Oleh Irohima
(Pegiat Literasi)
Lagi-lagi, kesabaran umat Islam kembali diuji. Belum kering rasanya luka yang ditorehkan Rasmus Paludan, politisi sayap kanan Swedia kepada umat Islam, kini aksi pembakaran kitab suci Al-Quran kembali terulang.
Atas nama kebebasan berpendapat dan berekspresi, Salwan Momika (37 Tahun) seorang pria Irak yang melarikan diri dan menjadi warga negara Swedia, dengan sombongnya menginjak-nginjak Al-quran lalu membakarnya di depan Masjid Raya Sodermalm di Stockhlom, aksinya itu dilakukan bertepatan dengan perayaan hari raya Idul Adha (VOAIndonesia, 30/06/2023).
Reaksi keras muncul dari berbagai belahan dunia, khususnya negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim. Turki, Iran, Arab saudi, Mesir mengecam keras aksi pembakaran tersebut. Maroko dan Yordania juga telah menarik duta besar mereka untuk Swedia. Irak bahkan mendesak Swedia untuk mengekstradisi Salwan Momika yang dikatakan berasal dari Irak, agar dapat diadili sesuai dengan hukum Irak. Muqtada Al-Sadr , pemimpin Gerakan Sadr Irak juga meminta pendukungnya untuk turun dalam demontrasi besar-besaran terhadap kedutaan Swedia di Baghdad.
Aksi dari Salwan Momika ataupun Rasmus Paludan dan para pembenci Islam lainnya, adalah aksi provokatif, tidak hanya rasis tapi juga menebarkan kebencian dan kekerasan. Aksi mereka merupakan wujud dari islamophobia. Istilah islamophobia sendiri didefinisikan sebagai permusuhan tidak berdasar terhadap umat Islam atau dengan kata lain islamophobia adalah sebuah ketakutan atau kebencian terhadap umat Islam.
Dari dulu islamophobia menjadi isu yang terus disulut dan sulit untuk dipadamkan. Pelecehan terhadap simbol-simbol Islam terus saja terjadi tanpa henti. Pembakaran Al-Quran, tindak kekerasan terhadap Muslim, stigma negatif yang terus dilekatkan pada Islam, hingga statement buruk yang kerap dilontarkan orang-orang dari level masyarakat biasa hingga sekelas tokoh publik. Islamophobia juga didukung dengan kebijakan rasis dan diskriminatif yang banyak diberlakukan di negara-negara Barat seperti larangan cadar di Austria dan Rumania tahun 2017, dan larangan membangun masjid di Hungaria tahun 2017. Amerika serikat, saat di bawah kepemimpinan Donald Trump bahkan memiliki angka Islamophobia tertinggi karena dampak dari pernyataan-pernyataan yang rasis dari Trump, membuat kelompok anti Islam semakin leluasa dan memiliki legitimasi untuk menyerang Islam. Sayangnya hingga saat ini tak ada satupun pemimpin negara Muslim yang bersikap tegas dan melakukan pembelaan yang hakiki, semua mencukupkan diri hanya dengan mengecam tanpa perlawanan.
Tak hanya di Barat, islamophobia di negara Asia tak kalah dahsyatnya. Islamophobia yang berujung pada tindakan kekerasan, pelecehan, pembunuhan bahkan genosida , seperti yang kita tahu, tragedi yang terjadi pada kaum muslim di India, muslim di Rohingya, Uyghur, Pakistan dan yang lainnya. Kebrutalan mereka dan kebencian mereka terhadap Islam pun mereka tampakkan secara nyata dengan mendukung berbagai kebijakan yang merugikan negara Muslim seperti Palestina.
Kebencian kaum kufar terhadap Islam memang nyata adanya dan bukan sebuah hal yang mengejutkan, namun yang membuat miris, kebencian terhadap Islam juga terkadang di propagandakan oleh kaum Muslim itu sendiri, di sini dalam beberapa kasus kita bahkan bisa melihat betapa alerginya kaum Muslim terhadap ajaran agamanya sendiri, seperti saat kita menjadi taat dianggap radikal, mengajarkan Islam kafah dianggap berbahaya dan tak mengikuti konsep berIslam mereka dianggap sesat.
Sejatinya islamophobia adalah bentuk ketakutan mereka akan bangkitnya ideologi Islam. Sebagaimana sejarah telah mencatat bahwa negara Islam pernah jadi negara adidaya yang menguasai 2/3 dunia. Mereka takut Islam akan kembali tegak dan kembali memimpin dunia hingga berbagai cara mereka upayakan untuk menjegal kebangkitan Islam. Salah satunya dengan menderaskan isu islamophobia dan membangun narasi Islam moderat di berbagai negara Muslim termasuk Indonesia untuk menghilangkan ideologi Islam yang hakiki.
Barat juga telah berhasil membangun sekat nasionalisme yang membuat umat Islam terpecah dan tidak mempunyai satu pemikiran untuk mengambil tindakan tegas kepada para penista Al-Quran. Masing-masing pemimpin terikat dengan berbagai kesepakatan yang membuatnya tak bisa melakukan pembelaan terhadap Islam.
Pembakaran Al-Quran, penistaan agama, tindakan diskriminatif , kekerasan, pembunuhan dan lainnya akan terus ada selama Islam belum tegak karena sistem sekarang telah jelas memiliki hukum yang tidak layak, aturan yang mereka buat pun cenderung akan dibuat sesuai dengan kepentingan, yang kita tahu kepentingan mereka adalah menghancurkan Islam, menjajah umat, dan merampas kekayaan umat Islam.
Saat ini yang kita butuhkan adalah persatuan umat dan kembali pada sistem Islam kafah yang terbingkai dalam insitusi khilafah. Karena hanya dengan Islam persoalan ini akan terpecahkan. Khilafah akan menjaga dan melindungi kesucian agama serta melindungi tanah, harta dan darah kaum muslim hingga kita tak akan lagi melihat orang -orang seperti Salwan Momiki dan Rasmus Paludan berkeliaran. Kita juga tak perlu hanya mengutuk dan mengecam kejahatan yang menimpa saudara muslim kita di Palestina, Rohingya, Uyghur dan lainnya, karena Khilafah akan serta merta menurunkan bala tentara untuk membebaskan mereka.
Wallahu a'lam bishawwab