Mitigasi Bencana Buruk, Demokrasi Biang Keladi?





Oleh : Siti Komariah (Freelance Writer) 

Berbagai bencana alam kembali menyapa Indonesia. Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB ) mencatat selama periode 1 Januari hingga 9 Juni 2023 bencana alam terjadi sebanyak 1.726. Bencana alam yang mendominasi adalah bencana banjir, cuaca ekstrem , dan tanah longsor (sindonews.com, 10/06/2023).

Terbaru pada Kamis, 6 Juli 2023 lalu ribuan rumah di Kecamatan Lunyuk, Kabupaten Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) terendam banjir. Banjir itu akibat dari luapan air dari sungai Kotkat setelah dilanda hujan lebat dari sore hingga malam hari. 

Dandim 1607/Sumbawa Letkol Czi Eko Cahyo Setiawan mengatakan bahwa ada sekitar 1.370 rumah warga yang terendam air dengan ketinggian 50 cm. Bahkan persediaan sembako warga dan pupuk urea 28 ton juga ikut terbawa banjir (cnnIndonesia, 08/07/2023). 

Selain itu, di daerah Lumajang, Jawa Timur telah ditetapkan masa tanggap darurat selama 14 hari. Ini dilakukan menyusul terjadinya banjir lahar dingin Gunung Semeru, yang  telah menerjang beberapa desa di wilayahnya (cnnIndonesia, 06/07/2023).

Lemahnya Mitigasi Bencana
Secara geografis, Indonesia merupakan daerah rawan bencana. Berdasarkan laporan World Risk Report 2022 yang dirilis Bündnis Entwicklung Hilft dan IFHV of the Ruhr-University Bochum menunjukkan, Indonesia menjadi negara paling rawan bencana ketiga di dunia. Skor Indeks Risiko Global (World Risk Index/WRI) Indonesia sebesar 41,46 poin pada 2021 (katadata.co.id, 05/12/2022). 

Walaupun telah diketahui jika Indonesia merupakan negara paling rawan bencana, namun hingga saat ini mitigasi bencana yang dilakukan oleh penguasa kurang maksimal. Hal tersebut terlihat bagaimana bencana alam silir berganti terjadi dan banyak menelan korban jiwa ataupun benda. 

Kurangnya edukasi kepada masyarakat tentang mitigasi bencana pun masih sangat lemah. Hal ini bisa kita lihat bagaimana masih banyak masyarakat yang tinggal di daerah rawan bencana, seperti di lereng-lereng gunung merapi. Kemudian, masih banyak warga yang belum membangun rumah yang tahan gempa. Semua ini akibat sulitnya faktor ekonomi yang dirasakan oleh rakyat. 

Selain itu, tahap penghijauan atau penanaman pohon bakau pun sebagai resapan air juga kurang optimal. Yang ada justru penggundulan hutan secara ilegal maupun legal terus terjadi, akibatnya daerah resapan air kurang, banjir pun menyapa warga. 

Disisi lain, saat terjadi bencana dan pasca pemulihan dari bencana, pemerintah pun dianggap kurang sigap dalam memberikan penanganan.  Pasca bencana pun demikian, jamak diketahui jika setelah terjadinya bencana masih banyak warga yang kesulitan untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka, seperti air bersih, obat-obatan, makanan dan lainnya. Penguasa tidak turun tangan sendiri untuk mengoptimalkan bantuan, namun justru berpangku tangan kepada swasta atau dermawan yang mengakibatkan bantuan tersebut lambat mencapai tempat pengungsian. Maka jelas jika mitigasi bencana sangat kurang optimal dilakukan oleh penguasa. 

Penyebab Buruknya Mitigasi Bencana 

Jika diketahui negara Indonesia merupakan negara yang rawan akan bencana, seyogianya negara sungguh-sungguh melakukan mitigasi bencana dengan baik untuk meminimalis jatuhnya korban jiwa, namun hal tersebut seakan mustahil dilakukan di dalam negara yang mengemban sistem kapitalis sekuler. Sebab, dalam sistem ini penguasa dijauhkan dari tanggung jawabnya meriayah urusan rakyatnya. 

Sebut saja tentang edukasi kepada rakyat untuk tidak tinggal di daerah rawan bencana.  Hal ini akan sulit terwujud sebab negara tidak menjamin tempat tinggal mereka. Penguasa hanya memberikan edukasi bahwa daerah-daerah tersebut rawan bencana dan memberikan arahan kepada rakyat untuk meninggalkan tempat tinggal mereka. Namun, disaat yang sama negara tidak menyediakan tempat tinggal yang layak dan aman untuk seluruh warga. Maka tidak heran jika masih banyak rakyat yang akan tetap kembali tinggal di daerah rawan bencana. Sebab, tidak memiliki pilihan lain. Apalagi di tengah himpitan ekonomi dan sulitnya mencari pekerjaan. 

