Oleh: Mai (Ummu Mufidah)
Perayaan kemerdekaan begitu semarak setiap tahunnya. Sangsaka merah putih dikibarkan diposisi kehormatan, darat, laut dan udara. Umbul-umbul berliuk-liuk ditepi jalan utama sampai lorong-lorong kecil.
Berbagai perlombaan dan pertandingan diselenggarakan untuk meramaikan atau sekedar leluconan. Rakyat dimintai iuran, sebagai bentuk keterlibatan. Demikian terus berulang, sampai 78 kali terlewatkan. Tak sisakan satupun pesan, kecuali sampah-sampah yang berserakan.
Dikutip dari Wikipedia, merdeka adalah bebas dari segala belenggu, aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu. Dalam kata bahasa Melayu dan Indonesia yang bermakna bebas atau tidak bergantung namun independen. Di kepulauan Nusantara, istilah ini juga berarti bebas berdiri sendiri yang dibebaskan.
Jika kembali pada makna kemerdekaan demikian, tentu saat ini kita masih sangat jauh dari kata merdeka. Karena sampai saat ini negara kita masih terjajah, baik secara pemikiran maupun ekonomi.
*Penjajahan Pemikiran dalam Bentuk Moderasi Beragama (MB)*
Sayangnya sebagian besar ummat Islam tak menyadari atas bentuk penjajahan ini. Mereka tergiring isu moderasi beragama yang digencarkan pemerintah sebagai program prioritas melalui seluruh jajaran kementriannya yang tertuang dalam RPJMN 2020-2024. Semua lini harus mengarusutamakan MB. Namanya memang moderasi beragama, namun targetnya hanya Islam.
MB tampil ramah membawa damai, dari istilahnya seolah Islam berdampingan dengan kemodernan dibumbui dalil tafsir ummatan washatan yang gegabah. Hingga ummat tak melihat hakekat sekularisasi MB yang samar dimata umat. MB menyerang islam politik, racunnya kini mulai bekerja. Muncul generasi Islam moderat yang daya politisnya mandul, mereka yang kompromis dengan Barat hingga Barat leluasa menjarah dan menjajah negeri.
Selain itu daya kritis umat lemah terhadap problematika umat bahkan cenderung tak peduli, individualistik, bagi mereka yang penting bisa bertahan hidup. Di samping daya nalar terhadap pemahaman islam lemah, walhasil mereka sendiri phobia terhadap ajaran islam seperti khilafah dan jihad.
Moderasi menciptakan sosok ummat yang zahirnya Islam, tapi menganut pola pikir Barat, bahkan menjunjung tinggi nilai-nilai Barat seperti sekularisme, demokrasi, kapitalisme, liberalisme, feminisme, dll. Islam cukup di wilayah keyakinan dan ritual, tak perlu mengatur hidup manusia.
Virus MB bukan lagi wacana atau sekadar opini, tapi sudah terimplementasi merata dari mulai PAUD hingga kampus, dari keluarga sampai negara, dari pendidikan sampai semua bidang kehidupan, dari rakyat biasa hingga para tokoh, bahkan ulama. Kuku-kukunya menancap kuat di benak ummat Islam. Inilah tujuan Barat yang termuat dalam dokumen RAND.corp “Building Islamic Moderate”. Yaitu mengokohkan peradaban Barat dengan menciptakan sosok Muslim moderat yang sekuler.
Peneliti Senior RAND Corporation Angel Rabasa menyatakan bahwa “moderat” artinya ‘orang yang mau menerima pluralisme, feminisme, kesetaraan gender, demokrasi, humanisme, dan sebagainya’. Hal ini menunjukkan definisi moderat sangat berbeda dengan Islam. Sebab, nilai-nilai yang kaum moderat usung adalah berasal dari Barat (buatan manusia), bukan dari aturan Islam (buatan Allah). Artinya, mereka menafsirkan kehidupan beragama itu—termasuk kehidupan beragama kaum muslim—harus menerima apa pun yang peradaban Barat nilai baik. Jika tidak menerima, akan mendapat label tidak moderat. Kelompok tidak moderat inilah yang kemudian mendapat cap radikal dan tersemat stigma menurut tafsir kaum moderat itu sendiri.
Dengan dalih moderasi dan ketiadaan aktivitas ijtihad yang sesuai syariat, Barat mengarahkan negeri-negeri muslim untuk menalar dan mengkritisi ajaran agama mereka sendiri. Bahkan, sampai taraf menafsirkan ayat-ayat berkaitan ibadah sesuai perspektif moderasi yang mengatasnamakan kemaslahatan manusia. Semua ini tidak lepas dari asas sekularisme yang memang terus Barat deraskan.
Ide moderasi lahir dari Sekularisme yang merupakan paham yang memisahkan agama dari kehidupan. Arus sekularisme yang terus mengalir seiring modernisasi pada akhirnya melahirkan moderasi beragama, ide yang menggiring umat membenarkan pemahaman beragama ala Barat. Tidak hanya itu, kaum muslim mendapat ruang untuk mengutak-atik ajaran agamanya sendiri berdasarkan tafsir pribadi.
