Oleh Siti Aminah
aktivis muslimah
Tradisi brandu atau porak di kalangan masyarakat, diduga menjadi indikasi kuat penyebaran Antraks ke manusia. Hal tersebut diungkapkan Pemerintah Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta.
Wakil Bupati Gunungkidul Heri Susanto mengatakan tradisi brandu atau porak ini sudah berlangsung secara turun temurun di kalangan masyarakat. Bahkan, tradisi ini sering terjadi ketika ada hewan ternak yang sakit maupun sudah mati dipotong dan dagingnya dijual untuk mengurangi kerugian pemilik ternak. "Kami melakukan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat yang mempunyai ternak, supaya saat memiliki hewan ternak sakit atau mati tidak dikonsumsi," kata Heri.
Sudah ada korban yang jatuh akibat ditemukanya antraks di Gunung Kidul, Pemkab Gunungkidul tengah menyusun kajian hewan ternak yang mati akibat penyakit dan Pemkab bisa langsung melakukan intervensi. Dengan melakukan analisa dan membuat kebijakan khusus supaya budaya atau tradisi brandu ditinggalkan oleh masyarakat.
"Kami mengupayakan ternak-ternak yang mati akibat penyakit, khususnya antraks mendapat ganti rugi dari pemkab. Kami juga menyiapkan skema bantuan premi asuransi ternak," katanya. Heri Susanto mengatakan fakta di lapangan, hewan ternak yang mati akibat penyakit atau virus, kalau tidak dikonsumsi tidak akan berdampak pada manusia. "Ini yang kami upayakan agar masyarakat tidak mengonsumsi daging dari hewan ternak yang mati akibat sakit atau penyakit tertentu," (tvOnenews.com,09/07/2023).
Budaya brandu jelas menunjukkan potret umat Islam yang buta akan ajaran agamanya sendiri , Islam mengharamkan seorang Muslim memakan bangkai tapi karena kemiskinan yang parah di tengah masyarakat rakyat bergotong royong untuk melakukan kemaksiatan dengan membeli dengan harga yang murah sapi yang telah mati untuk dikonsumsi dengan dalih menolong orang yang sapinya telah mati .
Di sisi lain, juga menggambarkan betapa ketidaktahuan rakyat bahwa mengkonsumsi hewan yang telah mati bisa menimbulkan penyakit dan kematian. Hal itu menggambarkan lalainya penguasa dalam mengurus rakyat, sehingga tradisi yang membahayakan tetap berlangsung, bahkan yang melanggar aturan agama yang mengharamkan memakan bangkai.
Dalam sistem kapitalis saat ini negara hanya sebagai regulator, negara tidak mengurusi apa yang dikonsumsi oleh masyarakat sehingga masyarakat bisa sampai meregang nyawa karena mengkonsumsi makanan yang tidak layak dikonsumsi, nyawa rakyat seakan akan tidak artinya.
Dalam sistem Islam sangat menghargai nyawa manusia. Karena itu Islam sangat memperhatikan penjagaan nyawa manusia. Allah SWT berfirman yang artinya"Siapa saja yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu membunuh orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya. Siapa saja yang memelihara kehidupan seorang manusia, seolah-olah dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya". (TQS al-Maidah [5]: 32).
Nabi saw. pun pernah bersabda: "Sungguh dunia ini hancur lebih ringan di sisi Allah daripada seorang Muslim yang terbunuh"(HR an-Nasa’i, at-Tirmidzi dan al-Baihaqi). Para ulama menempatkan upaya memelihara nyawa (hifzhu an-nafsi) sebagai salah satu tujuan syariah. Syariah mewujudkan hifzhu an-nafsi melalui berbagai hukum, semisal hukuman qishash atau diyat dalam pembunuhan, diyat dalam serangan terhadap organ, dsb. Juga larangan atas segala hal yang menyebabkan dharar (bahaya) dan mengancam keselamatan baik bagi diri sendiri, orang lain atau masyarakat.
Islam juga menempatkan penjagaan atas harta (hifzhu al-mâl) pada posisi yang tinggi. Penjagaan terhadap harta kepemilikan bahkan disandingkan dengan penjagaan terhadap nyawa. Jika seseorang, demi mempertahankan hartanya, sampai menemui kematian, dia dinilai syahid akhirat.
Dalam keadaan normal, kedua maksud syariah itu, yakni penjagaan atas nyawa dan harta, bisa dilaksanakan secara berbarengan dan beriringan. Namun, dalam keadaan tertentu, yang satu harus diutamakan atas yang lain. Allah SWT berfirman yang artinya,"Siapa saja yang terpaksa (memakan yang haram), sementara dia tidak ingin (memakan yang haram itu) dan tidak pula melampaui batas, maka tidak ada dosa bagi dirinya" (TQS al-Baqarah [2]: 173).
Imam ath-Thabari di dalam kitab tafsirnya, Jâmi’ al-Bayân, menjelaskan, “Siapa saja yang tertimpa darurat kelaparan hingga terpaksa memakan apa yang diharamkan itu…maka tidak ada dosa bagi dirinya.” Imam al-Qurthubi menyebutkan, jika orang yang tertimpa darurat itu menemukan bangkai dan makanan milik orang lain yang di dalamnya tidak ada penyakit, maka dia tidak halal makan bangkai, tetapi boleh memakan makanan milik orang lain itu. Tidak ada perbedaan pendapat dalam hal ini (Imam Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm).
Semua itu mengisyaratkan bahwa jika penjagaan atas nyawa dan penjagaan harta tidak bisa dilaksanakan sekaligus, maka penjagaan atas nyawa lebih dikedepankan daripada penjagaan atas harta. Patokan itu berlaku dalam perkara individu maupun urusan masyarakat. Bahkan dalam urusan masyarakat mesti lebih diperhatikan lagi. Sebabnya, jika yang terancam adalah kelangsungan kehidupan dan keselamatan masyarakat banyak, tentu dampaknya akan jauh lebih besar. Dan itu hanya bisa diterapkan dalam sistem Islam kafah. Wallahu a'lam bish showab.