Disisi lain, penggundulan hutan yang massif dilakukan oleh swasta karena aktifitas penambangan sering kali merugikan rakyat.  Akibat aktivitas ini daerah resapan air berkurang dan berimbas datangnya banjir. Sebagaimana di daerah Sulawesi Tenggara. Kecamatan Pomalaa Kabupaten Kolaka, Provinsi Sulawesi Tenggara (Sultra) yang dilanda banjir akibat dari aktivitas pertambangan. Banjir ini menghancur ratusan hektar sawah. Banyak rakyat yang protes terhadap berbagai aktivitas penambangan, tetapi apa yang terjadi aktivitas penambangan masih terus terjadi, walaupun rakyat dan lingkungan jadi korbannya.  Ini semakin  menjelaskan bahwa penguasa lebih berpihak pada para oligarki atau pemilik modal daripada ke rakyat. 

Sistem kepemimpinan kapitalis juga tidak menjadikan kemaslahatan dan keselamatan rakyat menjadi prioritas utama dalam setiap kepemimpinannya, namun yang menjadi prioritas utama yakni materi. Bagaimana, cara mendapatkan materi atau keuntungan dari kekuasaan tersebut, itulah dikejar. Maka wajar berbagai kebijakan justru mencederai rakyat dan pengurusan rakyat tidak maksimal. Maka, tidak heran jika mitigasi bencana secara optimal dalam sistem kapitalisme tidak akan terwujud. 

Mitigasi Bencana dalam Islam
Penguasa dalam Islam terbentuk berlandaskan akidah Islam. Ketaatan kepada Allah menjadi dasar untuk melaksanakan kewajibannya sebagai seorang pemimpin. Sebuah kepemimpinan adalah sebuah amanah yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hadapan Allah.  Sebagaimana sabda Rasulullah, "Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin akan dimintai pertanggungjawaban atas yang dipimpinnya.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Sehingga, mereka sungguh-sungguh menjalankan tangungjawabnya yakni meriayah urusan rakyat,  mulai dari memenuhi kebutuhannya hingga menjamin keselamatan dan kesejahteraan mereka. 

Mitigasi bencana merupakan salah satu tangungjawab penguasa dalam melindungi nyawa rakyatnya, sehingga penguasa akan optimal melakukan mitigasi bencana, baik untuk mencegah terjadinya bencana, saat terjadi bencana, ataupun pasca terjadi bencana. 

Untuk mencegah terjadinya bencana akibat ulah tangan manusia, negara melarang adanya pembabatan hutan secara liar, baik oleh masyarakat terlebih swasta. Apalagi jika pembabatan hutan tersebut berdampak buruk bagi rakyat dan lingkungan, sebagaimana yang dilakukan dalam sistem kapitalis saat ini. Negara akan memberikan sanksi kepada siapa saja yang melanggar aturan pembabatan hutan secara liat. Hukuman yang memberikan efek jera. 

Negara juga menyediakan alat canggih untuk mendeteksi terjadi bencana alam, seperti gunung meletus, tsunami dan lainnya. Agar dapat meminimalisir terjadinya korban jiwa. Edukasi massif pun dilakukan kepada masyarakat. Di mana, masyarakat tidak diperbolehkan tinggal di daerah rawan-rawan bencana, seperti lereng-lereng gunung merapi. Negara menyediakan lahan ataupun membantu pembangunan tempat tinggal untuk rakyat agar bisa pindah dari daerah rawan bencana. 

Begitu oun pembangunan rumah tanah gempa. Negara memfasilitasi kebutuhan-kebutuhan yang diperlukan oleh rakyat dalam membangun rumah tahan gempa. Selain  itu, lapangan pekerjaan mereka pun dijamin oleh negara. Sehingga, rakyat  tidak perlu takut untuk pindah rumah ke rumah yang baru. 

Kemudian, saat terjadi bencana pun demikian. Negara turun langsung untuk mengevakuasi korban dengan sigap dan cepat. Negara mengerahkan berbagai alat-alat canggih dan tim SAR terhebat untuk secara mengevakuasi para korban. Agar tidak lagi banyak terjadi korban jiwa akibat lambatnya penanganan. 

Tak hanya itu, setelah bencana pun penguasa fokus untuk memberikan jaminan kehidupan bagi rakyat. Memenuhi kebutuhan hidup mereka, seperti obat-obatan, sandang,  makanan, air bahkan pembangunan tempat tinggal akan segera dipercepat. Hal ini agar rakyat dapat kembali tinggal dengan nyaman. 


Namun, mitigasi bencana ini membutuhkan dana yang dangat besar. Dana tersebut di ambil dari pos baitumal. Pos ini memiliki pemasukan tetap dan terbukti stabil untuk pembiayaan seluruh kebutuhan negara. Pemasukan pos baitumal didapat dari kharaj, jizyah, hasil pengelolaan SDA, zakat dan lainnya. 

Sehingga dengan demikian maka mitigasi bencana akan terwujud dengan sempurna jika berada dalam naungan sistem Islam secara kaffah. Wallahu A'lam Bissawab.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak