Oleh : Bunda Hanif
Belum lama ini, Hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengabulkan permohonan pernikahan beda agama yang diajukan oleh seorang mempelai laki-laki beragama Kristen dan mempelai perempuan yang beragama Islam. Putusan hakim tersebut berdasarkan UU Administrasi Kependudukan (Adminduk) dan pertimbangan sosiologis, yaitu keberagaman masyarakat. (Muslimahnews.com, 30/6/2023)
Dalam pasal 35 huruf (a) UU 23/2006 tentang Adminduk diatur bahwa pencatatan perkawinan berlaku pula bagi perkawinan yang ditetapkan oleh pengadilan. Adapun dalam penjelasannya disebutkan bahwa “Perkawinan yang ditetapkan oleh Pengadilan” adalah perkawinan yang dilakukan antar umat berbeda agama. (CNN Indonesia, 26/6/2023)
Adapun pada pasal 7 ayat 2 huruf (l) UU 30/2014 tentang Administrasi Pemerintahan diatur bahwasanya pejabat pemerintahan berkewajiban untuk mematuhi putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.
Dengan adanya putusan tersebut, menambah panjang permohonan pernikahan beda agama yang dikabulkan pengadilan di Indonesia. Sebelum peristiwa ini, pernikahan beda agama juga pernah disahkan di Surabaya, Tangerang, Yogyakarta dan Jakarta Selatan.
Maraknya pernikahan beda agama merupakan bukti bahwa syariat Islam semakin diabaikan. Walaupun MUI telah mengeluarkan fatwa haram dan tidak sahnya pernikahan beda agama, lagi-lagi atas nama hak asasi manusia, upaya legalisasi pernikahan beda agama terus diupayakan dan disahkan.
Penerapan Sistem Sekuler
Dikabulkannya pernikahan beda agama oleh pengadilan negeri adalah dampak dari penerapan sistem sekuler di negeri ini. Aturan yang berlaku di negeri ini bukanlah aturan yang berdasarkan syariat Islam, melainkan aturan yang berasal dari akal manusia yang sangat lemah. Atas nama hak asasi manusia, mereka berani menentang hukum Allah. Padahal jelas-jelas, di dalam Islam pernikahan beda agama haram hukumnya.
Allah berfirman, “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik sebelum mereka beriman. Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik meskipun ia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman.” (QS Al-Baqarah: 221)
Pernikahan beda agama merupakan tindakan yang mencederai penjagaan agama. Tidak bisa kita pungkiri, bisa saja maraknya kristenisasi terjadi lewat pernikahan. Meskipun bertahan dengan keyakinan masing-masing, toleransi beragama yang bermakna “mencampuradukkan agama” akan sulit dihindari.
Selain itu, pernikahan beda agama juga mencederai penjagaan harta. Di dalam syariat Islam, antara muslim dan non muslim tidak saling mewarisi. Begitu pun dengan penjagaan terhadap keturunan, syariat mengatur nasab dan perwalian anak.
Tidak haya pernikahan beda agama, pernikahan “sesama” yang kian marak juga menjadi bukti bahwa syariat Islam semakin dicampakkan. Jika sekulerisme masih saja diterapkan, umat muslim akan menyaksikan hukum Allah Swt satu persatu ditinggalkan.
Sekulerisme memandang bahwa penikahan hanya sekedar untuk mengejar hawa nafsu. Entah untuk mengejar harta, cinta ataupun kedudukan. Berbeda dengan Islam dalam memandang pernikahan. Pernikahan hakikatnya adalah ibadah. Pernikahan harus bisa membawa keberkahan dunia akhirat. Untuk itu, orang yang benar-benar menjalankan syariat Islam, tidak akan mungkin memilih pasangan hidupnya seorang yang kafir.
Beginilah ciri masyarakat liberal, yang tujuan hidupnya hanya untuk mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Standar kebahagiaan masyarat liberal diukur dari banyaknya materi yang dimiliki. Tidak peduli dengan agama, yang penting memiliki harta dan kehidupan yang terhormat. Tidak ada standar halal dan haram dalam perbuatan mereka. Tolok ukur perbuatannya sebatas maslahat.
Sungguh jauh berbeda dengan negara yang menerapkan syariat Islam. Penguasa di negara Islam akan benar-benar memastikan bahwa aturan yang diterapkan sesuai dengan aturan Islam. Begitu pun para hakim, memutuskan semua perkara berlandaskan syariat Islam, tidak terkecuali perkara pernikahan. Dengan begitu, tidak mungkin pernikahan beda agama akan dikabulkan.
Pernikahan akan membangkitkan hukum-hukum Islam seperti hadanah (pengasuhan), birrul walidain (berbakti pada orang tua), kewajiban suami istri, hukum waris, dll. Seseorang yang menikah karena agama, tentunya akan berusaha mencari pahala sebanyak-banyaknya dengan mengoptimalkan berbagai kewajiban yang datang padanya.
Individu di dalam masyarakat Islam akan selalu berusaha menjadi pribadi yang bermanfaat bagi sesama. Ilmu yang dimiliki digunakan sebaik-baiknya untuk menyelesaikan persoalan umat dan memajukan bangsa, bukan untuk mengejar kesenangan duniawi. Masyarakatnya akan berlomba-lomba dalam kebaikan dan melakukan aktivitas amar makruf nahi munkar. Mereka selalu berusaha mencari ridha Allah dalam setiap perbuatannya dengan menjadikan standar halal haram sebagai tolok ukur perbuatannya. Hal inilah yang menjadikan masyarakat Islam menjadi masyarakat yang agung dan mulia.
Wallahu a’lam bisshowab