Integritas Terbeli Demi Sebuah Kursi



Oleh : Kai Zen



Dugaan Jual Beli Jabatan

Kasus dugaan suap jual beli jabatan di Pemerintah Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah terus diusut Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Hari ini, lembaga antirasuah pimpinan Firli Bahuri memeriksa sembilan orang sebagai saksi, salah satunya Ketua DPRD Pemalang Fraksi PDIP, Tatang Kirana.

Jurubicara Bidang Penindakan dan Kelembagaan KPK, Ali Fikri mengatakan, mereka dipanggil sebagai saksi untuk tersangka Sodik Ismanto (SI).
"Bertempat di Polres Pemalang, tim penyidik menjadwalkan pemanggilan saksi-saksi hari ini," ujar Ali kepada wartawan, Selasa siang (8/8). (rmol.id, 08 Agustus 2023)

Suap Terjadi karena Ada Peluang

Tersangka SI mendapat status baru lantaran diduga memberikan Rp100 juta kepada Bupati non aktif Mukti Agung dalam rangka mengikuti seleksi untuk posisi jabatan eselon II sebagaimana tawaran Adi Jumal Widodo selaku Komisaris PD Aneka Usaha (AU) yang merupakan orang kepercayaan Mukti Agung agar dapat dinyatakan lulus. Suap itu sendiri telah diatur dalam Undang-undang nomor 11 Tahun 1980 dengan ancaman penjara selama-lamanya 3 tahun dan denda maksimal Rp.15 Juta. Terdapat juga dalam pasal 5 Undang-Undang nomor 20 Tahun 2001 dengan pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 50 Juta dan paling banyak Rp.250 Juta. 

Dua regulasi tersebut tidak menghalangi terjadinya jual beli jabatan bagi 14 ASN di Pemkab Pemalang. ASN dengan segala tunjangan dan fasilitas privilege lainnya terlihat menjadi posisi yang diimpikan banyak orang. Sehingga Rp. 100 Juta merupakan harga yang menguntungkan secara materi untuk membeli sebuah jabaan ASN Eselon II. Meski suap menyuap Nampak seperti simbiosis mutualisme yakni hubungan antar makhluk hidup yang saling menguntungkan dalam Ilmu pengetahuan alam. Tapi ini jelas merugikan bagi pelaksanaan pemerintahan sebab bisa jadi sebuah tanggungjawab besar diambil alih oleh orang yang bukan ahli pada bidangnya. Ini akan mempengaruhi kinerjanya dalam melayani masyarakat. Ketika sebuah pelayanan diberikan oleh orang yang tidak ahli dalambidangnya yang terjadi adalah tidak efektifnya pelayanan tersebut.

Pelayanan publik yang tidak efektif tentu saja berpengaruh pada hambatan pelaksanaan pemerintahan. Inilah yang akhirnya menyebabkan tidak meratanya kesejahteraan baik dalam bidang ekonomi, pendidikan, politik dan lain-lain. Sebab kesempatan menempati posisi strategis selalu ditempati oleh orang-orang yang mampu membeli jabatan. Sementara pada saat yang sama ada begitu banyak anak negeri yang memiliki potensi mahir dalam bidang keahlian tertentu.Sehingga wajar jika kemudian terjadi kemiskinan ekstrem dan angka balita stunting cukup memprihatinkan terus menghantui, sebab dipimpin oleh mereka yang sibuk memperkaya diri dengan jual-beli jabatan.

Keserakahan terhadap kepemilikan bukan merupakan karakteristik seseorang yang dalam dirinya terinstal nilai-nilai Pancasila yang utamanya adalah berketuhanan Yang Maha Esa. Artinya menempatkan Sang Pencipta sebagai poros utama dalam menentukan segala aktivitas termasuk membuat kebijakan. Seseorang yang dalam jiwanya tertanam bahwa Allah Maha Melihat tentu akan sangat hati-hati dalam memilih suatu perbuatan. Dalam pemerintahan seseorang diuji untuk jujur dan menjaga transparansi pelaksanaan kebijakan atau memanfaatkan kekuasaan untuk kepentingan pribadi melalui berbagai kebijakan. Jika seorang pejabat memiliih pada pilihan kedua artinya ia telah membeli integritas dirinya, jika integritas itu telah hilang terbeli nasib masyarakat pun akan terus tergadaikan.

