Oleh: Dyah Putri Ratnasari
Menurut laporan survei Indikator Politik Indonesia yang dirilis Senin (11/7/2022), kepercayaan publik terhadap partai politik paling rendah dibanding institusi negara/politik lainnya. Survei itu mencatat partai politik hanya menerima kepercayaan dari 56,6% responden. Jauh tertinggal dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) yang dipercaya oleh 93,3% responden.
Setelah TNI, responden paling banyak percaya pada presiden dengan tingkat kepercayaan 84,5%. Diikuti Polri 76,4%, Kejaksaan Agung 74,5%, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) 73,2%. Sementara itu Dewan Perwakilan Daerah (DPD) menerima kepercayaan dari 64,6% responden, dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) 62,6%.
Bukan barang baru bahwa hasil survei tingkat kepercayaan publik terhadap partai politik (parpol) dan DPR yang rendah. Peneliti bidang legislasi Formappi Lucius Karus menyatakan, kepercayaan publik terhadap dua lembaga ini justru posisinya selalu di bawah. Saking selalu rendahnya kepercayaan publik, Lucius berpandangan bahwa parpol dan DPR enggan melakukan perubahan untuk meningkatkan rasa percaya masyarakat.
Ia pun mengaku tak habis pikir dan keheranan mengapa parpol dan DPR tidak menunjukkan semangat berbenah diri.
"Jangan-jangan karena hasil survei selalu sama lalu parpol dan DPR merasa bahwa itu sudah takdir mereka. Karena takdir ya sudahlah, terima saja. Toh dengan tingkat kepercayaan publik yang selalu rendah, kekuasaan mereka tetap saja menentukan," ujar dia. Di sisi lain, hasil survei yang selalu rendah itu menunjukkan bahwa parpol dan DPR seakan tak peduli lagi terhadap penilaian publik. Kondisi ini menegaskan bahwa jarak antara parpol, DPR, dan publik semakin jauh, bahkan nyaris tak tersambung lagi.
Contoh konkrit bahwa parpol dan parlemen tidak peduli lagi kepada nasib rakyat yang sudah susah payah mereka rayu hatinya saat pemilu adalah, ketika kebijakan yang berkaitan langsung dengan kepentingan parpol dan parlemen dengan mudah disetujui, sedangkan kebijakan untuk rakyat harus menghabiskan waktu yang lama, proses yang alot, dan anggaran yang tidak sedikit. Lihat misalnya proses pembahasan RUU Cipta Kerja, RUU IKN, lalu bandingkan dengan RUU PPRT, RUU TPKS yang sekarang sudah menjadi UU TPKS.
Mendorong perubahan dari hasil penilaian survei kepada DPR dan parpol rasanya hanya membuang energi. Sebab, tidak ada perubahan ke arah lebih baik yang dilakukan kedua lembaga. Sudah sangat nyata kebobrokan yang terjadi di sistem demokrasi ini, sayangnya rakyat masih saja berharap adanya perubahan dengan adanya pemilu 2024 mendatang. Rakyat terus saja ditipu dengan iming-iming kesejahteraan, padahal semua itu hanya janji manis dan bualan.
Belum lagi ongkos politik yang mahal memaksa mereka untuk putar otak bagaimana caranya agar bisa balik modal.
Dilansir dari nasdem.id ada tiga sumber keuangan parpol yaitu iuran anggota, sumbangan yang sah dari badan usaha atau perusahaan, dan yang terakhir adalah berasal dari APBN.
Rincian dan besaran bantuan keuangan dari APBN/APBD telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 5 Tahun 2009 tentang Bantuan Keuangan Parpol.
Dalam PP tersebut, parpol di tingkat pusat yang berhasil memperoleh kursi di DPR RI berhak menerima bantuan sebesar Rp 1.000 per suara sah dari pemilu sebelumnya.
Sebagai contoh, pada pemilu anggota legislatif 2019, PDIP mendapat perolehan suara sebanyak 27.053.961, seperti yang tercatat di kominfo.go.id. Total perolehan suara tersebut kemudian dikalikan Rp 1.000, maka bantuan dana yang didapat PDIP dari APBN setiap tahunnya adalah sekitar Rp27 miliar.
Karena masih dianggap kurang, maka baru-baru ini dilansir dari kompas.com, Kementerian Dalam Negeri telah mengajukan peningkatan bantuan dana menjadi Rp 3.000 per suara untuk di tahun 2023. Yang berarti tiga kali lipat dari anggaran sebelumnya. Bukankah menjadi angka yang sangat fantastis?
Belum lagi ada oknum nakal yang memanfaatkan jabatannya untuk mengambil uang rakyat, baik korupsi atau gratifikasi. Apalagi alasannya kalau bukan untuk mengembalikan modal mereka yang terpakai untuk dana kampanye.
Parpol sejatinya memiliki posisi penting. Selain turut mewujudkan kemaslahatan rakyat, parpol juga berperan dalam mengawasi jalannya sistem pemerintahan. Sayangnya, praktik politik di negeri kapitalis menjadikan seluruh interaksi berorientasi pada materi, tidak terkecuali parpol. Alasan kenaikan dana parpol adalah untuk melepaskan diri dari pemodal justru menyingkap kelamnya dunia politik yang selama ini berjalan. Alasan ini justru bukti bahwa selama ini parpol memang mengakomodasi kepentingan para pemodal, sebab mutualisme pemodal dan penguasa adalah realitas yang sulit terbantahkan.
Elektabilitas maupun dukungan suara, semuanya membutuhkan dana yang tidak sedikit. Dengan sendirinya, sulit bagi parpol mana pun untuk lepas dari sokongan para pemodal. Jika kita mengamati parpol besar yang kerap memenangi kontestasi pemilu, sebagian besar didirikan oleh para pemodal. Masuknya para pebisnis ke dunia politik telah menciptakan industri politik yang sarat manipulasi. Praktik politik bermutasi menjadi pasar transaksi kepentingan berbagai pihak, terutama para pemilik modal.
Paradigma sekuler kapitalistik tersebut jelas tidak ada dalam Islam. Parpol dalam sistem Islam tegak atas asas dakwah yaitu amar makruf nahi mungkar. Keberadaan parpol pada akhirnya selaras dengan aktivitas dakwah dan muhasabah. Oleh karenanya, dalam menjalankan aktivitas ini, tidak harus bertumpu pada ada dan tidaknya dana. Dalam menjalankan aktivitasnya, parpol juga jauh dari unsur kepentingan pribadi. Akidah Islam yang menjadi spirit tegaknya partai akan menjadikan parpol jauh dari rutinitas duniawi yang menjadikan materi sebagai tujuan.
Kader-kader parpol memiliki karakter yang khas. Kemaslahatan rakyat menjadi perkara utama. Prinsip-prinsip kepartaian yang mengikat para kadernya pun tidak lepas dari tuntunan syariat dan landasan aqidah keimanan. Atmosfer keimanan ini dengan sendirinya mengontrol perilaku para kader partai. Jadi, dalam melaksanakan aktivitas sehari-hari, setiap kader memahami bahwa Allah akan meminta pertanggungjawaban secara individu. Ini menjadikan individu sebagai kader yang senantiasa menghadirkan ruh kesadaran hubungannya dengan Allah di setiap aktivitas. Inilah profil kader partai dalam pandangan Islam. Atmosfer politik seperti ini hanya bisa terwujud dalam sistem pemerintahan Islam.
Tags
Opini