Oleh: Nun Ashima
(Aktivis Muslimah)
Elpiji 3 kg bersubsidi atau gas melon kembali langka di sejumlah daerah. Pemerintah berdalih bahwa kelangkaan tersebut terjadi karena permintaan masyarakat yang meningkat imbas libur panjang di bulan Juli serta dugaan tidak tepat sasaran.
Seperti yang dinyatakan oleh Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati, ia mengatakan kelangkaan terjadi karena peningkatan konsumsi.
"Juli ini memang ada peningkatan konsumsi sebesar 2 persen sebagai dampak dari adanya libur panjang beberapa waktu lalu. Kami sedang melakukan recovery dari penyediaan distribusinya untuk mempercepat," ujarnya melalui keterangan resmi, Selasa (25/7).
Nicke juga menuturkan, menurut data pemerintah ada sekitar 60 juta rumah tangga yang berhak menerima subsidi dari total sebanyak 88 juta rumah tangga atau sekitar 68 persennya.
Namun, saat ini persentase penjualan LPG subsidi terhadap total LPG angkanya ternyata tinggi, mencapai 96 persen. Hal ini, kata Nicke, mengindikasikan ada subsidi yang tak tepat sasaran.
Di sisi lain, pemerintah meluncurkan LPG 3kg non subsidi. Beredar foto di media sosial yang memperlihatkan produk Bright Gas 3 kg. Tabungnya berwarna pink seperti yang ukuran 5,5 kg, namun ukurannya lebih kecil karena isinya 3 kg. Kemudian ada juga tulisan "LPG Non Subsidi" di tabung Bright Gas 3 Kg itu.
Banyak masyarakat yang belum mengetahui tentang Bright gas 3 Kg yang diproduksi Pertamina itu. Selama ini konsumen mayoritas menggunakan Bright Gas yang 5,5 kg dan 12 Kg, serta LPG 3 Kg yang berwarna hijau atau gas melon, yang merupakan barang bersubsidi.
Hal ini pun di kritik oleh Anggota Komisi VII DPR RI Mulyanto, ia menilai langkah pemerintah meluncurkan produk LPG 3kg non subsidi bermerek Bright dengan harga yang lebih mahal di tengah masyarakat yang kesulitan mendapatkan gas LPG 3 kg bersubsidi, sebagai sebuah tindakan yang ia sebut “super tega” pada masyarakat.
“Kebijakan itu akan membuat pengadaan dan pendistribusian LPG 3 kg bersubsidi semakin terbatas dan sulit. Ujung-ujungnya masyarakat dipaksa membeli LPG 3 kg non subsidi,” ungkap Mulyanto dalam siaran pers nya, Kamis (27/7/2023)
Ketersediaan LPG sejatinya menjadi tanggungjawab pemerintah. Kelangkaan ini adalah tanda gagalnya pemerintah dalam memenuhi kebutuhan pokok rakyat.
Kisruh gas melon sebenarnya bukan karena tidak tepat sasaran atau konsumsi yang meningkat. Akan tetapi, pengelolaan migas yang masih berada dibawah sistem kapitalisme neo-liberal.
Pasalnya, menurut data Kementerian ESDM, Indonesia memiliki cadangan gas alam/gas bumi terbukti sebesar 41,62 triliun kaki kubik persegi (trillion square cubic feet/TSCF) pada 2021.
Sistem kapitalisme telah melegalkan liberalisasi migas. Meski negeri ini memiliki kekayaan migas, namun rakyat tidak bisa menikmati pemanfaatannya dengan murah bahkan gratis. Penyebabnya adalah karena negara menyerahkan kepada pihak swasta, baik dari pengelolaan dan penjualannya.
Dengan sistem ekonomi yang berujung bisnis.
Penguasa hanya sebagai fasilitator bagi para swasta dan para pemilik modal saja. Alhasil, kebijakan yang dikeluarkan tidak memihak kepada rakyat. Terbukti dengan adanya LPG non subsidi dalam waktu yang bersamaan ketika gas melon langka. Begitulah cara negara mengatur jualan kepada rakyatnya. Mengurangi subsidi, kemudian digelontorkan yang tidak bersubsidi, dan yang tidak bersubsidi ini akan menambah keuntungan pundi-pundi Pertamina, tetapi membebani rakyat. Apalagi ada klaim dengan memakai LPG non subsidi menjadi lebih aman, jelas memberikan ‘pasar’ pada pengusaha.
Berbeda dengan Islam. Islam menetapkan negara berkewajiban menyediakan kebutuhan pokok rakyat termasuk LPG. Sistem ekonomi islam meniscayakan ketersediaannya untuk semua rakyat, dengan harga murah atau gratis, karena Islam mengharuskan pengelolaan SDA oleh negara.
Dalam hadist diriwayatkan, “Kaum muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air dan api.” (HR Abu Dawud dan Ahmad).
Hadist di atas menunjukkan bahwa SDA (rumput, air, dan api) adalah harta milik umum. Haram diprivatisasi, apalagi membiarkan asing mengelolanya. Negara wajib mengelola sendiri dan hasilnya untuk kepentingan rakyat. Baik diserahkan berupa barang olahan ataupun berupa fasilitas lainnya.
Seperti halnya gas, karena rakyat butuh gas untuk memenuhi kebutuhan dalam memasak, maka negara memberikan hasil olahan gas (LPG) ke rakyat dengan murah atau gratis dan mudah.
Hanya saja, prinsip kepengurusan rakyat di atas tidak akan berjalan selama masih menggunakan sistem kapitalisme. Karena asas utama dalam kapitalisme adalah manfaat bagi para penguasa dan pemilik modal. Berbeda dengan Islam, yang menjadi prioritas utama adalah rakyatnya. Maka sudah saatnya kita menerapkan sistem Islam yang sudah terbukti mampu mewujudkan kesejahteraan bagi rakyatnya secara keseluruhan.
Wallahu a'lam bishawab
Tags
Opini