Oleh: Hany Handayani Primantara, S.P
(Penulis Muslimah)
.
.
.
.
Ibadah haji merupakan kewajiban seorang muslim yang termaktub dalam rukun Islam yang kelima. Sebagaimana Allah swt berfirman: "Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu bagi orang-orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah. Barang siapa mengingkari kewajiban haji, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya dari alam semesta.” (QS. Ali Imran: 97).
.
Ibadah haji juga memiliki keutamaan besar yang sejajar dengan jihad fi sabilillah. Rasulullah saw menyampaikan tentang ibadah yang paling utama: "Mengimani Allah dan Rasul-Nya, Jihad di jalan Allah, kemudian Haji mabrur.” (HR al-Bukhari).
.
Imam al-Qurthubi menyebutkan bahwa haji mabrur adalah orang yang berhaji tanpa bermaksiat kepada Allah, baik saat menunaikannya maupun setelahnya. Begitu pula kutipan dari Imam Hasan al-Bashri, menyampaikan haji mabrur adalah orang yang menunaikan ibadah haji kemudian menjadi zuhud terhadap dunia dan menginginkan akhirat (surga).
.
Secara umum dapat dikatakan bahwa haji mabrur dapat diperoleh seseorang ketika, aqliyah serta nafsiyahnya mengalami perubahan signifikan ke arah yang lebih baik dari sebelum ia berangkat melaksanakan ibadah haji. Maka bagi pelaku korupsi, orang yang menelantarkan hukum Allah, mengkriminalisasi ajaran Islam, menghalangi dakwah dan penerapan syariah, merampas aset milik umat tak layak mendapatkan status haji mabrur.
.
Selain memenuhi dimensi ruhiyah (spiritual), Ibadah haji juga memenuhi dimensi siyâsiyah (politik) dan perjuangan. Sebab Islam memandang tak ada dikotomi dalam kehidupan. Politik merupakan bagian dari syariah. Begitu pula dengan haji, jangan hanya dimaknai secara sempit dengan pemenuhan secara spritual semata. Salah satu keberhasilan ibadah haji tercermin dari bersatunya umat di tanah suci.
.
Pemandangan persatuan tersebut dikenal dengan istilah masyhad al-a’dham (pemandangan agung) yang dibanggakan oleh Allah dari penghuni bumi kepada para malaikat di langit. Nabi saw menyatakan: "Sesungguhnya Allah membanggakan Ahli Arafah (orang-orang yang berkumpul dan wukuf di Arafah) kepada penghuni langit.” (HR Ibnu Hibban dari Abu Hurairah).
.
Keberanian meninggalkan harta, keluarga, jabatan, dan apa pun yang mereka miliki hanya untuk Allah. Hidup dan mati melaksanakan perintah-Nya dengan penuh ketundukan dan kepatuhan mutlak. Tak ada penyakit wahn atau hubb ad-dunya wa karahiyyatu al-maut (mencintai dunia dan takut mati). Meskipun diberi perintah yang tampak irasional, seperti mencium dan menyentuh Hajar Aswad maupun mencari batu dan melempar Jamrah, mereka selalu siap melakukan apa pun yang Allah minta dan memberikan segalanya kepada-Nya. Demikianlah bentuk kepasrahan yang seharusnya dimiliki. Sebuah manifestasi kewajiban berpegang teguh pada Kitabullah dan Sunnah Nabi saw.
.
Ketika realitas masyhad a’dham ini mereka wujudkan dalam kehidupan politik, umat tidak lagi terjebak dengan racun nation-state yang selama ini menghalangi persatuan mereka. Sebaliknya, mereka hidup dalam satu negara, di bawah satu bendera “Laa ilaaha ill-llah Muhammad Rasulullah”, satu imam, satu sistem (syariat), dan satu tujuan yakni Khilafah. Masyhad a’dham ini membuktikan bahwa umat Islam bisa bersatu dalam satu tujuan dan nusuk, sekalipun negeri, bangsa, warna kulit, mazhab, bahkan bahasa mereka berbeda. Mampu jadi umat terbaik, terkuat, superior, adidaya, dan tidak terkalahkan sebagaimana sebutan Allah swt dalam Alquran. Namun sayang, masyhad a’dham ini tidak tampak lagi ketika mereka sudah kembali ke negeri asal mereka.
