Mempersoalkan Korupsi Dana Desa dan Masa Jabatan Kepala Desa 9 Tahun




Oleh: Ummu Aqila


Miris dan sangat memprihatinkan, membahas soal korupsi tidak hanya terjadi di kalangan elit politik. Di tinggkat grass rootpun bahkan lebih parah dan membudaya. Tren peningkatan kasus korupsi di kas desa semakin kompak sejak setelah UU Desa diberlakukan pada 2015. Mengapa hal ini dapat terjadi?


Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Indonesia Abdul Halim Iskandar  menegaskan bahwa dana desa diperuntukkan bagi pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia. Beliau mengeklaim sudah membuat sejumlah sistem sehingga tingkat transparansi penggunaan dana desa paling baik, sehingga distribusi dana desa tepat sasaran dibandingkan semua pendanaan di level pemerintahan. Bahkan, ia berani menjamin tidak akan ada pembangunan mangkrak di seluruh desa di Indonesia. Ia juga menjamin keamanan dana desa sudah dilakukan secara berlapis, baik inspektorat kementeriannya maupun aparat penegak hukumnya (Tirto, 30-6-2023).


Terungkapnya kasus Akiani, seorang Kepala Desa Lontar, Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten menjadi tersangka korupsi dana desa dengan total kerugian negara mencapai Rp 988 juta. Peristiwa ini menjadi aib keamanan dan ketepatan sasaran penggunaan dana desa. Lebih lanjut pasti menambah rentetan panjang kasus korupsi di tingkat level ini. Mengutip laporan Indonesia Corruption Watch (ICW), ada 155 kasus korupsi di sektor tersebut pada 2022 dan 252 tersangka pada tahun lalu. Angka ini cukup menyedihkan, karena pada tahun 2022 korupsi kas desa mencapai 26,77% dari seluruh kasus korupsi yang ditangani oleh aparat kepolisian. Korupsi terjadi di sektor kota, administrasi, pendidikan dan sumber daya alam. Jumlah ini juga bertambah satu kasus dibandingkan tahun 2021 yang tercatat 154 kasus korupsi di sektor desa. Hal ini bisa menjadi parameter bahwa posisi dana ini sangat rawan dan peristiwa yang sama bisa terjadi pengulangan kasus yang sama.(katada.co.id, 8 April 2023).


Disisi lain, Pakar politik Ucu Martanto dari Universitas Airlangga (Unairi) mengatakan, reformasi UU Desa Nomor 6 Tahun 2014 dapat mempengaruhi gerak politik dan hegemoni desa. Menimbang bahwa revisi yang dilakukan antara lain perubahan mengenai masa jabatan kepala desa. “Reformasi undang-undang ini menyangkut masa jabatan kepala desa yang semula hanya enam tahun, namun kemudian diubah menjadi sembilan tahun. Dan setelah itu bisa dipilih kembali untuk periode yang sama,” kata Ucu (REPUBLIKA.CO.ID,30/6/2023).


Ucu juga menegaskan kemungkinan berkembangnya politik dinasti akibat perluasan jabatan kepala desa. Dalam konteks ini, aktor mapan memiliki peluang lebih lama untuk membangun citra dan akumulasi sumber daya di putaran pemilu berikutnya. Oleh karena itu, menurutnya, setelah sesepuh desa berakhir, jabatan tersebut diwariskan kepada anak, saudara atau kerabat dekat lainnya. Politik dinasti di desa ini mempengaruhi lingkaran kekuasaan yang selalu melekat pada keluarga yang menjabat. Dalam hal ini, calon kepala desa lain tidak memiliki keistimewaan yang sama untuk memenangkan hati masyarakat.


