Oleh: Nun Ashima
(Aktivis Muslimah)
Baru-baru ini terdengar ada kenaikan gaji PNS yang cukup tinggi sebesar 8%. Hal ini diungkapkan oleh orang nomor satu di Indonesia, Presiden Joko Widodo. Beliau mengumumkan adanya kenaikan gaji Aparatur Sipil Negara (ASN) atau PNS pusat dan daerah hingga TNI-Polri sebesar 8 persen dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2024. Selain itu, beliau juga menginginkan anggaran pensiunan naik menjadi 12 persen.
Kenaikan gaji PNS sebesar 8% diharapkan ikut meringankan beban PNS untuk menghadapi tekanan kenaikan harga tahun depan. Asumsi inflasi yang diajukan sebesar 2,8% tetapi bukan tidak mungkin akan jauh di atas proyeksi. Pasalnya, masih ada ancaman perubahan iklim yang bisa melambungkan harga beras dan bahan pangan lain. Sebagai perbandingan, harga beras sudah jauh melonjak dalam setahun terakhir.
Data Pusat Harga Pangan Strategis Nasional (PIHPSN) menyebutkan harga beras kualitas medium pada akhir Juli 2022 masih dibanderol Rp11. 750 per kg. Harga beras sudah mencapai Rp 13.650/kg pada hari ini atau naik 16% dalam setahun.
Sebagai perbandingan lain, biaya sekolah juga sudah melonjak tajam. Di gerai ritel, mie instan Indomie kini dijual dengan harga Rp 3.100 per bungkus, harganya sudah naik Rp 400 atau 14,8% dibandingkan pada Maret 2022 yang ada di Rp 2.700 per bungkus..
Artinya, kenaikan gaji 8% mungkin tidak bisa menutup laju kenaikan harga-harga meskipun angka kenaikan sudah cukup tinggi, apalagi ada ancaman perubahan iklim. Alhas, perbaikan kesejahteraan masih menjadi mimpi.
Bagaimana kabar rakyat yang bukan ASN?
Disamping itu, alih-alih meningkatkan kinerja ASN, jauh panggang dari api. Kenaikan gaji untuk meningkatkan kinerja masih mimpi di tengah etos kerja yang buruk, salah satunya ketidakprofesionalan para ASN dalam melaksanakan tugasnya. Apalagi didukung oleh sistem kapitalis yang berasaskan manfaat. Mereka dididik ketika melakukan sesuatunya ada timbal balik kebermanfaatan baginya, misal materi.
Di dorong lagi contoh perilaku pejabat yang tidak layak menjadi teladan, korupsi dimana-mana, tidak tanggungjawab atas amanahnya, ketidakdisiplinan serta membuat kebijakan yang merugikan rakyat.
Di sisi lain, tradisi kenaikan gaji menjelang pemilu menyiratkan adanya kemungkinan pemanfaatan kedudukan terhadap Pemilu yang diselenggarakan. Pencitraan demi pencitraan digalangkan demi meraih suara terbanyak. Apapun akan dilakukan sampai keinginannya tercapai. Tidak peduli halal haram ataupun siapa yang dirugikan. Hal ini sudah sangat wajar di sistem kapitalis, karena kebijakan ini sudah tersistematis dan terstruktur.
Berbeda dengan Islam. Islam menjadikan kesejahteraan rakyat individu per individu merupakan kewajiban negara, tidak hanya insidental, apalagi pencitraan dan ada tujuan tersembunyi, namun merupakan kebijakan dasar peran negara sebagai pengatur urusan rakyat.
Islam menetapkan Negara menerapkan berbagai mekanisme yang sudah ditetapkan Allah untuk mewujudkan kesejahteraan rakyatnya, dan bukan hanya ASN saja, tetapi kesejahteraan seluruh rakyat tanpa terkecuali.
Islam juga memiliki mekanisme untuk menjadikan ASN memberikan kinerjka terbaik sepanjang masa.
Keberadaan pegawai negara dalam sistem Islam (Khilafah) benar-benar dirasakan oleh rakyat. Mereka bekerja dengan sepenuh hati serta atas dorongan ibadah kepada Allah Taala. Para pegawai negara juga akan mendapat gaji dan tunjangan yang menyejahterakan.
Para pegawai negara akan mendapatkan pembinaan dan pemahaman atas gaya hidup yang berkah, bukan hidup bermewah-mewah. Mereka akan jauh dari kata berutang ataupun menjerumuskan dirinya pada keharaman.
Wallahu'alam bishshawwab
Tags
Opini