Hasilnya, pembahasan asnaf zakat, pembagian waris, kewajiban menerapkan hukum Islam kafah, serta haramnya riba yang sudah pasti/qath’i dalilnya mereka rekonstruksi sesuai kebutuhan zaman dan kepentingan segelintir orang.
*Penjajahan Ekonomi*
Dilansir dari Suara.com - Kementerian Keuangan mencatat adanya kenaikan jumlah utang pemerintah pada bulan Juni 2023, dimana angkanya bertambah Rp17,68 triliun sehingga total utang RI menembus Rp7.805,19 triliun. Hal tersebut berdasarkan data APBN KiTa edisi bulan Juli 2023 yang dikutip Jumat (28/7/2023).
Tidakkah kita terheran, mengapa negara kita bisa sampai terjerat oleh utang berbunga dengan jumlah yang begitu fantastis? Sementara Indonesia adalah negeri yang kaya akan SDAnya.
Ini semua tentu karena ada kesalahan pada tata kelola kepemilikan umum, akibat negara kita menerapkan sistem kapitalisme. Negara yang gemar berutang, tentu jauh dari kemandirian atau kemajuan. Ia akan disetir oleh negara sang pemberi utang. Contohnya saja Zimbabwe yang harus mengganti mata uangnya menjadi mata uang China (Yuan) dan Sri Lanka yang harus menyerahkan pelabuhannya kepada China akibat gagal membayar utang. Inilah bahaya utang bagi sebuah negara, yakni terancam kedaulatannya. Tentu kita tak ingin negeri kita tercinta berhasib sama dengan dua negeri tersebut.
Sungguh ironis, karena teriakan merdeka kita masih dilengkapi dengan kasus kelaparan di Papua, data nasional stunting yang masih diatas 21, 6%, harga kebutuhan yang kian melunjak, bahkan pungutan pajak yang kian membuat rakyat sesak.
*Islam Agama Pembebasan*
Jauh sebelum kedatangan Islam, umat manusia berada dalam cengkeraman perbudakan sesama manusia. Secara politik, dua negara adidaya, Persia dan Romawi, mendominasi berbagai wilayah di Barat maupun Timur. Kedua kerajaan besar itu menjajah dan mengeksploitasi daerah-daerah yang berada dalam kekuasaan mereka; memperbudak dan menyiksa penduduk aslinya, menguras harta mereka dan merusak moralnya.
Pada sisi lain, peradaban manusia diperbudak hawa nafsu. Tolak ukur benar dan salah, terpuji dan tercela adalah hawa nafsu manusia. Di Persia, misalnya, berkembang ajaran Mazdak yang menganggap harta dan wanita sebagai air dan rumput; menjadi milik umum boleh dimiliki siapa saja. Akibatnya, perampokan dan perzinahan serta pemerkosaan marak di sana.
Di bidang peribadatan, manusia menyembah berhala, alam, manusia juga binatang. Di Mesir, Firaun dipuja dan disembah sebagai Tuhan. Di Romawi para kaisar dianggap sebagai titisan dewa. Titah para raja dan kaisar pun dianggap sebagai perintah Tuhan yang tak boleh dilawan.
Pada masa demikian, Islam datang sebagai risalah yang mulia, membebaskan dan memerdekakan umat manusia. Misi pembebasan dan kemerdekaan yang diberikan Islam salah satunya tercermin dari pernyataan Rib’i bin Amir at-Tamimi ra.
Imam Ibnu Katsir dalam kitabnya, Al-Bidayah wa an-Nihayah, dalam bab Perang Qadisiyah menceritakan kedatangan Sahabat Nabi saw. selaku utusan pasukan Islam, Rib’i bin Amir at-Tamimi ra. Ia menemui Rustum, Panglima Perang Persia. Di hadapan Rustum ia berkata, “Allah telah mengutus kami untuk mengeluarkan siapa saja yang Dia kehendaki dari penghambaan kepada sesama hamba menuju penghambaan hanya kepada Allah; dari kesempitan dunia menuju keluasannya; dari kezaliman agama-agama menuju keadilan Islam.”
Penjelasan Rib’i bin Amir at-Tamimi ra. adalah kenyataan. Umat manusia mendapatkan pembebasan dan kemerdekaan hakiki hanya dalam Islam. Bangsa Arab yang semula penyembah berhala, terbagi menjadi beberapa kelas sosial; bangsawan, rakyat jelata dan budak. Oleh Islam mereka diubah menjadi umat bertauhid dan setara kedudukannya di antara di hadapan Allah SWT. Abdullah bin Mas’ud ra. adalah seorang dhuafa dan penggembala kambing. Bilal adalah mantan budak Habsyah. Keduanya sejajar dengan Abu Bakar ash-Shiddiq ra. dan Abdurrahman bin Auf ra. yang bangsawan dan saudagar.