Banyak faktor yang menjadi penyebab tindakan korupsi dana desa diantaranya;
 1) Faktor individu. Latar belakang individu terutama pendidikan yang berbeda akan memunculkan masalah baru. Kades yang tidak memiliki kecakapan dasar perihal pengelolaan dana desa yang jumlahnya miliaran akan kesulitan mengatur dana sebanyak itu. Di sinilah potensi dana desa tidak tepat sasaran akan terjadi. Ditambah dari sisi ketakwaan individu yang minim berpotensi integritasnya dipertanyakan.  
2) Faktor Masyarakat. Membangun citra yang baik di masyarakat , walaupun gaji bagi kades tidak terlalu tinggi, terpilih nya menjadi kades adalah prioritas yang utama. Sehingga memunculkan persaingan sengit antarkomponen tokoh desa meskipun harus keluar dana yang melebihi kemampuan. Dengan harapan juga bisa mengembalikan dana tersebut saat menjabat. Diperparah dengan gaya hidup masyarakat sekuler yang tidak lagi peduli dengan amarma’ruf nahi mungkar. Sebagaimana pendahulunya di tingkat pusat, politik pencitraan di tingkat desa akan menjadi habits bawaan pemilu demokrasi.
3) Faktor Negara. Sistem negara yang berlangsung saat ini adalah faktor dominan yang menyebabkan tindakan korupsi. Dengan model pemilihan Kades yang mengacu pada sistem demokrasi, tentu membutuhkan dana kampanye yang tidak sedikit. Cara paling mudah dan tercepat untuk mengembalikan dana kampanye ialah dengan melakukan korupsi. Peraturan dan undang-undang bisa direvisi sesuai dengan kepentingan pribadi, dengan pengawasan minimal dan tidak ada tindakan hukum yang tegas terhadap mereka yang terbukti bersalah melakukan korupsi. 


Akibatnya, korupsi meningkat dari tingkat pusat hingga ke tingkat desa. Sistem demokrasi itu sendiri membuka banyak korupsi. Itulah sebabnya kasus korupsi tidak pernah bisa selesai tuntas. Hal ini sangat bertolak belakang bagaimana Islam menuntaskan masalah korupsi hingga ke akar-akarnya. Dalam pemerintahan Islam (Khilafah), khalifah memilih langsung setiap penguasa di bawah khalifah, seperti Wali (tingkat gubernur), amil (tingkat kabupaten/kota) dan mudir (tingkat desa). Pemilihan tetua khusus desa atau distrik tidak diselenggarakan sebagai pemilihan yang demokratis. Selain efisiensi waktu dan efektivitas, mencegah kebijakan moneter, perdagangan dan korupsi. 


Terkait kasus korupsi, Islam memiliki tata cara pemberantasan korupsi secara tuntas, termasuk pertama integritas kepemimpinan di semua tingkatan pemerintahan, yaitu takwa kepada setiap orang. Dalam sistem Islam, kesetiaan pemimpin harus didasarkan pada ketaatan kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan berdasarkan prinsip kepentingan kelompok, khususnya kerabat/keluarga. 


Pemimpin di tingkat pusat dan desa menjalankan tugas dan tanggung jawabnya hanya untuk memenuhi kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya. Nabi saw. bersabda: 

“Setiap kalian adalah pemimpin dan kalian masing-masing bertanggung jawab atas apa yang dipimpinnya.” (Dibahas oleh Al-Bukhâri, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari Hadits Abdullah bin Amri). 

Kedua, berfungsinya Otoritas Pengawas Keuangan secara optimal. Mengapa kasus korupsi selalu muncul? Salah satu penyebabnya adalah kurangnya pengawasan pemerintah. Dalam sistem Khilafah, ada otoritas pengawas/lembaga pengawas keuangan yang tugasnya memantau dan mengontrol kekayaan pejabat pemerintah. Aturan dan ketentuan yang berlaku adalah hukum Islam, sehingga tidak ada celah dalam membuat, membentuk atau menjual hukum karena hukum Islam bersifat mutlak dan permanen. 


Ketiga, mempertahankan sistem sanksi Islam yang dapat mencegah dan mendidik mereka yang berniat melakukan korupsi atau kejahatan lainnya. Hukuman tergantung pada otoritas khalifah yaitu takzir, menjatuhkan hukuman sesuai dengan derajat kejahatannya. Itu bisa penjara, pengasingan atau hukuman mati. Dengan metode kafah yang diterapkan Islam, korupsi bisa diselesaikan tanpa banyak drama dan episode yang berkepanjangan. Untuk memberantas korupsi, kita harus memberantas akar permasalahannya, yaitu penggantian sistem demokrasi kapitalisme dengan Islam sebagai satu-satunya solusi atas permasalahan hidup yang semakin kompleks. Waallahua'lam bishowab

Sumber gambar: acehstandar.com

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak