Oleh : Zunairoh
Derasnya produk asing membanjiri tanah air membuat pelaku UMKM ketar-ketir akan keberlangsungan perdagangannya. Pasalnya, Indonesia merupakan salah satu negara pengguna tiktok terbesar di dunia. Peningkatan jumlah pengguna tiktok ini membuat Indonesia menjadi pasar yang sangat menggiurkan bagi produsen. Apalagi muncul dugaan pengembangan Project S mengoleksi data produk yang laris manis di suatu negara kemudian diproduksi sendiri di cina.
Pengamat teknologi sekaligus Direktur Eksekutif ICT Institute Heru Sutadi, mengatakan Project S akan mengancam keberlangsungan UMKM di Indonesia karena produk-produk luar negeri dengan mudah dijual dan masuk ke Indonesia sehingga akan berdampak negatif bagi UMKM. Apabila barang-barang impor menyerbu pasar Indonesia maka yang maju justru negara tempat barang tersebut diproduksi.
Selama ini pengaturan soal konten produk impor di e-commerce belum ketat apalagi e-commerce menerapkan praktik cross border hingga menerapkan model bisnis social commerce akibatnya pelaku usaha lokal banyak yang akan gulung tikar. Apalagi tik tok berencana menanamkan modal sebanyak Rp. 148 T tentu akan mengancam keberlangsungan usaha makro, kecil, dan menengah (UMKM)
Desakan dari berbagai pihak kepada pemerintah untuk melakukan langkah kongkret terus dilakukan antara lain kebijakan yang membatasi produk asing, menetapkan besaran batasan harga produk tidak boleh di bawah 100 dolar AS atau Rp 1.5 juta (kurs Rp15. 000/dolar AS), melakukan pengawasan tegas, melakukan pelatihan, pembinaan, pendampingan kepada pelaku UMKM agar dapat bersaing dengan produk asing. Guna mendukung keadilan di pasar e commerce produsen UMKM menunggu revisi permendag 50/2020 namun sampai sekarang belum selesai. Justru banyak kebijakan negara yang menguntungkan produk asing.
Dalam system Islam, negara hadir untuk mewujudkan kesejahteraan dan melindungi rakyatnya dari berbagai ancaman. Negara berfungsi sebagai raa’in (pengurus urusan rakyat) dengan penerapan Islam kafah. Dalam penerapannya, negara memiliki sumber pemasukan tetap yang dikelola Baitul Mal bukan menjadikan UMKM sebagai sumber perekonomian, negara memiliki wewenang mengatur pedagang dari negara kafir atau muahid (negara yang terikat perjanjian), dalam berdagang harus terikat syariat Islam seperti larangan menjual barang haram, melakukan penimbunan, kecurangan, pematokan harga dll