Penulis : Essy Rosaline Suhendi
Apa yang akan kita lakukan, ketika misalnya sedang butuh uang dan ada yang meminjamkan? Tapi dengan syarat tertentu yang sangat merugikan. Tentunya akan berpikir ulang bukan? Apalagi jika syaratnya itu merugikan banyak orang.
Namun sepertinya, tidak semua orang bisa berpikir ulang untuk sebisa mungkin tidak ber utang. Seperti kepulangan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dari China ke tanah air yang membawa serta oleh-oleh yaitu berupa komitmen investasi dari perusahaan China, Xinyi International Investment Limited yang nilainya sebanyak US$ 11,5 miliar atau setara Rp. 175 triliun (asumsi kurs Rp. 107 per US$). Dalam keterangan tertulis Jokowi mengatakan, "Saya mengapresiasi komitmen investasi Xinyi dalam mendukung hilirisasi industri kaca panel surya di Indonesia. Saya juga menyambut baik dimulainya proyek Xinyi. Kami akan membantu sepenuhnya, sekiranya ada persoalan di lapangan," ( www.cnbcindonesia.com 29/7/2023 )
Padahal, kementrian keuangan telah mencatat pada bulan Juni 2023 utang pemerintah mengalami kenaikan. Angkanya bertambah Rp. 17,68 triliun sehingga total utang RI tembus mencapai Rp.7.805,29 triliun. ( www.suara.com Jumat, 28/7/2023)
Dari sini seharusnya negara was-was, apakah negara tidak menengok pada negeri yang sudah terkena jebakan investasi Cina seperti Srilangka dan Zimbabwe?. Sebagaimana yang disorot oleh salah satu pakar peneliti China-Indonesia di Center for Economic and Law Studies (Celios) Muhammad Zulfikar Rakhmat yang mengatakan, "Ada masalah investasi yang perlu jadi perhatian adalah peningkatan utang. Apa yang terjadi di Srilangka, Zimbabwe, saya tidak akan mengatakan Indonesia tidak akan seperti itu, tetapi tanda indikasi tersebut ada" ujarnya saat acara Diskusi Pakar Ekonomi Makro di Jakarta. ( www.suara.com 26/7/2023)
Bahaya Imperialisme
Makin kesini nampak terlihat hubungan Cina-Indonesia semakin erat. Buktinya ketika Cina melakukan pelanggaran HAM terhadap muslim Uighur, Indonesia yang bermayoritas muslim memilih cari aman dan bersikap apatis. Bukan hanya itu, kapal-kapal Cina kini seakan bebas keluar masuk mengambil ikan di perairan Indonesia, karena pemerintah tidak memberikan sanksi tegas pada mereka. Ini menambah bukti bahwa nyali Indonesia seakan hilang jika berhubungan dengan negeri tirai bambu.
Ditambah lagi, hegemoni Cina yg semakin terlihat dengan menjadikan Tiongkok sebagai investor terbesar di Kalimantan Timur sebanyak Rp. 864,61 miliar pada kuartal II tahun 2022. Sedangkan total Penanaman Modal Asing (PMA) ke Kaltim adalah Rp. 4,42 triliun ( antaranews.com 5/1/2023). Apakah negara tidak mau ambil pusing cari modal mandiri? hingga akhirnya ambil jalan pintas yaitu mencari investor demi proyek pembangunan dan infrastruktur. Padahal jika seperti itu, negara menjadi kehilangan kendali atas industri sebab diambil alih oleh para investor. Hal tersebut dapat menjadikan negara rentan terhadap krisis ekonomi global, mematikan pasar lokal seperti UMKM karena pasar asing akan mendominasi pasar domestik, dan penjajahan SDA juga pastilah akan terjadi.
Sekularisme adalah Biang dari Masalah
Adalah hal wajar, jika dalam sistem sekularisme yang memisahkan agama dengan kehidupan hingga melahirkan sistem ekonomi kapitalisme yang memakai asas untung rugi dalam setiap jual beli dan ber utang. Sehingga investasi akan dianggap sebagai sesuatu yang sangat menggiurkan. Jadi, jika negara merasa senang ketika banyaknya pengusaha asing yang ingin berinvestasi, hal ini akan disambut dengan sumringah, toh ber utang kan untuk membangun negara, apa salahnya? Walaupun negara terancam gagal bayar karena bunga utang yang besar.
