Tata Kelola Pelaksanaan Haji, Benarkah Sudah Maksimal ?

 


Oleh Riska Nurfaidah
Pemerhati umat

Ibadah Haji adalah ibadah yang Allah Swt. tetapkan sebagai fardu ‘ain bagi kaum Muslim yang memenuhi syarat dan berkemampuan. Allah Swt. menyatakan dalam firman-Nya: “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah.” (TQS.Ali ‘Imran [03]: 97).

Umat Muslim berlomba-lomba setiap tahunnya agar bisa melaksanakan ibadah haji, bahkan rela menunggu antrian bertahun lamanya, menabung rupiah demi rupiah hingga sampai di usia senjanya, demi bisa menunaikan rukun Islam kelima tersebut.

Tapi pelaksanaan dan proses menuju haji penuh dengan berbagai persoalan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Anggota Ombdusman, Indraza Marzuki terkait beberapa masalah dalam penyelenggaraan Haji 2023. Dia menyebut pelayanan untuk jemaah Indonesia sangat kacau dan berantakan, mulai dari pendaftaran, keberangkatan, hingga pelaksanaan haji di Tanah Suci. (MediaIndonesia, 30/6/2023).

Beberapa persoalan terjadi dalam penyelenggaraan ibadah haji di Makkah tahun ini, seperti kekurangan makanan, distribusi tidak merata dan terlambat makan, tidak adanya kendaraan pengangkut dll. Semua permasalahan ibadah haji ini, bukanlah kejadian pertama kali. Selalu terulang setiap tahunnya, dan ini diperlukan mitigasi agar tidak terulang lagi permasalahan serupa kedepannya.

Namun, sangat disayangkan penyelenggaraan haji setiap tahunnya senantiasa menyisakan catatan untuk dievaluasi. Tahun 1444 H (2023 M) dinilai  penuh dengan kekurangan. Biaya haji yang naik hampir dua kali lipat di tahun 2023 untuk dua orang jemaah reguler adalah Rp99.625.400,53 (Rp99,6 juta) atau Rp49.812.700,26 per orang, ternyata tidak otomatis pelayanan ibadah hajinya berkualitas.
Dengan semakin meningkatnya semangat para calon jamaah haji setiap tahun, kerap kali hal ini tidak terakomodasi dengan baik. Ini terlihat dari daftar tunggu yang begitu panjang, waktu tunggu keberangkatan mencapai puluhan tahun. Hal ini makin diperparah dengan adanya pembatasan kuota jamaah haji, proses admininstrasi  yang terkesan mempersulit calon jamaah haji, juga
biaya pemberangkatan haji yang makin mahal dari hari ke hari. Belum lagi, dibedakannya dari biaya juga pelayanan bagi haji yang reguler dengan haji plus.

Dari serba-serbi problem yang  terjadi pada pelaksanaan ibadah haji ,maka benarkah sudah maksimal tata kelola pelaksanaan haji ini ?

Dalam sistem kapitalis semua yang bisa bernilai bisnis adalah peluang, termasuk penyelenggaraan ibadah haji. Inilah masalah mendasarnya di mana biaya yang tinggi dan antrian yang cukup lama, tidak menjamin pelayanan terhadap jamaah haji berkualitas.

Sistem kapitalisme memberikan pelayanan publik dengan standar minimum bukan premium. Negara hanya sebagai regulator antara rakyat (jamaah haji) dengan pihak swasta (perusahaan). Untung rugi menjadi aspek penting dalam pelayanan.

Sudah seharusnya penyelenggaraan haji dilakukan dengan menghadirkan paradigma sistem Islam kafah sebagai raa'in yaitu pengurus urusan umat. Bukan semata pertimbangan untung dan rugi apalagi menggunakan dana calon jamaah haji untuk bisnis, investasi, dialokasikan pembangunan infrastruktur, dan sebagainya.  Dalam Islam, tidak ada kesempatan mencari keuntungan materi dalam pelaksanaan haji.

Penyelenggaraan haji berbasis syariat Islam yang kafah adalah solusi persoalan haji hari ini. Kepemimpinan dalam Islam berdasarkan pada syariat Islam ,sangat memudahkan pengaturan pelayanan ibadah haji.  Sehingga penyelenggaraan haji harus optimal dan berkualitas.

Paradigma pemerintahan Islam berbeda jauh dengan sistem kapitalisme. Oleh karena itu kita perlu mencoba menggunakan sistem alternatif yang telah terbukti mampu memberikan pelayanan terbaik kepada seluruh masyarakat.

Wallahu a'lam bishawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak