Oleh: Ranita
Baru-baru ini Pengadilan Negeri Jakarta Pusat mengizinkan pernikahan beda agama antara laki-laki non-Muslim dengan perempuan Muslimah. Hakim Bintang AL mengatakan, hal ini dilakukan karena alasan sosiologis Indonesia yang beragam dan didukung adanya Pasal 35 huruf a UU 23/2006 tentang Administrasi Kependudukan (detik.com, 25/06/2023). Senada dengan hal ini, Ketua Umum Persekutuan Gereja-Gereja Indonesia (PGI), Pendeta Gomar Gultom, menyebut bahwa pernikahan beda agama merupakan konsekuensi logis dari masyarakat yang majemuk (detik.com, 01/07/2023).
Namun, Anggota Komisi VIII DPR, Surahman Hidayat menyayangkan, menurutnya, putusan ini tidak sesuai konstitusi karena bertentangan dengan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (Beritasatu.com, 29/06/2023). Menurut UU tersebut, di Pasal 2 disebutkan bahwa Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.
Mengutip laman Badan Peradilan Agama Mahkamah Agung Republik Indonesia (15/07/2022), selama ini Indonesia memang belum memiliki payung hukum yang secara eksplisit mengatur pernikahan beda agama. Pernikahan beda agama secara implisit dianggap ilegal menurut Pasal 2 UU Perkawinan, dan dilarang oleh Pasal 44 Kompilasi Hukum Islam. Namun pada kenyataannya, penetapan pernikahan beda agama bisa dilakukan jika memakai dasar Pasal 35 huruf a UU Adminduk (Administrasi Kependudukan) tadi.
Legalisasi Nikah Agama, Buah Sekularisme
Diakui atau tidak, Indonesia telah mengadopsi sekulerisme sejak awal kemerdekaannya. Meski lahir di benua Eropa, sekulerisme (pemisahan agama dari kehidupan) kini telah diemban di seluruh dunia. Aktivitas yang berkaitan dengan politik, ekonomi, sosial, termasuk pergaulan, tidak boleh diatur oleh agama. Karenanya, meski Islam memiliki aspek politis-ideologis yang mengatur hubungan antar manusia, Islam tidak diperbolehkan mengatur urusan sosial, kecuali yang berkaitan dengan peribadatan saja.
Legalisasi pernikahan beda agama, adalah akibat penerapan sekulerisme. Dengan dalih keberagaman beragama, larangan pernikahan Muslimah dengan laki-laki non-Muslim diabaikan. Hukum agama buatan sang Pencipta terkait halal-haram dengan resiko surga-neraka, kalah dengan hukum administratif buatan manusia. Legalisasi pernikahan beda agama, sejatinya adalah legalisasi zina seumur hidup seorang Muslimah. Dengan kata lain, negara abai menjaga kehormatan dan keselamatan akidah rakyatnya.
Keberagaman Bukan Alasan Legalisasi Nikah Beda Agama
Dalam sebuah masyarakat, keberagaman ras, suku, dan agama, adalah kepastian. Madinah adalah contoh nyatanya. Ketika menjadi Ibukota Negara Islam, Madinah tidak pernah dihuni oleh satu umat beragama saja, di antaranya ada Islam, Yahudi, Nasrani dan Musyrikin. Meski begitu, tak sekalipun ada praktik pernikahan beda agama. QS. Al-Baqarah ayat 221 yang mengatur pernikahan antar umat bergama diimplementasikan secara sempurna bersamaan dengan hukum Islam lainnya.
Menempatkan Cinta Pada Tempatnya
Sebagian pihak yang mengajukan legalisasi nikah beda agama beranggapan bahwa tidak selayaknya cinta terhalang akidah. Mereka menganggap, Tuhan tidak mengatur penempatan rasa cinta. Padahal, dalam QS. At-Taubah ayat 24 Allah berfirman yang artinya, "Katakanlah: 'jika bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya'. Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik." Ayat ini secara gamblang menunjukkan kepada kita bagaimana Islam mengatur saat menempatkan rasa cinta. Cinta kepada Allah dan Rasul-Nya haruslah menjadi prioritas utama.
Tak hanya itu, Imam Syafi'i juga pernah berkomentar terkait cinta. Beliau berkata,ُ“Andai saja cintamu benar, pasti kamu akan menaatinya. Karena orang yang mencintai itu pasti akan menaati siapa yang dia cintai.”
Beberapa aturan Islam untuk mencegah pernikahan beda agama diantaranya:
1. Islam menetapkan larangan Muslimah menikahi laki-laki non-Muslim, dan laki-laki muslim menikahi perempuan musyrik .
2. Islam menetapkan bahwa hukum asal kehidupan laki-laki dan perempuan di sektor publik terpisah, kecuali ada sebab-sebab syar'i yang memperbolehkan mereka berinteraksi.
3. Islam memerintahkan laki-laki dan perempuan untuk menutup aurat sesuai dengan ketentuan Islam.
4. Islam memerintahkan laki-laki dan perempuan menundukkan pandangannya agar terjaga dari syahwat.
5. Islam melarang setiap interaksi yang mendekatkan pada zina, termasuk pacaran.
6. Islam mengelola politik ekonomi agar kesejahteraan rakyat terjamin, sehingga celah pernikahan beda agama karena terhimpit kebutuhan ekonomi tertutup.
7. Islam menentukan hukum-hukum yang bersifat kuratif, jika pelanggaran masih saja terjadi.
Demikianlah penjagaan Islam terhadap kehormatan dan akidah umat. Celah perzinahan lewat institusi pernikahan dapat dicegah. Pemurtadan melalui pernikahan juga dapat dihindari sejak awal. Penjagaan semacam ini tentu tidak bisa dilakukan jika Islam masih disempitkan dalam urusan peribadatan saja. Mau tak mau, Sekulerisme harus dibuang, agar Islam bisa kembali mengatur kehidupan. Wallahu a'lam bish showab.