Oleh: Muflih Khofifah
Meresahkan! Tindak pidana perdagangan orang (TPPO) bermodus program magang terjadi lagi, kali ini di Jepang. Hal ini dibongkar oleh Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri.
Kasus ini terungkap berawal dari dua mahasiswa yang melapor, bahwa mereka para mahasiswa dikirim oleh sebuah politeknik untuk magang di Jepang, namun malah dijadikan buruh 14 jam perhari (dari pukul 08.00 sampai 22.00) dan mereka hanya diberikan waktu istirahat dari perusahaan hanya 10 sampai 15 menit untuk makan, tidak boleh beribadah. Sebagai kompensasi, mahasiswa tersebut diberikan upah sebesar 50.000 yen yang setara dengan Rp 5 juta per bulan, namun upah itu harus dipotong untuk dana kontribusi ke kampus sebesar Rp 2 juta per bulan. Kompas.com (27/06/2023)
Sebenarnya kasus ini buka yang pertama kali, menurut Komnas HAM Anis Hidayah, TPPO dengan modus magang sudah terjadi sejak 15 tahun lalu, modus ini menyasar pada peserta didik tingkat SMK (di Asia Tenggara, terutama Malaysia) dan Mahasiswa program magang (di Asia Timur, yaitu Jepang dan Korea).
Oleh sebab itu Komnas HAM, Anis Hidayat mendesak Kemendikbudriatek agar bertanggung jawab sebagai bagian dari satgas pencegahan TPPO, sebab tugasnya ini belum berjalan.
Masalah diatas tentu perlu tindakan serius, sebab jika terus terjadi, pendidikan akan ternodai dengan kasus-kasus tersebut. Padahal magang merupakan jalan pembelajaran secara langsung peserta didik di lapangan untuk bekal memasuki dunia kerja kedepannya. Magang biasanya menjadi program wajib bagi siswa SMK dan Mahasiswa untuk syarat kelulusan.
Maka tidak layak, magang yang merupakan salah satu program pendidikan justru disalahgunakan oleh oknum rakus. Terbukti dari fakta bahwa siswa harus membagi gajinya pada kampus, secara tidak langsung mereka dieksploitasi demi keuntungan oknum rakus tadi.
Selain kasus ini merusak dunia pendidikan, magang pada sistem atapun kurikulum pendidikan saat ini memang lebih menekankan pada jargon sekolah untuk kerja, belajar untuk kerja, pintar untuk kerja, intinya apapun berujung pada kata "kerja". Tidak aneh, sebab kita sekarang dalam sistem kapitalisme yang mana segala lini kehidupan dihubungkan pada kemanfaatan duniawi saja dan mengenyampingkan agama pada aspek kehidupan. Dalam sistem ini standar kesuksesan juga diukur dengan sebanyak-banyaknya harta dunia yang bisa dikumpulkan, semakin banyak harta semakin naik derajat kesuksesannya. Sehingga tidak aneh jika kebanyakan motivasi belajar anak bangsa saat ini adalah belajar hanya untuk kerja dan harta.
Berbeda dengan islam. Islam memiliki sistem pendidikan yang target besarnya yakni mencetak generasi berkepribadian islam (syahsiah islamiah), bukan pekerja.
Para siswa didorong untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan tsaqofah islam yang diperoleh pada masa pendidikan untuk dijadikan sebagai bekal kehidupan, alias solusi bagi permasalahan kehidupan, bukan hanya sekedar mendapatkan gelar dan kerja saja, Namun siswa dapat bermanfaat untuk kepentingan umat dan islam.
Selain itu, peserta didik dalam sistem pendidikan islam juga memperoleh pemahaman tentang hakikat bekerja menurut islam yang disertai seluruh keahlian ataupun pelatihan yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja. Hal ini penting, sebab Bekerja adalah alah satu jalan mencari nafkah. Dan hukum asalnya bagi laki-laki adalah wajib, sedangkan perempuan itu boleh (mubah).
Islam juga mempunyai ilmu fiqih ekonomi sebagai bekal ketika bekerja nanti. Misalnya islam benar-benar teliti dalam mengatur tentang kontrak kerja (ijarah) sehingga majikan dan pekerja terhindar dari akad zalim yang justru bisa mengeksploitasi pekerja. Islam juga mengajarkan bagaimana mengelola harta agar tidak terjebak pada keharaman, seperti riba, judi dan penipuan.
Terkhusus untuk kaum perempuan, islam membolehkan mereka bekerja, namun harus terikat dengan hukum syariat dan tidak menyalahi fitrahnya sebagai perempuan.
Dari keistimewaan islam mengatur pendidikan tadi, islam juga menggratiskan pendidikan pada semua masyarakat yang berada di dalam negara yang menetapkan islam. Sebab dalam islam pendidikan merupakan kebutuhan yang harus dipenuhi negara, maka harus digratiskan negara. Biaya pemenuhan pendidikan itu sendiri dari pemasukan Baitul Mal yang dikelola negara untuk kepentingan umat.
Maka TPPO dengan berkedok magang atapun pendidikan, tidak akan terulang kembali In Sya Allah jika kita menerapkan Islam secara total dalam naungan Khilafah.
Wallahu'alam Bisshowab
Tags
Opini