Umat Islam Hanya Dijadikan Objek politik, Karena Minimnya Pemahaman Politik Umat



Oleh: Khasanah Isma


Tahun 2023 ini memang layak disebut sebagai tahun politik, karena setiap partai akan berupaya  keras untuk bisa lolos ambang  batas di parlemen pemilu 2024,setelah proses tersebut berhasil dilalui, barulah  bisa mengantarkan para calon presiden yang diusungnya untuk masuk dalam kontestasi pemilu. 

Puncak Pemilu memang baru akan dilaksanaka pada tanggal 14 februari 2024, namun hiruk pikuk kampanye sudah dimulai sejak setahun belakangan ini, mereka berpikir setidaknya dengan  melakukan kampanye dari jauh- jauh waktu  akan memudahkan masyarakat mengenal siapa saja Bacapres ( Bakal Calon Presiden) yang akan turut serta pada pemilu 
2024, hingga  saat ini setidaknya  ada beberapa nama yang  memang telah dikenal masyarakat luas, bahkan  fix dinobatkan sebagai bacapres dari partai koalisinya, sebut saja Anies Baswedan yang saat ini tengah  mengungguli bacapres dari koalisi  partai lawan, yaitu Ganjar dan Prabowo,  Anies telah mengantongi syarat president thresholds 20% di kursi Parlemen, melalui koalisi 3 partai (PKS, Demokrat dan Nasdem), selain Anies  , dua nama yang tak asing lagi pun ikut dicalonkan  yaitu Ganjar pranowo  dari  koalisi partai PDIP, P3 dan Hanura, adapun  Prabowo  diusung Gerindra,PKB, 
ada kemungkinan besar partai Perindo besutan Harie tanoe dan PAN  akan bergabung  dengan Bacapres Prabowo,  ketiga nama tersebut. sudah  tak asing lagi bagi masyarakat, karna masing- masing calon  punya rekam jejak yang masyarakat sendiri menyorotinya, ada bacapres yang tengah dekat dengan umat islam, ada yang   tengah dibenci oleh umat islam dikarenakan sifat nyelenehnya, , ada pula bacapres yang pada pemilu lalu meninggalkan  kekecewaan mendalam pada  harapan umat islam  namun tak juga jera,tokoh ini lagi -lagi mencalonkan diri di pemilu 2024.

Bila kondisi politik sekarang dikaitkan dengan  umat islam, tentu ada korelasinya,sebab umat islam lah yang  paling banyak berkontribusi dalam perhelatan ini,  sumbang suara umat menjadi daya tarik bagi seluruh partai mengingat jumlah musim di negeri ini yang  mayoritas, merilis data dari Kemendagri
 bahwa seluruh penduduk RI yang totalnya 277,75juta jiwa, ada sekitar 241,7 juta penduduk  beragama Islam, jumlah tersebut jika dipresentasekan setara dengan 87,02%, ( sumber :  Alwaie) , 

Dari jumlah yang  sangat besar itu maka tak  heran bila banyak para bakal calon baik itu caleg atau pun bacapres berupaya penuh meraih simpati umat islam 
terlebih mendekati tokoh umat agar mudah memperoleh dukungan suara pada pemilu sehingga sosok yang mereka usung pun menang,peserta pemilu  akan  mendekati para tokoh Islam yang  dinilai memiliki pengaruh luas ditengah -tengah umat, , berbagai cara pun dilakukan, dari mulai memberi sumbangan kepada  yayasan / lembaga Islam, hingga menjalin  kontrak politik  jika  berkomitmen untuk mengusung calon yang diunggulkan, proyek apa dan berapa besar nominal yang diterimanya biasanya sudah dibicarakan , dari  mulai bagi- bagi saham BUMN sampai berbagi jatah posisi jabatan di BUMN bahkan Kementrian, hingga  lupa
mempertimbangkan mampu tidaknya kelak mengelola BUMN, permainan berbagi kue kekuasaan ini dinilai  menjadi sebuah kewajaran dalam
politik demokrasi, dari  mulai bagi-
bagi royalti hingga ucapan uang "terimakasih " Dalam
bentuk hibah  barang- barang mewah
Inilah fakta yang  sesungguhnya terjadi.

Kotornya praktek sekuler Demokrasi terjadi berulangkali meski telah berganti pemimpin, mekanisme yang dijalankan tetap sama, yakni besarnya  kekuatan uang tak lepas dari besarnya kepentingan sehingga wajar bila sistem ini hanya  menciptakan manusia-manusia yang kehilangan akal sehatnya,sebab standar yang dipakai bukanlah benar atau salah melainkan standar uang dan kepentingan, simbiosis mutualisme pun terjadi atas dasar asas manfaat  . 
 

