Oleh: Nun Ashima
(Aktivis Muslimah)
Problem generasi saat ini makin miris saja. Kasus perundungan, tawuran, penganiayaan, hingga pembunuhan seolah terus mewarnai media masa. Seperti halnya pada kasus Mahasiswa Universitas Indonesia (UI) Depok, yang berinisial MNZ (19 tahun) ditemukan tewas dalam keadaan terbungkus plastik di kamar kosnya di Kawasan Kukusan, Beji, Kota Depok, Jumat (4/8/2023).
Kejadian ini telah diungkap Polisi, bahwa korban dibunuh oleh seniornya sendiri.
Wakasat Reskrim Polres Metro Depok, AKP Nirwan Pohan mengungkap, korban dibunuh oleh AAB (23 tahun), senior dan kenalan korban di kampus.
"Pelaku iri dengan kesuksesan korban dan terlilit bayar kosan serta pijol (pinjam online). Kemudian mengambil laptop dan HP korban," jelas AKP Nirwan Pohan, Jumat (4/8/2023).
Berikut juga fakta dari Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) mecatat adanya empat kasus perundungan di lingkungan sekolah dari total 16 kasus selama Januari–Juli 2023. Empat kasus perundungan tersebut terjadi pada Juli 2023 di saat tahun ajaran 2023/2024 belum berlangsung satu bulan.
Kasus perundungan ini terjadi di beberapa satuan pendidikan dan mayoritasnya terjadi di jenjang pendidikan SD 25%, SMP 25%, SMA 18,75%, dan SMK 18,75%. Sedangkan di MTs 6,25% dan Pondok Pesantren 6,25%. FSGI mendata selama Januari–Juli, jumlah korban perundungan di satuan pendidikan total 43 orang yang terdiri atas 41 peserta didik (95,4%) dan dua guru (4,6%).
Adapun pelaku perundungan didominasi oleh peserta didik yaitu sejumlah 87 peserta didik (92,5%), sisanya dilakukan oleh pendidik yaitu sebanyak 5 pendidik (5,3%), 1 orang tua peserta didik (1,1%), dan 1 kepala madrasah (1,1%). Artinya, korban terbesar adalah peserta didik yaitu 95,4% dengan pelaku perundungan terbanyak juga peserta didik, yaitu 92,5%.
Fakta ini mencerminkan rusaknya sistem pendidikan hari ini. Institusi pendidikan yang seharusnya berperan dalam mendidik generasi yang cemerlang dan bermartabat, kini tergerus esensinya dan rendah mutunya.
Ini semua disebabkan karena kelalaian negara, yang kehadirannya demi politik pendidikan sekuler liberal. Sebagai buktinya adanya kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM).
Kurikulum MBKM tidak mampu membentuk mahasiswa dalam memahami cara hidup yang benar, betapa banyak diantara mereka yang tidak memahami halal haram. Standar perbuatan pun menjadi bias, tak lagi dapat membedakan antara benar dan salah. Ini karena MBKM dibuat dalam kerangka pendidikan sekuler, yakni memisahkan agama dari kehidupan. Wajar saja jika generasi yang lahir adalah generasi problem maker, bukan problem solver.
Ketebalan iman pun amat minim dimiliki untuk menghadapi kerasnya beban hidup, bukan karena dendam pada korban.
Tak bisa dipungkiri, beratnya beban ekonomi nyata-nyata dialami banyak mahasiswa, terutama karena naiknya biaya kuliah dan tentu saja biaya hidup yang semakin tinggi.
Sistem pendidikan hari ini gagal mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Sebutlah, aturan Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan yang selama ini digunakan untuk mencegah tindak kekerasan dan perundungan pada anak, nyatanya belum mampu menuntaskan kasus perundungan yang marak terjadi. Fakta justru berbicara, kekerasan dan perundungan pada generasi muda terus saja bermunculan.
Negara yang semestinya berperan sebagai penjaga bagi generasi bangsa, faktanya mandul menjalankan perannya. Sebab, dalam paradigma sekularisme peran negara hanyalah sebagai regulator semata. Alhasil, kebijakan yang ada pun kerap berbenturan dengan kebijakan yang lain yang justru membuka pintu bagi liberalisasi pendidikan.
Berbeda dengan Sistem Pendidikan Islam, generasi yang lahir dari naungan Islam adalah generasi yang paham hakikat penciptaannya, yakni bahwa dirinya diciptakan semata-mata untuk beribadah dan tunduk patuh pada aturan-Nya, serta memahami bahwa kebahagiaan tertinggi adalah meraih rida Allah SWT. Alhasil, lahir generasi terbaik yang tidak hanya faqih terhadap agama, tetapi juga berintelektual dan siap memimpin masa depan. Ini menunjukkan bahwa sistem islam adalah sistem terbaik yang menghasilkan individu berkepribadian Islam.
Berikut juga, negara sebagai benteng utama generasi, wajib memberlakukan sistem sanksi yang tegas dan menjerakan bagi setiap pelaku kejahatan, termasuk bagi pelaku kekerasan dan perundungan, apalagi yang sampai menghilangkan nyawa. Sanksi dalam Islam ini juga berfungsi sebagai pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir), yakni ketika sanksi tersebut diterapkan maka para pelaku akan merasa jera dan tidak berani mengulanginya lagi.
Hal ini bisa diterapkan apabila negara menerapkan islam secara kaffah dalam bingkai khilafah.
_Wallahu’alam bishshawwab_
Tags
Opini