alat untuk menguatkan arus opini moderasi beragama. Mereka menyatakan bahwa untuk menyatukan keberagaman di negeri ini (termasuk agama dan suku bangsa) adalah dengan sikap inklusif atau terbuka. Ini berarti terbuka terhadap agama lain dan menganggap semua agama adalah sama dan benar, padahal ini jelas-jelas bertentangan dengan Islam.
Tampak terang pula mereka hendak menggiring umat Islam, termasuk generasi mudanya, untuk makin jauh dari pemahaman Islam yang lurus. Padahal, dalam pandangan Islam, keberagaman budaya dan suku bangsa tidak pernah menjadi masalah.
Terlebih lagi, fakta tidak terbantahkan bahwa selama 14 abad Negara Islam menguasai hampir 2/3 dunia, tidak pernah terjadi penjajahan, diskriminasi, ataupun eksploitasi terhadap warga asli negeri. Saat pertama kali Rasulullah saw. mendirikan Negara Islam di Madinah, sama sekali tidak memperlihatkan arogansi keagamaan ataupun kesukuan.
Islam yang beliau bawa justru mengantarkan semangat persaudaraan. Berbagai suku bangsa yang pada awalnya bertentangan dan bermusuhan, dipersaudarakan oleh kalimat “Laa ilaaha illallaah”. Jelaslah bahwa bukan budaya yang mampu mempersatukan keberagaman ini, melainkan akidah dan aturan Islam. Wallahu a’lam bi ash showab