Rasa takut melakukan sesuatu yang bertentangan dengan norma hanya terkondisikan jika seseorang memiliki aqidah yang terjaga. Mengambil hak oranglain adalah sesuatu yang tidak akan dilakukan oleh seseorang yang beragama dan yakin pada tiap konsekuensi perbuatan. Lantas apa yang kini membuat seolah rasa takut itu hilang sehingga tidak ada kehati-hatian yang pernuh pertimbangan dalam membuat kebijakan? Rasa takut itu luntur sebab konsekuensi akhirat tidak terindra. Telah jauh keterikatan hati dengan kehidupan akhirat yang menjadi penentu pintu akhir manusia berupa balasan Syurga atau neraka. Konsep Syurga dan neraka bahkan kini menjadi bahan bercanda sebab saking jauhnya agama dari implementasinya dalam kehidupan sehari-hari (sekulerisme). Seseorang yang memisahkan urusan akhirat dengan urusan dunia (sekularisme) cenderung tidak takut berbuat sesuatu yang bertentangan, sebab soal konsekuensi ‘Pikir keri’ (Bahasa Jawa : dipikir nanti).

Mungkinkah Sebuah Negeri Tanpa Suap?

Suap menyuap akan sulit diberantas dalam lingkungan sistem demokrasi. Sebab, demokrasi secara teoretis menempatkan kedaulatan berada di tangan rakyat, yang kemudian dalam pelaksanaannya tidak di tangan rakyat secara mutlak. Pada kenyataanya, kedaulatan rakyat yang merupakan ruh demokrasi selalu dimanfaatkan oleh para oknum pemilik jabatan yang didukung pemilik modal (kapitalis). 

Demokrasi menghendaki terlaksananya ketatanegaraan dengan konsep kleptokrasi; negara yang dikuasai oleh mereka yang hanya mementingkan urusan pribadi serta sibuk memperkaya diri-sendiri. Ketika sebuah negara memilih demokrasi sebagai tata laksana pemerintahan, maka yang akan memiliki jalan lempang membuat kebijakan adalah oknum-oknum yang sibuk memperkaya diri sendiri tadi. 

Mereka akan membuat segala kebijakan yang menguntungkan diri sendiri sibuk mengejar kedudukan untuk memperoleh gaji yang lebih tinggi, bahkan tak peduli meski harus memperolehnya dengan cara menyuap. Padahal dengan memilih suap untuk memperoleh jabatan tertentu maka sama integritasnya telah terbeli hanya demi sebuah kursi jabatan ASN golongan eselon II misalnya.Segala regulasi dibentuk sesuai dengan kepentingan pribadi tanpa memikirkan bahwa hasil kebijakan tersebut akan berpengaruh pada nasib orang banyak, bahkan pengaruhnya bisa berupa kerugian seperti tidak terpenuhinya hak-hak fundamental bagi rakyat misalnya. Sebab segala kebijakan tersebut sekalipun hanya untuk mementingkan diri sendiri tapi dibalut indah dalam ‘kedaulatan di tangan rakyat’. Dengan demikian jika demokrasi terus dipertahankan, maka ‘vox populi, vox dei’ akan terus menjadi topeng dalam melegitimasi praktek suap menyuap.