.
Darah, harta, dan tanah seluruh umat Islam di seluruh dunia terjamin dan terpelihara. Tidak boleh ditumpahkan dan dinodai oleh siapa pun, sebagaimana kemuliaan dan kesucian tanah, bulan, dan hari haram ini. Baginda saw menegaskan, satu nyawa orang Islam lebih mulia bagi Allah ketimbang Ka’bah. Sebab hancurnya Ka’bah lebih ringan bagi-Nya ketimbang hilangnya satu nyawa orang Islam.
.
Makkah dan Madinah merupakan tempat pelaksanaan ibadah haji dan ziarah bagi jemaah haji. Di sana bisa kita saksikan lembah Aqabah, tempat Nabi dibaiat menjadi Kepala Negara Islam pertama. Tempat Perjanjian Hudaibiyyah, pintu masuk Fatah Makkah (Pembebasan Kota Makkah). Di luar Masjid Nabawi, lurus dengan Bâb as-Salâm, ada Sûqu an-Nabi (pasar Nabi), Saqîfah Banî Sa’âdah, tempat Abu Bakar ra dibaiat menjadi Kepala Negara Islam kedua, menggantikan Nabi saw Di Madinah berdiri Masjid Nabawi yang menjadi pusat pemerintahan Nabi. Tempat Nabi dan dua sahabat mulia baginda dimakamkan. Selain ada Raudhah (surga Allah di bumi), juga ada tiang-tiang (usthuwanah) yang bersejarah.
.
Saat kita menyaksikan tempat bersejarah tersebut, semangat dan kesadaran politik akan bangkit. Sadar bahwa Nabi dan generasi terbaik umat ini dahulu mendirikan Negara Islam dimulai dengan perjuangan luar biasa. Sejak merintis di Makkah hingga berdirinya negara di Madinah, Nabi dan para sahabat berjuang siang malam. Ketika negara berdiri, mereka justru tidak pernah beristirahat. Lebih dari 50 perang besar dan kecil mereka lewati dalam kurun 10 tahun, hanya 9 tahun seluruh Jazirah Arab telah berhasil mereka taklukkan.
.
Apabila kesadaran itu ditransformasikan dalam kehidupan nyata, mereka tidak akan rela jika tanah dan harta mereka dirampok negara kafir penjajah. Semua kekuatan yang menghalangi kebangkitan mereka pun diatasi, termasuk para penguasa antek penjajah. Semua memori itu akan melecutkan semangat dan kesadaran yang membuncah dalam diri. Dengan begitu, ketika berhaji tidak hanya mendapatkan haji mabrur sebagaimana harapan setiap orang, tetapi juga menjadi pribadi yang berbeda dari sisi siyasiyah.
.
Tertanam semangat, kesadaran, dan tekad kuat untuk mengembalikan kejayaan Islam, sebagaimana dilakukan Baginda saw dan para sahabat. Maka kaum Muslim yang berhaji akan terpanggil untuk berdakwah memperjuangkan Islam. Sebagaimana ibadah haji, dakwah memperjuangkan Islam juga memiliki keutamaan yangbesar di sisi Allah.
.
Jangan sampai umat cukup berpuas diri usai menunaikan haji. Masih banyak kewajiban yang lebih utama harus ditunaikan kaum Muslim. Yakni menyerukan kewajiban penerapan syariah Islam secara kaffah dalam institusi pemerintahan Islam, yakni Khilafah Islamiyah. Demikianlah makna politis ibadah haji yang seharusnya kita petik sekaligus sebagai inspirasi perjuangan dakwah Islam.
.
Wallahu alam bi showab.
Tags
Opini