Umat Islam Jangan Mau Dibohongi Berulang Kali

Sebetulnya kesadaran umat akan politik saat ini cukup tinggi, hal ini  terlihat dari  besarnya keinginan mereka melibatkan diri dalam mengusung sosok Bacapres( Bakal calon presiden) yang datang dari kalangan muslim dan dikenal dekat dengan umat islam, mereka menaruh harapan jika calon pemimpin yang diusungnya muslim, maka akan dapat mengubah nasib umat jika ia terpilih, kesadaran politik ini  mulai terlihat dari komunitas umat islam 212 sejak digelarnya pemilu 2019 lalu  ,namun sayangnya kesadaran politik umat  belum diiringi dengan  pemahaman politik yang  benar terkait apa arti dari  sebuah kemenangan  politik umat, pandangan politik sebagian besar umat islam saat ini masih saja terjebak pada  figuritas, atau dengan kata lain sosoknya saja yang dinilai,mereka berfikir  bahwa asal calon yang  mereka  dukung itu muslim , berkelakuan baik, pro terhadap umat islam maka hal itu dianggap  layak diusung  menjadi calon pemimpin untuk diupayakan menang, itulah tolak ukur kemenangan  politik dibenak umat islam saat ini, padahal justru dengan  tolak ukur  seperti itu  posisi umat islam hanya sebatas dijadikan objek politik( sasaran politik)saja, bukan sebagai subjek atau  pelaku,  umat hanya  sampai pada batas dimanfaatkan  suaranya oleh partai-partai  yang  bersimbol islam tapi  berideologi sekuler seperti ( PKS,P3, PBB, PKB) maupun partai nasionalis  semisal ( PAN,Demokrat, Golkar, PDIP dlsbnya), seharusnya justru umat islamlah  yang mestinya menjadi pelaku , bukan hanya dimanfaatkan saja suaranya lalu ditenggelamkan  harapannya, karena pemahaman  politik  umat yang  belum benar inilah sehingga  kemenangan politik dikepala umat   dimaknai pada batas  mengantarkan pemimpim muslim yang diusungnya ke kursi kekuasaan ,padahal   kemenangan politik umat yang sesungguhnya itu adalah ketika sampainya islam pada  kekuasaan, tak hanya sekedar berkuasanya orang  islam dalam kursi kepemimpinan, inilah PR besar kita semua untuk meluruskan pandangan umat terkait pemahamannya yang keliru  agar politik umat islam ini tidak terjebak hanya pada figuritas semata, asalkan dia muslim, berkepribadian baik , dan pro terhadap umat, lalu dianggap layak dan mampu membawa perubahan, 
 umat islam lupa bahwa nyatanya ada yang  tak kalah penting  dari  sekedar baiknya calon pemimpin , yakni terwujudnya sistem yang baik, kedua hal ini tak dapat dipisahkan karena  hal tersebut adalah syarat mutlak agar layak mencapai  kemenangan  politik umat yang hakiki, jika umat hanya memilih pemimpin  yang baik, tanpa meneliti apakah calon tersebut membawa misi untuk mewujudkan sistem yang baik,maka disitulah titik lemah umat islam,  karena  imej baik itu bisa dibuat kapan saja bahkan hanya dengan  bermodalkan pencitraan, ketika pemilu telah selesai, baiknya  calon pun selesai , kebaikan tersebut akan tergerus  bila sistem yang dijalankannya tidak baik,  orang  baik akan berubah menjadi  jahat apabila rutinitaa hidupnya  dihadapkan pada komunitas / aturan sistem yang  jahat, bayangkan bila kejahatan itu dilakukan  pemimpin yang telah kita pilih, kelak ribuan kebijakan yang dihasilkan dari isi kepalanya difungsikan sebagai alat legalitas yang sah dalam bentuk  perundangan yang kita semua dipaksa tunduk, lalu sebagai rakyat bisa apa? inilah bahayanya jika hanya memilih pemimpin yang baik tanpa mewujudkan sistem yang baik, sebab akan berimbas  kepada  nasib rakyat, semua program kerja yang  dijalankan oleh pemimpin baru jika tetap memakai aturan sistem yang lama otomatis hanya  tinggal melanjutkan kebijakan  yang sudah berjalan sebelumnya, aturan mainnya, birokrasinya tetaplah sama, yang  beda hanyalah sosok pemainnya, ibarat HP casingnya saja yang  diganti, tapi  cara kerja mesinnya tetap
sama,  secara lahiriah terlihat berganti  namun pada faktanya tak ada yang beda, karna kebijakan politik yang dibuat tetaplah sama, yakni mengerdilkan hak-hak rakyat, terbukti sudah berapa kali ganti kepemimpinan ,kondisi rakyat bukan jauh lebih membaik malah makin memburuk, tingginya angka kemiskinan , massifnya gelombang PHK, mahalnya biaya kebutuhan hidup sehingga sulit dijangkau masyarakat lapis bawah, adalah bukti mengganti pemimpin saja tidaklah cukup jika tanpa mengganti sistem, maka dari itu umat islam harus paham betul arti kemenangan itu seperti apa dan hakikat politik islam itu bagaimana, jangan  sampai terbentuk mindset bahwa  politik adalah cara untuk  meraih kekuasaan dan kekayaan,karena  dalam  pandangan islam  politik itu adalah jalan untuk  mengurusi kebutuhan umat, agar dapat dipenuhi hajat hidupnya  dan dapat didistribusikan dengan benar sehingga  sampai pada pos-pos yang tepat , kesalahan pemahaman umat islam yang  beranggapan bahwa kemenangan umat islam itu adalah jika pemimpin muslim yang berkuasa , harus dirubah, sebab jika tidak  maka sampai  kapan pun umat islam akan menjadi objek politik , yang hanya dimanfaatkan suaranya untuk kepentingan segelintir orang khususnya para pengusaha yang ternyata juga penguasa (Oligharki), padahal umat islam memiliki kekuatan yang besar untuk menentukan sendiri posisinya guna merubah nasib umat jika mau bersatu membuat agenda politik sendiri, tentunya tidak hanya cukup dengan mencari  calon pemimpin yang baik, tapi juga mewujudkan sistem yang baik , yaitu sistem pemerintahan islam , sistem ini terbukti dalam sejarah mampu bertahan lama hingga benar- benar menjadikan islam dan umatnya mencapai peradaban yang mulia seperti yang pernah terjadi 100  tahun silam, itulah kemenangan politik umat yang sebenarnya.
Sebagai seorang muslim yang mengaku beriman kepada Allah, beriman kepada hari penghisaban sudah barang tentu  standar aturan hidup yang dipilih adalah wajib  bersumber dari aturan Allah dan keteladanan Rasulullah SAW, termasuk dalam hal politik , islam telah memiliki aturan baku buat umatnya agar tak salah dalam melangkah, islam pun menganjurkan agar setiap muslim haruslah terlibat dalam politik, minimal dia menjadi Uyyunul ummah pengawas ( matanya umat) yakni mengoreksi kinerja penguasa, menegurnya jika melakukan penyimpangan dan kezoliman dalam mengurus rakyatnya, disitulah islam menganjurkan setiap muslim agar terlibat dalam politik , sebab tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh untuk bisa mengembalikan seluruh hak umat dan menegakan dienullah kecuali dengan jalur politik, bahkan tanpa kita sadari harga tempe pun diputuskan lewat kebijakan politik,namun politik yang bagaimanakah yang harus dijalankan umat?

