oleh : Annisa Mardhiati Rodhiah
Setelah berjalan lima tahun, kebijakan sistem zonasi pada penerimaan peserta didik baru (PPDB) masih memunculkan persoalan. Dugaan kecurangan, migrasi KK, manipulasi KK, dan jual beli kursi, banyak dikeluhkan para orang tua siswa di beberapa daerah masih mewarnai PPDB 2023 tahun ini. Sepertinya, favoritisme sekolah belum sepenuhnya hilang meski sistem zonasi sudah diterapkan.
Menko PMK Muhajir Efendy turut menanggapi maraknya orang tua siswa yang memilih cara curang, seperti mengaku miskin agar anaknya bisa ikut jalur afirmasi, padahal ternyata memiliki toko besar; hingga meminjam alamat orang lain agar lolos sistem zonasi. Menurutnya, orang tua yang menggunakan cara curang tersebut sedang mendidik anaknya menjadi calon koruptor.
Faktanya, dalam dunia pendidikan, perbedaan kasta ini sebenarnya tampak pada sarana dan prasarana pendidikan yang difasilitasi sekolah.
Pertama, paradigma tentang sekolah. Cara pandang masyarakat mengenai sekolah favorit dan tidak favorit ini sendiri tidak terlepas dari paradigma pendidikan sekuler kapitalistik yang mengukur segalanya dari materi. Contohnya, sekolah favorit hanya untuk orang-orang pintar dan kaya, sedangkan siswa yang “tidak pintar” hanya bisa bernaung di sekolah ala kadarnya yang minim fasilitas dan sarana prasarana.
Akhirnya, kesuksesan seorang anak diukur dari nilai materi saja. Sekolah bagus dilihat dari fasilitas, tunjangan, dan sarana prasarananya. Budaya kasta dan pandangan materi inilah yang menjadi ciri khas kehidupan masyarakat kapitalistik.
Kedua, pemerataan pendidikan tidak akan terwujud jika infrastruktur pendidikan belum terpenuhi di seluruh wilayah. Adanya kasta, gengsi sekolah, hingga perbedaan infrastruktur, menjadi titik balik adanya favoritisme dalam dunia pendidikan. Buktinya, ada orang tua yang rela menghalalkan segala cara agar anaknya dapat masuk ke sekolah yang fasilitasnya sudah bagus dan dikenal sebagai sekolah unggulan atau berprestasi.
Imbasnya, beberapa sekolah negeri kekurangan siswa. Bahkan, ada yang menerima satu siswa saja, padahal lokasi sekolah dekat dengan pemukiman warga. Artinya, dari aspek penyediaan fasilitas sekolah, pemerintah lalai memberikan pelayanan pendidikan secara merata. Jangan heran jika sistem zonasi akan menghadapi polemik tahunan.
Sejatinya kebijakan zonasi ini belum menyentuh akar persoalan pendidikan. Yang harusnya diperhatikan adalah mengurai pokok persoalan, yakni mengubah paradigma masyarakat tentang sekolah dan sistem yang menaunginya.
Disinilah negara berperan penting dalam menyelenggarakan sistem pendidikan. Misalnya dengan menerapkan pendidikan Islam, yang berbasis akidah dimana pandangan masyarakat perihal sekolah favorit dan tidak favorit akan seiring berubah. Karena dalam pandangan Islam, visi misi sekolah ialah membentuk generasi berkepribadian Islam, menguasai tsaqafah Islam, dan ilmu-ilmu kehidupan (iptek dan keterampilan). Jadi tidak hanya berburu nilai kognitif, mengejar gengsi atau hanya cerdas secara akademis namun minus dalam akhlak.
Lalu menyediakan infrastruktur dan fasilitas yang menunjang kegiatan belajar dan mengajar di sekolah secara merata. Seperti gedung-gedung sekolah, laboratorium, balai-balai penelitian, buku-buku pelajaran,teknologi yang mendukung KBM dan lain sebagainya. Dengan demikian, tidak perlu ada sistem zonasi. Semua sekolah diunggulkan dan para siswa mau sekolah di mana saja karena fasilitasnya yang merata.
wallahu'alam bish shawab
Tags
Opini