Oleh : Ummu Aqeela
Keputusan untuk mengenakan hijab merupakan langkah yang tidak mudah bagi sebagian perempuan. Banyak dari mereka memerlukan waktu yang cukup lama untuk memantapkan diri sebelum akhirnya memutuskan untuk menutup aurat. Namun, tidak sedikit artis Indonesia yang sebelumnya memilih untuk mengenakan hijab, kemudian memutuskan untuk melepaskannya dan kembali menampilkan rambut terurai. Berbagai pro kontra pun kerap terjadi kala seorang artis memutuskan melepaskan hijabnya, apalagi tindakan melepaskan itu dilakukan setelah rumah tangganya tidak dapat dipertahankan dengan berbagai masalah yang timbul dipermukaan layar.
Berita yang terbaru mengenai fakta diatas datang dari mantan istri komedian Sule yaitu Nathalie Holscer, beberapa hari belakang namanya berlalu lalang di sosial media karena keputusannnya melepas hijab yang sudah dia kenakan semenjak menikah. Nathalie Holscer hanya satu nama dari sekian banyak nama besar yang sebelum-sebelumnya melalukan hal serupa.
Banyak hal yang sangat disayangkan dari keputusan beberapa public figure salah satunya Nathalie. Mereka sebagai jiwa yang tersorot banyak mata tentu saja apa yang dilakukan akan memiliki dampak besar bagi pengikutnya. Yang lebih parah lagi ketika keputusan melepas hijab karena rasa kecewa dan sakit hati dengan permasalahan yang melilit diri. Apakah semurah itu syari’at Allah sehingga ketika manusia merasa marah dengan manusia lainnya Allah menjadi pelampiasannya?
Hidup kita semuanya adalah ujian dan cobaan dari sang Khaliq, miskin dan kaya, susah atau senang, bahkan siang dan malam. Semua itu adalah ujian, tapi perlu diingat bahwa Allah menguji kita sesuai dengan kemampuan kita.
Kita hidup di dunia ini adalah ladang akhirat, dan selama kita masih hidup di dunia ini, Allah pasti akan menguji kita untuk menilai sekuat apa iman kita dan seberapa tingginya derajat kita di sisi Allah.
Allah berfirman dalam surat Al Baqarah ayat 286 :
لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا ۚ لَهَا مَا كَسَبَتْ وَعَلَيْهَا مَا اكْتَسَبَتْ ۗ رَبَّنَا لَا تُؤَاخِذْنَا إِنْ نَسِينَا أَوْ أَخْطَأْنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تَحْمِلْ عَلَيْنَا إِصْرًا كَمَا حَمَلْتَهُ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِنَا ۚ رَبَّنَا وَلَا تُحَمِّلْنَا مَا لَا طَاقَةَ لَنَا بِهِ ۖ وَاعْفُ عَنَّا وَاغْفِرْ لَنَا وَارْحَمْنَا ۚ أَنْتَ مَوْلَانَا فَانْصُرْنَا عَلَى الْقَوْمِ الْكَافِرِينَ
Artinya : Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Ia mendapat pahala (dari kebajikan) yang diusahakannya dan ia mendapat siksa (dari kejahatan) yang dikerjakannya. (Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau hukum kami jika kami lupa atau kami tersalah. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau bebankan kepada kami beban yang berat sebagaimana Engkau bebankan kepada orang-orang sebelum kami. Ya Tuhan kami, janganlah Engkau pikulkan kepada kami apa yang tak sanggup kami memikulnya. Beri ma’aflah kami; ampunilah kami; dan rahmatilah kami. Engkaulah Penolong kami, maka tolonglah kami terhadap kaum yang kafir.”
Dari ayat di atas dapat kita pahami bahwa Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. Dan ini merupakan janji Allah, jadi sesungguhnya tidak mungkin Allah membebani kita dengan ujian yang tidak kita sanggup. Kemudian Allah akan memberikan pahala kebaikan jika seseorang yang sedang diuji tersebut bersabar dan melakukan kebaikan dan mencari jalan keluar dengan cara yang diridhai Allah, dan sebaliknya Allah akan memberikan dosa jika ia tidak bersabar dan mencari jalan keluar dengan cara yang tidak diridhai Allah, seperti yang dilakukan beberapa public figure di Indonesia.
Ini membuktikan bahwa saat ini akidah umat Islam lemah, dengan berbagai gempuran pemikiran yang berperan serta melemahkannya dan dengan sukarela kita menerima dilemahkan. Dalam Islam akidah merupakan pondasi agama. Tidak akan tegak agama tanpa adanya akidah. Oleh karena itu, jika akidah seorang Muslim rusak, maka rusak pulalah agamanya. Sebagaimana pondasi, berarti akidah Islam merupakan hal yang sangat krusial, hal yang sangat penting dan genting yang harus dimiliki dan dipertahankan/dijaga oleh umat. Karena akidah Islam-lah yang menentukan seseorang layak disebut sebagai orang yang beriman atau kafir. Akidah Islam pula yang menentukan apakah amalan manusia diterima oleh Allah SWT atau tidak. Sebab, jika tidak berakidah Islam, maka perbuatan baik sebanyak apapun yang dilakukan oleh seseorang akan sia-sia belaka, tak bernilai pahala di sisi Allah SWT.
Akidah juga diibaratkan sebagai sebuah kunci. Yang mana kunci ini kelak akan memberikan jaminan pemiliknya untuk bisa memasuki surga. Siapa yang memiliki kuncinya maka ia berhak masuk kedalam surga. Namun ketika seseorang tidak memilikinya atau melepaskan/mencampakkan kunci tersebut, dengan arti tidak beriman atau keluar dari keimanannya (murtad) maka tidak ada jaminan ia untuk bisa memasukinya selamanya. Sebagaimana firman Allah SWT yang artinya:
"Sesungguhnya orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami dan menyombongkan diri terhadapnya, sekali-kali tidak akan dibukakan bagi mereka pintu-pintu langit dan tidak (pula) mereka masuk surga, hingga unta masuk ke lubang jarum." (TQS. Al-A’raf ayat 40).
Oleh karena itu akidah Islam tidaklah bisa hanya meyakini bahwa Allah sebagai Sang Pencipta saja, mengatur urusan ibadah saja (ibadah mahdhah). Namun tidak meyakini bahwa Allah juga telah mengatur bagaimana cara manusia sebagai makhluk yang telah Allah wakilkan (amanahkan) untuk mengurusi bumi agar sesuai dengan apa yang dikehendaki oleh Allah baik berupa sistem pemerintahan, pergaulan, pendidikan, politik, kesehatan, dan lain-lain (ibadah ghairu mahdhah).
Dengan demikian adalah suatu hal yang wajar dan masuk akal jika seluruh manusia kelak akan mempertanggungjawabkan semua perbuatan mereka selama hidup di dunia yang tidak hanya terkait ibadah mahdhah saja, namun juga ibadah ghairu mahdhah. Apakah sesuai dengan aturan Allah atau tidak. Apalagi seorang public figure yang tentu saja setiap gerak geriknya akan memberikan pengaruh besar bagi pengikutnya.
Wallahu’alam bishowab