Politik seorang muslim yang sesuai dengan keridhoan Allah dan rasulnya hanyalah politik islam, bukan melibatkan diri dalam politik Demokrasi yang justru  teori - teori tersebut  ( Trias politica) lahir dari ilmuwan kafir seperti Montisque, Aristoteles, Plato dan sebagainya, Rasulullah dan para sahabatnya, tabi'in dan thabi'at sudah merealisasikan kehidupan politik islam sejak jauh- jauh waktu, jadi tak layak bagi kita yang mengaku muslim untuk mengadopsi pemikiran politik yang justru lahir dari otaknya orang kafir, ya
itu demokrasi. Sepanjang hidupnya Rasulullah dan para sahabat hanya menerapkan sistem politik islam yakni Khilafah, bukan selainnya, siapa suri tauladan kita? Rasulullah, atau selainnya?.
Seribu satu masalah keummatan hanya  akan tuntas jika dikembalikan kepada aturan islam secara kaffah. 

Berkata Imam Malik bin Annas Rahimahullah:

يُصْلِحُ آخِرَ هذِهِ الأُمَّةِ إِلَّا مَا أَصْلَحَ أَوَّلَهَا

“Tidak ada yang dapat memperbaiki generasi akhir umat ini, kecuali apa yang telah memperbaiki generasi awalnya”

Perkataan imam Malik bin Anas rahimahullah ini diriwayatkan oleh Qadhi Ismail bin Ishak Al-Jahdhami Al-Maliki (w.282 H) dalam kitab beliau Al-Mabsuth, 
Pernyataan ini mengisyaratkan bahwa  siapapun kita yang hendak menginginkan perbaikan umat manusia baik itu muslim maupun  non-muslim,  jika tidak mengikuti  yang telah dilakukan oleh generasi awal islam yaitu nabi dan para sahabat, taabi'in dan thabiat, berarti ia telah keliru dan berkata tanpa haq, dan tidak akan berhasil mewujudkan perbaikan.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak