Oleh Atla Nuari
Komunitas Ibu Tangguh
Setelah melewati badai besar penyebaran covid 19. Kini masyarakat dihebohkan dengan wabah antraks di Gunungkidul yang memakan korban jiwa. Kasus ini bermula usai mengkonsumsi daging sapi mati.
Mengapa bisa mengkonsumsi daging sapi mati? Tradisi brandu di Gunungkidul merupakan kebiasaan warga lokal sebagai wujud solidaritas dengan menyembelih hewan ternak yang sakit atau mati. Daging hewan yang disembelih tersebut, kemudian dibagi-bagikan atau dijual murah, untuk meringankan beban pemilik yang ternaknya mati. Jadi, tradisi brandu disebut-sebut sebagai biang kerok masifnya penularan antraks di Gunungkidul. (CNN Indonesia/Andry Novelino).
Warga sebenarnya sadar akan risiko antraks dan larangan mengkonsumsi ternak yang sakit atau mati mendadak. Namun, hal ini sering diabaikan. Tradisi memotong / menyembelih ternak yang kedapatan mati mendadak oleh peternak pedesaan di Negara berkembang (termasuk Indonesia) sulit dihilangkan, mengingat pada umumnya ternak tidak disembelih di tempat pemotongan resmi (rumah pemotongan hewan).
Sementara itu, orang-orang yang menyembelih dan mengonsumsi daging tersebut telah diambil sampelnya oleh Dinkes untuk dilakukan pemeriksaan.
Apa itu penyakit antraks? Dilansir situs Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit atau Centers for Disease Control and Prevention (CDC), anthrax atau antraks adalah penyakit menular serius yang disebabkan oleh bakteri gram positif berbentuk batang yang dikenal sebagai Bacillus anthracis. Bakteri ini dalam kondisi tertentu membentuk spora yang sangat resisten dan mampu mempertahankan virulensinya selama bertahun-tahun.
Antraks paling sering menyerang hewan gembala seperti sapi, domba, kambing dan kuda. Anthrax atau antraks juga dapat menyebabkan penyakit parah pada manusia dan hewan. Orang bisa terkena penyakit antraks jika mereka bersentuhan dengan hewan yang terinfeksi atau produk hewan yang terkontaminasi.
Kepala Bidang Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Gunungkidul Retno Widyastuti dikutip Kompas.id, Rabu (5/7/2023) menyatakan bahwa tradisi brandu adalah salah satu yang membikin kita enggak berhenti-berhenti ada antraks.
Tradisi brandu disinyalir membuat Kabupaten Gunungkidul menjadi daerah endemi antraks. Kasus antraks dideteksi di daerah ini pada 2019 hingga 2023.
Direktur Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Nuryani Zainuddin menyebut populasi ternak rawan antraks di Gunungkidul mencapai 357.351 ekor hewan ternak. Rinciannya 143.793 ekor sapi, 202.555 ekor kambing, dan 11 ribu ekor domba.
"Ketika daerah endemi antraks tidak dilakukan penanganan secara baik. Baik di tanah, lingkungan dan kesadaran masyarakat maka kasus antraks ini akan terus berlanjut," kata Nuryani dikutip Kompas TV, Jumat (7/7).
Kasus antraks terkini di Gunungkidul dideteksi setelah seorang warga Dusun Jati, Desa Candirejo, Kecamatan Semanu meninggal dunia di RS Sardjito pada 4 Juni lalu. Warga itu dideteksi positif antraks.
Pihak terkait pun segera melakukan tes serologi kepada 143 warga untuk mendeteksi penularan antraks. Hasilnya, 87 orang dinyatakan positif, tetapi sebagian besar tidak menunjukkan gejala.
Kepala Desa Candirejo Renik David Warisman mengaku bahwa ada warga setempat yang melakukan brandu sebelum antraks menyebar. Menurutnya, tradisi ini tetap dilakukan sebagai wujud simpati masyarakat terhadap tetangga yang kehilangan ternak.
Sementara itu Kementan bersama Pemerintah Kabupaten Gunungkidul melakukan penanganan cepat terhadap kasus antraks dengan mengirim tim kesehatan hewan, mendistribusikan logistik obat-obatan antibiotik, vitamin, serta cairan disinfektan. Upaya tersebut dilakukan untuk menekan sekaligus menghentikan penyebaran bakteri antraks.
Penanggulangan kasus antraks tidak cukup hanya sebatas menghentikan penyebaran bakteri antraks serta pendistribusian obat-obatan, sebab suatu saat kasus ini akan muncul kembali. Oleh karena itu, penanganan penyakit antraks harus memperhatikan akar masalah yang menimbulkan penyakit berbahaya yakni memperhatikan dari hulu hingga hilir.
Warga yang melakukan tradisi brandu ini mensolusi sendiri permasalahan yang mereka hadapi sebab tidak ada yang menjamin para peternak ketika ternak mereka terkena virus penyakit.
Keadaan ini diperparah dengan lemahnya pemahaman serta aqidah masyarakat yang mengkonsumsi hewan yang disembelih ketika sudah mati. Padahal agama Islam tidak hanya mewajibkan makanan halal saja namun harus thayib yakni daging sehat yang tidak bervirus sebab bisa menghantarkana dharar pada manusia. Sebagaimana yang Allah SWT jelaskan dalam Al Qur'an surah Al Baqarah ayat 168 yang artinya:
"Wahai manusia! Makanlah dari (makanan) yang halal dan baik yang terdapat di bumi…”
Negara memiliki kewajiban dalam menjaga pemahaman Islam yang benar dengan mengedukasi masyarakat akan makanan yang halal lagi baik (thayib) untuk dikonsumsi, serta memberi jaminan kesejahteraan terhadap rakyatnya. Seperti memberi modal tanpa bunga kepada para peternak, memberikan jaminan seperti bantuan apabila terjadi musibah seperti virus penyakit pada hewan. Negara hadir meriayah rakyat dengan mempersiapkan teknologi terbaik di bidang peternakan. Agar hewan ternak yang dihasilkan memiliki nilai gizi terbaik untuk dikonsumsi.
Pemisahan agama dengan kehidupan tidak akan ditemukan dalam Islam. Sebab, Islam menjadikan setiap aktivitas kaum muslim harus bersandarkan dengan nilai-nilai islam. Termasuk memberikan pelayanan terbaik merupakan ibadah bagi para penguasa. Bukan hadir ketika masalah sudah merebak, bahkan saling menyalahkan satu sama lain. Namun benar-benar memastikan rakyatnya hidup dengan penuh ketenangan, kebahagiaan dan kesejahteraan. Semua itu hanya mungkin terjadi apabila syariat Islam diterapkan secara kaffah.
Wallahu'alam bishawab.