*Merdeka dari Hukum Manusia*
Dengan Islam pula manusia dibebaskan dari penghambaan pada aturan yang datang dari hawa nafsu manusia. Pada masa jahiliah, aturan biasanya dibuat oleh para raja dan para rahib. Hukum-hukum yang mereka buat kerap menyengsarakan kehidupan umat manusia sendiri, seperti membunuh bayi perempuan, melacurkan para budak wanita, praktek riba, dsb. Para bangsawan, raja dan para rahib itulah yang menentukan halal dan haram, baik dan buruk. Allah SWT berfirman:
Mereka menjadikan para pendeta mereka dan rahib-rahib mereka sebagai tuhan selain Allah (TQS at-Taubah [9]: 31).
Ayat ini ditafsirkan dengan Hadis Rasulullah saw. saat membacakan ayat kepada Adi bin Hatim, yang saat itu masih beragama Nasrani. Adi bin Hatim berkata, “Wahai Rasulullah, kami tidaklah menghambakan diri kepada mereka (menjadikan mereka sebagai tuhan-tuhan kami, red.).” Namun, Rasulullah saw. bersabda, "Bukankah mereka telah mengharamkan apa saja yang telah Allah halalkan, lalu kalian pun mengharamkannya; mereka pun telah menghalalkan apa saja yang telah Allah haramkan, lalu kalian juga menghalalkannya?”
Adi bin Hatim berkata, “Benar.” Lalu Rasulullah saw. bersabda, “Itulah bentuk penghambaan/ibadah mereka (kepada para pendeta dan rahib mereka).”
Hukum yang dibuat hawa nafsu manusia tentu penuh kelemahan, saling bertentangan dan dibuat untuk kepentingan para pembuatnya. Dalam sistem kerajaan (monarki), para raja dan keluarganya memiliki hak prerogatif membuat hukum dan privilege, yakni berkedudukan lebih tinggi diatas undang-undang dan hukum. Mereka bebas melakukan apa saja tanpa bisa disentuh hukuman.
Dalam sistem demokrasi, yang memiliki hak membuat hukum/undang-undang adalah anggota dewan perwakilan rakyat. Mereka bisa membuat aturan sekalipun kelak aturan itu menyusahkan rakyat yang sudah memilih mereka. Di negeri ini, RUU Omnibus Law atau Cipta Kerja, misalnya, meski ditentang oleh banyak kaum buruh dan sebagian besar masyarakat, tetap akan disahkan oleh anggota dewan. Begitulah penghambaan pada hukum yang berasal dari hawa nafsu manusia. Berlawanan diametral dengan syariah Islam. Hanya Allah SWT yang berwenang sebagai Al-Hakim.
*Merdeka dari Kezaliman*
Demikianlah, Islam datang membebaskan manusia dari penghambaan kepada sesama mahluk/manusia menuju penghambaan hanya kepada Allah SWT. Ketika ini terwujud, manusia akan terbebas dari kezaliman dan keburukan agama-agama, ideologi dan ajaran selain Islam. Kelapangan dunia pun akan dirasakan oleh segenap kaum Muslim dan umat manusia pada umumnya. Begitulah janji Allah SWT:
Jika penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi (TQS al-A’raf [7]: 96).
Negeri-negeri yang rakyatnya memeluk Islam baik secara damai maupun melalui peperangan (futuhat) juga terbebas dari eksploitasi dan penindasan. Saat pasukan Amr bin al-‘Ash ra. menaklukkan Mesir mereka melindungi umat Kristen Qibthi (Koptik) dan tidak memaksa mereka memeluk Islam. Itu sebabnya hingga kini mereka tetap eksis di negeri Mesir.
Seorang orientalis dan arkeolog asal Inggris, Stanley Lane Poole dalam bukunya, Moors in Spain, mengagumi kecemerlangan dan kemanusian peradaban Islam. Ia menulis, “Kemana saja tentara Arab (Muslim) masuk, kita mendapati mereka berkejaran dengan orang-orang Yahudi…Jika peperangan selesai, orang-orang Yahudi dan orang-orang Islam itu bersama-sama dalam memupuk ilmu pengetahuan dan falsafah serta kesenian. Ini suatu hal yang merupakan sifat khas dari pemerintahan Islam pada zaman abad-abad Pertengahan. Orang-orang Islam mengatur pemerintahan Islam di Cordova yang mengagumkan pada abad-abad pertengahan itu. Ketika seluruh Eropa tenggelam dalam kejahatan, kebiadaban, dan perkelahian, Islam sendirian memegang obor peradaban yang bercahaya cemerlang di hadapan Dunia Besar Barat.”
Inilah Islam yang kedatangannya membawa misi memerdekakan manusia dari penghambaan kepada sesama mahluk/manusia, menghapuskan kezaliman dan membawa manusia dari kesempitan dunia menuju kelapangannya. Tak ada yang bisa seperti itu melainkan hanya Islam. Waallahu a'lam.