Namun apakah ada orang yang bisa hidup tenang karena mempunyai utang? Karena tentu ada sesuatu di balik para investor yang masuk ke Indonesia. Ingatlah, dalam sistem kapitalisme tidak ada kata "makan siang gratis" kan?. Jangan sampai investasi asing yang dianggap anugerah malah justru menjadi musibah. Lantas bagaimanakah Islam memandang investasi dan utang? ketika ternyata saat ini dianggap sebagai hal yang biasa.
Ganti dengan Sistem Islam
Dalam Islam, kegiatan investasi dan utang wajib terikat dengan syariat Islam. Oleh karena itu, siapapun yang terlibat didalamnya harus memahami dengan seksama mengikuti koridor syariat Islam. Maka dalam hal permodalan, harta yang dijadikan modal harus diperoleh dengan cara yang halal, baik milik pribadi ataupun dari sumber lain yang halal.
Investasi dalam sektor pertanian, perindustrian, juga perdagangan harus sesuai dengan Islam. Semisal dalam sektor industri, ada beberapa hukum Islam terkait dengan sektor tersebut yang wajib dita'ati yaitu ijarah, jual beli, syirkah, istishna', dan perdagangan internasional. Begitu pula dengan model transaksi seperti riba, pematokan harga, judi, penipuan, dan penimbunan, haram dilakukan dalam kegiatan investasi. Selain itu, model kerjasama yang mengantongi asas kapitalisme juga diharamkan seperti saham, asuransi, dan koperasi.
Sebetulnya antara Islam dan kapitalisme memiliki perbedaan yang sangat mendasar, yakni pada kebebasan kepemilikan. Kapitalisme membuka akses dalam setiap jual beli selama memiliki modal, imbasnya harta milik publik akan dikomersilkan semisal sungai, barang tambang, pulau, pelabuhan, tol, dan jalan raya akan dimiliki individu atau swasta. Sedangkan dalam Islam kepemilikan harta terbagi menjadi tiga aspek yaitu individu, umum, dan negara.
Islam Membawa Kesejahteraan
Dalam hal kepemilikan umum, negara dilarang untuk memperjualbelikannya baik pada individu ataupun swasta dan satu-satunya pihak yang berwenang adalah negara. Untuk itu hasil pengelolaannya wajib dikembalikan kepada rakyat karena rakyatlah pemilik sejati yang harus menikmati kekayaan milik umum.
Selain itu, dalam sistem pemerintahan Islam atau Khilafah, negara tidak akan susah-susah berutang demi aspek pembangunan dan infrastruktur. Karena khilafah mempunyai sumber pendapatan dari pos-pos pemasukan berupa baitul mal, seperti usyur, kharaj, fai, ganimah, jizyah, pengelolaan SDA, dan harta milik negara. Hal ini akan membuat negara memiliki sumber pendapatan yang fantastis tanpa berutang. Adalah suatu keniscayaan Indonesia yang kaya dengan sumber daya alamnya akan mampu menjadi negara yang kuat, mandiri, dan sejahtera ketika sistem yang diterapkan didalamnya adalah sistem Islam. Sebagaimana dahulu, di masa kekhilafahan Abdul Aziz bin Umar semua rakyatnya tercukupi hingga tak ada satupun yang mau menerima zakat, MasyaAllah.
Selama sistem yang diterapkan adalah sistem sekulerisme yang menjadikan asas kapitalisme dalam berekonomi, maka sesungguhnya negara akan terus mengalami kerugian, karena asetlah negara bisa lenyap ditelan oleh para kapital sedangkan rakyat hanya dapat merasakan kesengsaraan akibat hegemoni para kapitalis. Maka sudah sepatutnya kita hanya menjadikannya Islam sebagai sistem yang mengatur setiap aspek kehidupan dan yang mampu mewujudkan itu semua adalah Khilafah.
Waulohu'alam bishowab
Tags
Opini