Oleh : Ummu Hanif, Pemerhati Sosial Dan Keluarga
Barisan ribuan kepala dan aparatur desa yang memadati Jalan Gatot Subroto, Jakarta, Rabu (5/7/2023) siang, bubar seketika. Tak sampai tiga jam, unjuk rasa untuk menyampaikan sejumlah poin usulan revisi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa itu berakhir. Hasil pembicaraan selama 12 menit antara perwakilan kepala desa dan pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat cukup untuk memulangkan mereka. (www.kompa.id, 6/7/2023)
Pembicaraan itu terjadi antara 11 kepala desa (kades) yang mewakili Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) dengan Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad. Di sela-sela unjuk rasa di depan Gedung MPR/DPR, 11 kades keluar barisan untuk menemui pimpinan DPR di lantai 4 Gedung Nusantara III.
DPR menjanjikan akan segera mengirimkan usulan pembahasan RUU Desa kepada pemerintah begitu rapat paripurna menyepakati revisi regulasi itu menjadi RUU inisiatif DPR. Parlemen juga akan melobi pemerintah agar segera menyepakati pembahasan bersama dengan mengirimkan surat presiden (surpres) berikut Daftar Inventarisasi Masalah (DIM). Sebab, tanpa adanya surpres, DPR tidak bisa membahas RUU Desa bersama pemerintah.
Jauh sebelum UU Desa ini disahkan, pro kontra pun sudah terjadi di tengah masyarakat. Ketika pada 2014 UU Desa akhirnya disahkan, kontroversi pun tetap berlanjut, hingga beberapa pihak mengajukan uji materi meski ujungnya ditolak Mahkamah Konstitusi. Namun, menjelang 2024, polemik justru makin memanas. Terutama perdebatan soal dana dan masa jabatan kades.
Polemik di tengah suasana jelang pemilu seperti ini jelas bernuansa politis. Ini terkait fakta, bahwa kades adalah tokoh riil di tengah masyarakat. Keberhasilan parpol menarik simpati mereka dengan menawarkan hal menggiurkan, nyaris setara dengan suara rakyatnya.
Kalau kita perhatikan dengan seksama, realitas masyarakat pedesaan selama ini, kehidupan mereka masih kental dengan berbagai problem, baik sosial, budaya, maupun ekonomi. Terlebih jika dibandingkan dengan masyarakat perkotaan. Kesenjangan masih tampak begitu lebar, hingga masyarakat desa diidentikkan dengan potret kemiskinan.
Peran mereka dalam pembangunan pun masih sangat minim, bahkan terposisi sebatas objek. Tidak sedikit kebijakan pembangunan yang diputuskan daerah dan atau pusat, justru mengorbankan kepentingan masyarakat desa. Kasus penggusuran lahan, misalnya, jumlahnya bukan hanya satu dua. Wajar jika mimpi kesejahteraan pun makin jauh dari jangkauan.
Realitas ini sejatinya terkait dengan paradigma kepemimpinan dan aturan yang diterapkan. Bukan semata soal porsi dana pembangunan, apalagi sekadar soal masa jabatan. Seindah apa pun konsep pembangunan, sebanyak apa pun dana yang dikucurkan, dan sepanjang apa pun masa kepemimpinan, tetap tidak akan berpengaruh terhadap peningkatan level kesejahteraan, apalagi membuka kunci keberkahan.
Dalam Islam, kepemimpinan tidak hanya memiliki dimensi duniawi, tetapi juga ukhrawi. Oleh karenanya, fokus perhatian para pemimpin Islam di semua level hanyalah mengejar keridaan Allah Taala, bukan mengejar materi atau jabatan. Mereka pun akan memastikan, seluruh individu rakyatnya hidup dalam kebaikan dan kesejahteraan dengan cara menerapkan seluruh aturan-aturan Islam. Wallahu a’lam bi ash showab.