Serba-Serbi Persoalan Pemilu dalam Demokrasi




Oleh : Eti Fairuzita
(Menulis Asyik Cilacap)



Ketua Bawaslu Rahmat Bagja mengusulkan agar Pilkada 2024 dapat ditunda. Wacana penundaan ini dianggap merupakan upaya mengantisipasi munculnya berbagai konflik keamanan dan masalah lainnya. Berbagai pro kontra pun muncul, bahkan Mahfud MD menilai usulan itu sebagai sesuatu yang tidak relevan. (CNN Indonesia, 15-7-2023).

Di sisi lain, Hakim MK Wahiduddin Adams menyampaikan telah menyiapkan 400—600 orang pembantu hakim untuk menyelesaikan seluruh perkara yang terjadi usai Pemilu 2024 mendatang (Republika, 16-7-2023).

Adalah satu keniscayaan pemilu dalam demokrasi mengundang banyak masalah. Ada dua penyebabnya, pertama karena demokrasi berasaskan sekulerisme yang mengabaikan peran agama dalam mengatur kehidupan termasuk urusan politik. Kedua, karena politik demokrasi yang berbiaya mahal. Jargon dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat sejatinya lahir dari sekulerisme yang meletakan kedaulatan di tangan rakyat, artinya yang berhak membuat aturan selain persoalan ritual adalah rakyat atau manusia yang dipilih melalui proses pemilu.

Aturan yang dibuat oleh manusia inilah yang menyebabkan muncul berbagai persoalan di tengah masyarakat. Karena akal manusia sangat terbatas telah menjadikan mereka terhalang mengetahui aturan terbaik bagi dirinya, meski mereka berpikir namun hasil pemikiran tersebut tidak akan mampu mengakomodir kebutuhan setiap individu rakyat, akan tetapi yang terakomodir hanya kepentingan segelintir orang, yakni mereka yang duduk di kursi kekuasaan atau pun pemerintahan dan para pemilik modal yang memberi dukungan kepada calon penguasa sebelum terpilih.

Tak heran setelah berkuasa, sering kali kita dipertontonkan dengan kebijakan-kebijakan penguasa yang abai terhadap kepentingan rakyat. Sistem demokrasi juga sarat dengan ongkos besar. Pemilu langsung sudah seperti industri dalam sistem demokrasi. Pihak manapun yang memiliki modal besar, pasti memiliki peluang besar pula untuk berkuasa. Pemilu hanya jadi ajang adu kuat modal politik yang sumbernya berasal dari para cukong dan oligarki. Akhirnya, politik balas budi pun akan mewarnai kepemimpinan yang terpilih dan tentu saja praktik korupsi menjadi incaran untuk mengembalikan modal politik yang dikeluarkan.

Kondisi berbeda aka kita temukan dalam sistem Islam di bawah Institusi Khilafah. Memang benar, bahwa Islam membolehkan pemilu, sebab pemilu adalah salah satu cara (uslub) untuk memilih pemimpin dalam Khilafah. Namun pemilu yang berlangsung berlandaskan akidah Islam, artinya segala praktik pemilu yang dijalankan harus memenuhi syarat yang ditetapkan Islam. Landasan akidah dalam politik Islam inilah, yang akan menjaga pemilu agar berjalan aman, tertib, dan jauh dari kecurangan. Kebolehan pemilu di dalam Islam disebabkan karena Asy-Syari (Allah) telah meletakan kekuasaan sebuah negara ada di tangan umat. Namun, Islam menetapkan bahwa kedaulatan bukan di tangan umat, akan tetapi di tangan Asy Syari yakni Allah swt.

Artinya, penguasa yang dipilih oleh rakyat hanya boleh menjalankan aturan dari Allah saja, bukan aturan kesepakatan di antara para pejabat pemerintahan. Sebagaimana yang dipahami, bahwa kesempurnaan Allah swt sebagai pembuat hukum, menjadikan hukum dalam bangunan negara Khilafah adalah hukum terbaik dan tidak cacat. Islam juga telah menjadikan politik sebagai jalan untuk melayani kepentingan publik. Sebab politik dalam Islam bermakna mengurusi urusan umat, sehingga siapapun yang terpilih, maka wajib melakukan ri'ayah atau melayani kepentingan umat, bukan kepentingan segelintir orang. Pemilu dalam Islam, bukan ajang pertarungan modal politik sebab biaya pemilu dalam Islam tidaklah mahal sebagaimana politik dalam sistem demokrasi.

Islam menetapkam metode baku pengangkatan kepala negara adalah baiat syar'i. sementara, proses pemilihannya harus dilaksanakan maksimal 3 hari dengan pelaksanaan yang sederhana dan tanpa membutuhkan biaya kampanye yang fantastis. Apalagi, pemilu dalam Islam dilaksanakan jika dipandang tepat dan dibutuhkan pada keadaan tertentu, karena masa jabatan dalam Khilafah tidak ada periodeisasi sebagaimana saat ini. Khalifah hanya diganti ketika melanggar syariat atau berhalangan untuk menegakkan syariat.
Demikianlah pemilihan penguasa yang bersandarkan pada Islam, yang dilaksanakan di bawah institusi Khilafah akan meminimalkan bahkan menafikan munculnya berbagai persoalan.

Wallahu alam bishshawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak