Oleh : Eti Fairuzita
Akhir Juni lalu, Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri membongkar tindak pidana perdagangan orang (TPPO) bermodus program magang ke Jepang. Pasalnya, mahasiswa yang menjalani program tersebut malah menjadi buruh tanpa mendapatkan libur ketika sudah di Jepang. Adapun aksi perdagangan orang ini dilakukan oleh salah satu politeknik di Sumatra Barat. (Kompas, 27-6-2023).
Dittipidum Bareskrim Brigjen Djuhandani Rahardjo Puro mengungkapkan, kasus ini terbongkar ketika dua korban TPPO berinisial ZA dan FY melapor ke KBRI Tokyo, Jepang. Mereka bersama sembilan mahasiswa lainnya dikirim oleh sebuah politeknik untuk magang di Jepang, tetapi ternyata malah dijadikan buruh.
Sehari-hari, para korban bekerja selama 14 jam dari pukul 08.00 pagi sampai pukul 10.00 malam. Hal tersebut terus mereka lakukan selama tujuh hari dalam seminggu alias tanpa libur. Istirahat yang diberikan oleh pihak perusahaan hanya untuk makan, bahkan selama 10—15 menit. Selain itu, korban tidak dibolehkan untuk beribadah. Sebagai kompensasi, korban diberikan upah sebesar 50.000 yen atau Rp5 juta per bulan. Hanya saja, korban diharuskan memberi dana kontribusi ke kampus sebesar 17.500 yen atau Rp2 juta per bulan.
Sementara itu, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah mengatakan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) dengan modus magang sudah terjadi sejak 15 tahun lalu. Hal itu Anis sampaikan merespons kejahatan TPPO yang terjadi di perguruan tinggi Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh. "Mungkin 15 tahun yang lalu sudah ada modus ini," kata Anis melalui pesan suara, Sabtu (8/7/2023).
Anis menjelaskan, modus ini menyasar anak-anak tingkat Sekolah Menegah Kejuruan (SMK) dan mahasiswa yang memiliki program magang.
"Jadi kalau di tingkat SMK biasanya adalah anak magang kelas 3, biasanya di beberapa negara di Asia Tenggara, terutama Malaysia, sudah banyak kasus yang terjadi," imbuh dia. Di tingkat perguruan tinggi juga demikian, Anis menyebut mahasiswa yang memiliki program magang bisa menjadi korban TPPO di Asia Timur seperti Jepang dan Korea. Karena modus yang sudah lama itu, Komnas HAM mendesak agar Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) bisa bertanggungjawab.
Magang pada pelajar mahasiswa ternyata rawan menjadi celah tindak pidana perdagangan orang (TPPO). Tentu peristiwa ini jelas sangat menghawatirkan, di samping tentu saja menampar dunia pendidikan kita saat ini, magang jelas berbeda dengan bekerja. Magang seharusnya menjadi jalan pembelajaran secara langsung bagi peserta didik di lapangan sebagai bekal memasuki dunia kerja. Hal yang sama pun patut kita waspadai untuk program serupa, yakni PKL (praktik kerja lapangan) atau Prakerin (praktik kerja industri) yang tidak lain adalah program wajib siswa SMK agar dapat naik kelas.
Namun, dengan adanya kasus di politeknik tadi, jelas bahwa program magang ternyata bisa disalahgunakan oleh kerakusan oknum yang tidak bertanggung jawab. Tidak dipungkiri saat peserta didik magang, mereka dianggap bisa dipekerjakan tanpa gaji karena dianggap sebatas magang. Sebaliknya, hal ini justru membuktikan adanya peluang eksploitasi terhadap peserta didik demi keuntungan materi. Di samping itu, kasus ini pun bisa jadi merupakan fenomena gunung es khususnya yang terjadi di Indonesia.