Demokrasi dengan segala hal hipokrit yang melekat di dalamnya memang tak mampu menyelesaikan urusan antar manusia dalam sebuah negara secara nyata. Sebab demokrasi menginstruksikan agar Tuhan (Sang Pencipta dan Maha Mengatur) dijauhkan dari pengaturan kehidupan. Sehingga tanpa sadar dalam suatu negara para pejabatnya dikendalikan oleh ‘Invisible Hand’. Oleh karena itu, sudah saatnya penguasa bersinergi teguh dengan agama dalam melaksanakan amanat pemerintahan sebagaimana sistem Islam mengaturnya. Dalam sistem Islam, kepemimpinan dan kekuasaan adalah amanah. Tanggung jawabnya tidak sekedar membutuhkan penghakiman dari tiap manusia di dunia, melainkan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah Swt. di akhirat kelak.

Cara Islam mencegah manusia sedari dini untuk memiliki keinginan memperoleh segala keinginan dengan cara menyuap melalui penanaman ketakwaan individu. Ketakwaan individu ini diperoleh dari pembinaan pendidikan bertahap yang kurikulumnya berbasis aqidah. Ketika sistem pendidikan menjadikan aqidahsebagai landasan pelaksanaan pendidikan maka outputnya adalah para pemimpin yang cerdas, teliti, bijaksana berlandaskan pada iman takwa. Ketakwaan individu inilah yang akan mengantarkan seorang pemimpin senantiasa berhati-hati dalam membuat keputusan sebab harus didasarkan pada kemaslahatan umat dan tiap kebijakannya ini mengandung konsekuensi antara dosa dan pahala. Pada titik inilah Islam memberikan solusi secara sistemis dan ideologis terkait menghilangkan praktek suap menyuap secar total.

Dalam Islam, ada sejumlah langkah dalam memberantas bahkan mencegah praktek suap, antara lain, pertama, menjadikan ideologi Islam sebagai kepemimpinan berfikir setiap insan, hal ini yang meniscayakan penerapan syariat Islam secara kafah dalam segala aspek kehidupan, termasuk dalam hal kepemimpinan. Seorang pemimpin negara yang dengan kerelaan hati menerapkan syariah (khalifah) diangkat untuk menjalankan pemerintahan sesuai dengan Al-Quran dan Sunah. Begitu pun pejabat lainnya.

Kedua, pemilihan penguasa dan para pejabat yang bertakwa dan zuhud. Dalam pengangkatan pejabat atau pegawai negara, Khilafah menetapkan syarat takwa sebagai ketentuan, selain syarat profesionalitas. Ketakwaan akan menjadikan seorang pejabat dalam melaksanakan tugasnya selalu merasa diawasi oleh Allah Swt..
Ketiga, pelaksanaan politik secara syar’i. Dalam Islam, politik itu intinya adalah ri’âyah syar’iyyah, yakni bagaimana mengurusi rakyat dengan sepenuh hati dan jiwa sesuai dengan tuntutan syariat Islam, bukan politik yang tunduk pada kepentingan oligarki, pemilik modal, atau elit yang mementingkan keuntungan diri sendiri.
Keempat, penerapan sanksi tegas yang berefek jera. Dalam Islam, hukuman tegas tersebut bisa dalam bentuk publikasi, stigmatisasi, peringatan, penyitaan harta, pengasingan, cambuk hingga hukuman mati.

Berdasarkan keempat metode ini kita mendapatkan kunci untuk melepaskan negeri ini dari cengkraman jahatnya praktik suap dan tindakan rasuah jenis lainnya. Sebab hukumannya nyata dan segala konsekuensi akhirat Nampak semakin nyata baik pahala maupun dosa, baik tentang surge maupun neraka. Semakin jauhnya kekuasaan dari praktek suap maka negeri ini akan dipimpin oleh parapejabat sesuai dengan keahliannya masing-masing. Pelayanan terhadap kepentingan public menjadi efektif dan keadilan serta kesejahteraan yang memang merupakan hak dasar tiap warga negara akan terpenuhi untuk setiap lapisan masyarakat tanpa kecuali dan tanpa melalui administrasi pungli. 
Wallahu A’lam Bish Showwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak