Oleh : Andini
Pinjaman online (pinjol) kian marak, kian banyak juga rakyat yang terjerat. Kemudahan bertransaksi dengan pinjol dibandingkan dengan lembaga keuangan lain --seperti bank-- membuat pinjol menjadi tren di tengah masyarakat. Hanya dengan mengisi formulir online yang dilengkapi dengan kartu identitas diri, sejumlah uang bisa dicairkan.
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat kinerja outstanding pembiayaan fintech peer-to-peer (P2P) lending meningkat.
Pembiayaan melalui fintech P2P lending pada Mei 2023 sebesar Rp 51,46 triliun. Tumbuh sebesar 28,11 persen year-on-year (YoY).
Dari jumlah tersebut, sebanyak 38,39 persen disalurkan kepada pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM). Dengan penyaluran pelaku usaha perseorangan sebesar Rp 15,63 triliun dan badan usaha senilai Rp 4,13 triliun.
"Data oustanding pembiayaan tersebut adalah nilai pokok pinjaman dari masyarakat yang masih beredar melalui pinjaman online di mana jumlahnya masih bisa naik ataupun turun," kata Kepala Departemen Literasi, Inklusi Keuangan, dan Komunikasi OJK Aman Santosa, Selasa (11/7).
Suburnya bisnis pinjol bukan tanpa alasan. Ada masyarakat yang mengandalkan pinjol untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Ada juga yang menggunakannya untuk biaya berobat yang begitu mahal. Kemiskinan mengungkung mereka hingga mau tak mau harus meminjam sejumlah uang.
Mirisnya, tak sedikit yang berakhir dengan kredit macet karena penghasilan yang pas-pasan. Tidak hanya kebutuhan kesehatan yang tidak terpenuhi, tetapi juga pendidikan, tempat tinggal, bahkan untuk mengisi perut pun mereka kesulitan.
Belum lagi faktor gaya hidup. Ternyata bukan hanya masyarakat yang mempunyai kebutuhan mendesak saja yang akhirnya terjerat pinjol. Banyak juga yang mengambil pinjol untuk gaya hidup. Seperti fenomena pembelian tiket konser band luar negeri beberapa waktu lalu. Membeli tiket konser ratusan ribu hingga jutaan rupiah lewat pinjol telah menyibak fakta hedonisme di kalangan anak muda.
Tentu itu belum termasuk hiburan lain berupa nongkrong di kafe-kafe, wisata kuliner, healing ala-ala, hingga ongkos untuk fashion dan skincare.
Inilah gaya hidup yang ditawarkan liberalisme. Manusia sibuk mengejar kebahagiaan semu, mengejar kepuasan jasadiyah, selalu ingin memiliki sejumlah fasilitas hidup dan melakukan apa pun yang disukainya tanpa mengenal batasan.
Faktor lain yang membuat pinjol menjadi tren adalah sistem kehidupan kapitalisme. Dalam sistem ini utang diframing sebagai “solusi” untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi masyarakat. Akhirnya, utang menjadi hal pertama yang terpikirkan dalam kepala mereka untuk memenuhi kebutuhannya, baik mendesak ataupun untuk gaya semata.
Di sisi lain, pinjol memberikan dampak negatif di tengah masyarakat. Salah satunya adalah tingginya angka bunuh diri akibat pinjaman yang macet. Atau orang-orang yang terkena depresi karena tidak mampu melunasi utang dengan bunga fantastis. Kemiskinan juga bertambah karena banyak orang terpaksa menjual aset atau kendaraannya untuk melunasi utang yang menumpuk.
Kerusakan itu semua tidak lain karena sistem kapitalisme liberalisme. Sistem yang menjauhkan masyarakat dari agama, sehingga mereka tidak tau lagi mana halal dan haram. Sistem yang membelokkan hakikat penciptaan manusia. Manusia yang sejatinya diciptakan untuk meraih ridho Allah sebagai tujuan tertingginya, dengan sistem kapitalisme yang rusak telah menjadi manusia-manusia yang hidup hanya untuk kesenangan sesaat.
Lalu bagaimana menyelesaikan fenomena pinjol ini?
Islam adalah agama sempurna yang mampu menyelesaikan seluruh persoalan umat manusia. Maka Islam juga pasti punya solusi untuk mengatasi tren pinjol di tengah masyarakat.
Pinjol hari ini termasuk dalam aktivitas ribawi yang telah jelas keharamannya. Maka negara dengan sistem Islam akan melarang praktik tersebut. Negara akan memberikan sanksi dalam bentuk takzir (hukum yang disyariatkan atas tindakan maksiat atau kejahatan lainnya yang tidak ada ketentuan hududnya atau kifaratnya) kepada pelaku riba, baik itu peminjam, yang meminjamkan, penulis transaksi, maupun saksi.
Rasulullah saw. pun melaknat pemakan riba (rentenir), penyetor riba (nasabah yang meminjam), penulis transaksi riba (sekretaris), dan dua saksi yang menyaksikan transaksi riba. Beliau saw. berkata, “Semuanya sama dalam dosa.” (HR Muslim, no. 1598).
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الرِّبَا سَبْعُونَ حُوبًا أَيْسَرُهَا أَنْ يَنْكِحَ الرَّجُلُ أُمَّهُ
“Riba itu ada tujuh puluh dosa. Yang paling ringan adalah seperti seseorang menzinai ibu kandungnya sendiri.” (HR. Ibnu Majah)
Selain menindak tegas pelaku riba, negara juga harus menjadi pengurus rakyatnya dan menjamin semua kebutuhan hidupnya agar tidak ada lagi alasan faktor ekonomi yang akhirnya membuat mereka terjebak dalam utang tak berkesudahan.
Baitul Mal dimanfaatkan sebaik mungkin oleh negara untuk kepentingan umat. Seperti pada masa Khalifah Harun Arrasyid, ketika ia melihat banyak harta di Baitul mal, ia langsung memerintahkan para petugasnya untuk mendistribusikan harta itu kepada rakyat miskin. Setelah dibagikan, ternyata harta Baitul mal malah semakin bertambah karena rakyat yang awalnya miskin kini bisa membayar zakat.
Beliau juga mengerahkan petugas untuk mencari siapa yang memiliki utang untuk bisa dilunasi oleh negara, juga siapa saja yang membutuhkan harta untuk keperluan lain, seperti menikah dan membuat usaha. Semua dipersilakan untuk mengambil harta sesuai kebutuhannya. Karena itulah, Khalifah Harun ar-Rasyid menorehkan sejarahnya sebagai pemimpin yang mampu membawa rakyatnya menuju kesejahteraan.
Selain itu, negara juga akan meluruskan kembali paham-paham yang tidak sesuai dengan syariat Islam, dengan cara mendidik kembali rakyatnya agar punya akidah yang kuat, mampu menjadi hamba yang bertakwa, serta tidak mudah terpengaruh ide-ide rusak di luar Islam.
Masyaallah, begitulah sistem Islam mampu membawa --tidak hanya kesejahteraan-- tetapi juga membawa keberkahan bagi negeri yang menegakkan aturan Allah.
Tags
Opini