Jamak diketahui, berdasarkan kutipan di laman resmi Kemendikbudristek, program magang atau yang secara resmi disebut Magang Bersertifikat, sejatinya merupakan bagian dari program Kampus Merdeka yang bertujuan untuk memberikan kesempatan bagi mahasiswa untuk belajar dan mengembangkan diri melalui aktivitas di luar perkuliahan. Dalam program Magang Bersertifikat, mahasiswa akan mendapatkan pengalaman kerja di dunia industri/profesi nyata selama 1—2 semester. Dengan pembelajaran langsung di tempat kerja mitra dagang, mahasiswa akan mendapatkan hard skills maupun soft skills yang akan menyiapkan mereka agar nantinya lebih mantap untuk memasuki dunia kerja dan karirnya.
Selain mencoreng dunia pendidikan secara umum dengan jargon besarnya kerja, kerja, dan kerja bagaimanapun sistem pendidikan sekuler-kapitalis akan selalu berpeluang ditunggangi oleh motif-motif kapitalistik. Andai peserta didik tidak magang pun, saat memasuki dunia kerja di masa selanjutnya mereka juga tidak akan jauh dari status sebagai buruh cerdas.
Hal ini berkebalikan dengan sebagian mereka yang lahir dari keluarga kaya atau keturunan pemilik modal yang sering kali menganggap pendidikan tidak terlalu penting. Bagi mereka, lebih penting untuk pintar mencari uang. Jadi, tetap saja, magang versi kapitalis justru bisa dibajak oleh narasi ekonomi khas kapitalisme itu sendiri, yakni meraih profit sebesar-besarnya dengan modal yang sekecil-kecilnya. Akibatnya, spirit sistem pendidikan justru hilang karena motivasi besar untuk menjadi insan terdidik selama mengenyam pendidikan hanyalah demi bisa bekerja mencari uang setelah lulus sekolah atau pun kuliah.
Semua ini tentu sangat berbeda dengan profil peserta didik yang menjadi output sistem pendidikan Islam. Dalam sistem pendidikan Islam, target besarnya adalah mencetak generasi berkepribadian Islam (syaksiyah Islamiah), bukan sekedar menjadi pekerja. Ilmu pengetahuan dan tsaqafah Islam yang diperoleh selama masa pendidikan dijadikan sebagai bekal untuk memberi solusi bagi problematik kehidupan, bukan sekadar meraih gelar. Oleh karena itu, jelas sistem pendidikan Islam sajalah sistem pendidikan terbaik yang dengannya juga mampu menghasilkan output terbaik.
Selain ilmu pengetahuan dan tsaqafah Islam, peserta didik dalam sistem pendidikan Islam juga memperoleh pemahaman mengenai hakikat bekerja menurut Islam yang disertai seluruh keahlian maupun pelatihan yang diperlukan untuk memasuki dunia kerja. Bekerja adalah salah satu jalan mencari nafkah. Hukum asal bekerja bagi laki-laki adalah wajib, sedangkan bagi perempuan adalah mubah (boleh). Islam pun mengatur tentang kontrak kerja (ijarah) sehingga majikan dan pekerja terhindar dari akad zalim yang justru bisa mengeksploitasi pekerja.
Di samping itu, Islam telah menggariskan jalur lain perolehan harta selain bekerja, misalnya dengan zakat, kepemilikan harta waris, serta pemberian harta oleh negara. Islam juga menetapkan beragam mekanisme syar’i untuk mengelola harta sehingga kaum muslim tidak terjebak akad batil seperti riba, judi, dan penipuan.
Bagi kaum perempuan, Islam menetapkan bahwa jalur nafkah bagi perempuan lebih dari satu arah sehingga bekerja sebagaimana versi kapitalisme tidak akan menjadi paradigma bagi kaum muslimah.
Demikianlah, sistem Islam akan berjalan yang tentunya hanya bisa dengan naungan Khilafah. Pendidikan adalah bagian dari urusan publik yang penyelenggaraannya menjadi tanggung jawab penguasa.
Begitu juga perihal sektor tenaga kerja, sangat memerlukan andil penguasa untuk mengaturnya. Ini semua sebagaimana sabda Rasulullah saw., “Imam/Khalifah adalah pengurus dan ia bertanggung jawab terhadap rakyat diurusnya.” (HR Muslim dan Ahmad).
Wallahu alam bish- sawab
Tags
Opini