Oleh Siti Aminah, aktivis muslimah
Pemerintah akan melakukan impor beras 1 juta ton dari India. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan mengungkapkan hal ini dilakukan sebagai bentuk antisipasi atas dampak cuaca panas ekstrim atau El Nino. "Beras kita menang harus ambil (impor) walaupun kadang-kadang enggak populer ya, tapi kita harus ambil inisiatif karena nanti kalau El Nino berat keadaannya kita enggak boleh bertaruh beras kurang kan," kata Zulhas (detik.com, 16/6/2023).
Impor beras kembali dilakukan pemerintah, kali ini untuk antisipasi El Nino. Padahal antisipasi tersebut bisa dilakukan jauh-jauh hari, karena BMKG sudah memperkirakan adanya El Nino , logikanya pemerintah seharusnya sudah punya rencana untuk menghadapi El Nino tanpa harus impor beras.
Beberapa daerah di Indonesia sedang panen raya beras. Nyatanya kebijakan diambil tanpa pertimbangan matang dan memperhatikan nasib petani . Kebijakan impor bisa berakibat mematikan minat petani untuk tetap menanam padi. Sekaligus mematikan minat generasi muda untuk jadi petani.
Islam mewajibkan negara mengurus rakyat. Penetapan kebijakan berarti harus berpihak pada rakyat dan memudahkan hidupnya. Selain itu juga memperhatikan segala hal yang terjadi sehingga dapat tepat melakukan antisipasi tanpa merugikan petani. Rasulullah saw. bersabda: "Tidaklah seorang hamba dijadikan Allah sebagai pemimpin yang mengurusi rakyat, lalu dia mati dalam keadaan menipu rakyatnya, kecuali Allah mengharamkan surga bagi dirinya"(HR Muslim).
Dengan melakukan import beras di tengah rakyat sedang panen raya merupakan bentuk kezaliman penguasa, hanya demi kepentingan segelintir orang para petani menjadi korban, seharusnya pemerintah mempunyai cara agar petani bisa memenuhi kebutuhan beras misalnya dengan membiayai penelitian dan pengembangan teknologi terbaru agar petani bisa menghasilkan padi lebih banyak sebelum El Nino datang.
Penguasa di sistem demokrasi kapital memang hanya sebagai regulator saja (mengesahkan kebijakan saja) , tidak bisa benar menyelesaikan masalah sampai ke akar-akarnya, berbeda dengan sistem Islam yang sempurna. Sistem ekonomi Islam yang kokoh, demikian pula dengan sain dan teknologi, negara akan terus berupaya mengembangkan terobosan dalam hal ketahanan pangan. Hal itu terbukti, saat Islam diterapkan sebagai sistem yang mengatur kehidupan selama 13 abad lamanya.
Saat kekhalifahan Umar bin Khattab ra, beliau membuka kebijakan terkait irigasi untuk mengalirkan pada area perkebunan. Seperti kawasan delta dan wilayah Tigris serta daerah rawan sengaja dikeringkan menjadi lahan-lahan pertanian. Ketika musim paceklik melanda Hijaz. Khalifah Umar bin Khattab ra melakukan pengendalian suplai pangan. Umar meminta gubernur Mesir, Amr bin Aash untuk mengirimkan pasokan makanan. Hal itu ditanggapi dengan pengiriman bantuan melalui jalur laut.
Begitulah dalam masa peradaban Islam, sebagai penopang pangan adalah dengan mendukung pertanian. Sebab pertanian adalah dasar dari kehidupan. Dalam Islam, bila ada tanah-tanah mati wajib digarap (dihidupkan) kembali oleh siapa saja yang betul-betul membutuhkan. Sebagaimana hadis Rasulullah saw. yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Abu Dawud yang artinya: “Siapa saja yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu menjadi miliknya.”
Dalam Islam, ketahanan pangan akan kuat karena memiliki konsep yang jelas dalam pengelolaan pangan, yaitu visi mewujudkan kemandirian pangan dan jaminan pasokan pangan. Dalam hal cita-cita, Islam memandang pangan adalah salah satu kebutuhan pokok yang wajib dipenuhi oleh negara. Maka pemerintah akan melakukan beragam upaya untuk mewujudkannya. Seperti peningkatan produktivitas lahan dan produksi pertanian melalui ekstensifikasi pertanian dengan cara menghidupkan kembali tanah-tanah mati.
Karenanya bila ada tanah yang ditelantarkan oleh pemiliknya selama tiga tahun, maka hak kepemilikan atas tanah tersebut akan hilang. Negara berhak mengambil alih dan mendistribusikannya kepada rakyat yang bisa mengelolanya. Dengan begitu tidak ada istilah lahan kosong yang dibiarkan tanpa pemanfaatan untuk kemaslahatan orang banyak.
Untuk meningkatkan produksi pertanian harus melakukan kebijakan intensifikasi pertanian. Seperti optimalisasi lahan dengan meningkatkan hasil pertanian bisa melalui peningkatan kualitas benih, penggunaan obat-obatan, pemanfaatan teknologi, menyebarkan tehnik-tehnik modern di kalangan para petani, membantu pengadaan benih serta membudidayakannya. Negara juga akan memberikan modal yang dibutuhkan bagi rakyat yang tidak mampu sebagai hibah. Modal tersebut untuk membeli yang diperlukan. Seperti peralatan, benih, dan obat.
Begitulah Islam sebagai sistem yang sempurna, mampu mengatasi rawan pangan dan kemandirian pangan pun bisa diwujudkan, bukan sesuatu yang mustahil. Maka sudah saatnya umat bersatu untuk membuang sistem batil (kapitalisme) dan menerapkan kembali Islam kafah dalam seluruh aspek kehidupan. Wallahu a'lam bish showab.