Pembakaran Al-Qur'an: Cermin Islamophobia



Oleh : Wulansari Rahayu S.Pd
(Aktivis dakwah)


Aksi pembakaran Alquran lagi-lagi terjadi. Seorang pemuda asal Irak berusia 37 tahun yang mendapatkan perlindungan di Swedia , Salwan Momika melakukan aksi tersebut setelah sebelumnya hal yang sama juga dilakukan oleh seorang politikus. Seperti beberapa pendahulunya, aksi Momika dilegalkan oleh negara, bahkan dijaga ketat oleh tim kepolisian setempat. Aksi ini telah menunjukan bahwa Islamophobia terhadap Islam akan terus berulang di sistem Sekuler
Liberalis hari ini.

Ironinya, tak ada satu pemimpin negara pun yang menunjukkan pembelaan yang bisa menghentikan aksi ini, malah mereka hanya mencukupkan dengan mengecam tanpa tindakan nyata. Lebih menyedihkan lagi, tokoh-tokoh bangsa di negeri yang notabene mayoritas muslim dan juga para cendekiawannya, selain hanya mengecam saja, mereka juga menghimbau agar masyarakat tidak terpancing, lalu meminta masyarakat untuk memaklumi aksi tersebut, karena bisa jadi disebabkan ketidaktahuan mereka.

Menurutnya, solusi untuk menghadapi Islamophobia cukup dengan membuktikan prestasi keilmuan dan peradaban yang dimiliki.
Penghinaan terhadap Islam juga tak hanya terjadi di luar negeri, namun juga terjadi di negeri ini. Kasus Pesantren Al-Zaytun misalnya, dimana di dalamnya terjadi penyimpangan pelaksanaan hukum Islam, penghinaan terhadap ajaran Islam dengan menganggap Alquran bukan kalamullah. Namun lagi-lagi penguasa di negeri ini pun tak kuasa menghentikannya.

Pembakaran Al-Qur'an ini bukan yang pertama dan bukan yang terakhir, Awal tahun ini juga susah terjadi pembakaran Al-Qur'an di Swedia. Menurut Leisan Galimova aktivis muslimah Skandinavia, pembakaran Al-Qur’an ini bukan kali pertama dilakukan dan bukan yang terakhir.Ini bukan yang pertama Al-Qur’an dibakar di depan publik untuk memprovokasi kaum muslim yang ada di Swedia dan kemungkinan juga bukan kejadian terakhir,” ungkapnya di acara Catatan Muslimah Asia Tenggara: “Sikap Muslimah Asia Tenggara atas Pembakaran Al-Qur’an di Swedia”, melalui kanal Fareastern Muslimah, Ahad (5-2-2023).
Bukan hanya pembakaran Al-Qur’an, lanjutnya, salah satu laporan dari militer Swedia pada 2009 menyebutkan ada upaya yang sangat nyata, yakni melakukan pelarangan kepada sekolah yang siswanya muslim untuk melakukan salat lima waktu dan puasa Ramadan. Laki-laki yang berjenggot disebut ekstremis, azan dilarang untuk dikumandangkan, dan lain-lain.

Kebebasan berekspresi merupakan hal yang sangat fundamental di negara-negara demokrasi termasuk di Swedia. Mereka memiliki banyak konstitusi yang membolehkan rakyat mempraktikkan kebebasan berekspresi. salah satunya adalah pembakaran Alquran
Padahal otoritas Swedia, bisa mencegah terjadinya pembakaran Al-Qur’an tetapi mereka tidak melakukan. Namun saat polisi di sana ditanya apakah boleh membakar bendera eLGe 6eTe dan bendera Israel? Jawabnya tidak boleh.

Ini adalah standar ganda dalam kebebasan ekspresi yang mereka gaungkan. 
Leisan menilai bahwa kebebasan berpendapat dan kebebasan berekspresi hanyalah alat politik yang digunakan pemerintah Swedia untuk melakukan pemaksaan nilai-nilai mereka terhadap kaum muslim sehingga demokrasi bukan jalan yang benar untuk menjaga prinsip-prinsip fundamental agama Islam.Yang terjadi di Swedia terhadap Al-Qur’an, terhadap Islam, terhadap kaum muslim adalah hasil panjang efek regulasi yang anti-Islam. Ini adalah bukti nyata Islamophobia. waallahu alam bishowab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak