Oleh Asti Marlanti
(Penulis dan Pegiat Literasi)
Pekik merdeka sudah terdengar di seantero bumi nusantara, karena bagi negeri +62 bulan Agustus adalah bulan kemerdekaan. Bertepatan dengan bulan merdeka, negeri yang mayoritas kaum muslimin ini pun merayakan bulan hijrah, yakni bulan Muharam.
Sebagai tahun baru umat Islam, seluruh kaum muslimin tahu bahwa di bulan Muharam ada peristiwa penting, yakni hijrahnya Rasulullah dan para sahabat dari Makkah ke Madinah. Oleh karena itu, bulan Muharam sering disebut sebagai bulan hijrah.
Secara bahasa, hijrah berarti meninggalkan. Dalam Hadis Nabi Muhammad saw. dinyatakan, misalnya:
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللَّهُ عَنْهُ
Orang yang berhijrah adalah orang yang meninggalkan apa saja yang telah Allah larang (HR al-Bukhari).
Adapun menurut istilah khusus, menurut Ar-Raghib al-Ashfahany, hijrah berarti keluar dari dârul kufr menuju dârul Îmân. Artinya, berpindah dari wilayah yang menerapkan hukum-hukum kufur menuju wilayah yang menerapkan seluruh hukum Islam. (Al-Ashfahâny, Al-Mufradât fî Gharîb al-Qur’ân, hlm. 833).
Hijrah Rasulullah saw. dari Makkah ke Madinah merupakan peristiwa penting yang mengubah wajah umat Islam saat itu. Umat yang awalnya tertindas dan teraniaya di Makkah selama 13 tahun, setelah hijrah ke Madinah dan menegakkan tatanan masyarakat yang islami dalam sebuah negara, berubah menjadi umat yang mulia, kuat dan disegani. Begitulah Rasulullah menerapkan syariat Islam dalam bingkai negara di Madinah.
Hal ini persis terjadi pada kaum muslimin saat ini. Kaum muslimin tertindas di sebagian negeri. Perekonomian lemah akibat kerakusan para kapitalis. Utang negara semakin menggunung. Harga-harga semakin melambung. Peradilan yang diterapkan tajam ke bawah dan tumpul ke atas. Angka kriminalitas, kemiskinan, stunting, kelaparan pun semakin tinggi. Lalu, apakah ini yang dinamakan merdeka?
Menurut Wikipedia, merdeka dalam bahasa Sanskerta yaitu maharddhika yang berarti kaya, sejahtera dan kuat, adalah bebas dari segala belenggu (kekangan), aturan, dan kekuasaan dari pihak tertentu. Sedangkan dalam kata bahasa Indonesia dan Melayu, merdeka bermakna bebas atau tidak bergantung namun independen.
Jika standarnya adalah kemerdekaan dari penjajahan fisik (militer), tentu saja bangsa ini memang telah lama merdeka. Namun, jika standarnya adalah kemerdekaan dari segala bentuk penjajahan termasuk dari penjajahan non-fisik (non-militer), sesungguhnya bangsa ini belum merdeka.
Dari sisi pembuatan aturan dan kebijakan, banyak sekali UU di negeri ini yang didiktekan oleh pihak asing. Di antaranya melalui LoI dengan IMF. Banyak utang yang sesungguhnya menjadi alat penjajahan, dialirkan ke Indonesia oleh berbagai lembaga donor baik IMF, Bank Dunia, ADB, Usaid dan sebagainya. Perubahan konstitusi negeri ini pun tak lepas dari peran dan campur tangan asing. Banyak dari UU itu disponsori bahkan draft (rancangan)-nya dibuat oleh pihak asing, di antaranya melalui program utang, bantuan teknis, dan lainnya.
Akibatnya, banyak lahir UU dan kebijakan pemerintah yang bercorak neoliberal, yang lebih menguntungkan asing dan swasta serta merugikan rakyat banyak. UU bercorak liberal itu hakikatnya melegalkan penjajahan baru (neoimperialisme) atas negeri ini. Karena itu meski sudah 78 tahun “merdeka”, negeri ini masih banyak bergantung pada asing.
Dengan demikian, kondisi negeri ini dan mayoritas kaum muslim di dunia masih terjajah. Karena sistem yang diterapkan pun bukan sistem Islam, melainkan sistem sekularisme kapitalisme yang nota bene adalah sistem kufur. Sistem yang dibuat oleh orang-orang kafir. Maka sudah seharusnya umat Islam harus hijrah dari sistem sekulerisme-kapitalisme ini menuju sistem Khilafah Islam yang menerapkan Islam secara kafah. Hal ini agar umat Islam merdeka secara hakiki, selayaknya yang dicontohkan Rasulullah saat menerapkan Islam secara kafah di Madinah.