Larangan Menjadi Pemimpin dengan Suap dan Politik Uang




Oleh : Lilik Yani (Muslimah Peduli Umat)

Pemimpin itu amanah bukan jual beli. Bagaimana bisa amanah mengurus umat jika sibuk mencari cara agar dana politik kembali? Bukan harga murah untuk membeli kekuasaan, suap sana suap sini hingga dana fantastis habis. 

Jika harta kekayaan sendiri mungkin tak seberapa beban. Bagaimana kalau harta pinjaman? Bukankah harus segera mengembalikan jika tak mau dicekik bunga bank? 

Tak takutkah dengan pertanggungjawaban bahwa semua yang diperbuat akan kembali kepada Allah dan dipertanggungjawabkan. Sudah siapkah menjadi pemimpin dengan dana suap atau money politik? Sungguh mengerikan.

Dilansir harian Kompas edisi Rabu (29/3/2023), Bupati Kapuas, Kalimantan Tengah, Ben Brahim S Bahat, dan istrinya, Ary Egahny, yang anggota Komisi III DPR, ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan dugaan korupsi. Kini keduaya ditahan di rumah tahanan KPK.

Hasil korupsi Ben dan Ary yang diperkirakan Rp 8,7 miliar itu digunakan untuk kepentingan politiknya, yaitu membiayai lembaga dua survei nasional yang mereka sewa. Uang hasil korupsi tersebut juga digunakan untuk biaya operasional pemilihan Bupati Kapuas tahun 2018 dan Pemilu Legislatif 2019.

Faktor yang melatarbelakangi Ben dan Ary korupsi tersebut seolah memberi simpulan bahwa biaya politik di negeri ini sudah di atas ambang kewajaran. Kita yakin bahwa alasan tersebut bukan isapan jempol karena fakta dan realita sudah dapat dijadikan sebagai bukti.

Busyro Muqoddas, Ketua KPK periode 2010-2011, saat acara kuliah tamu di pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Widya Mataram (UWM) pada Oktober 2022, mengatakan bahwa biaya politik yang mahal memicu para pejabat, politisi, dan lainnya berkorupsi. Mengutip hasil kajian Litbang Kementerian Dalam Negeri, biaya politik bupati/wali kota rata-rata Rp 30 miliar, sedangkan biaya politik menjadi gubernur bisa mencapai Rp 100 miliar.

Tidak mengherankan sebagian politikus yang hanya memiliki kekayaan pas-pasan berujung jatuh miskin setelah gagal dalam kontestasi politik kekuasaan tersebut. Pun sebagian yang berhasil melenggang ke tampuk kekuasaan dan menjadi ”wakil rakyat” di parlemen atau yang menjadi kepala daerah tidak jarang yang terlilit utang dalam jumlah fantastis.

Tajuk Rencana Kompas edisi Kamis (30/3/2023) menuliskan, "Biaya Politik Memang Mahal". Banyak politikus yang terjerat korupsi karena harus membiayai syahwat politiknya, seperti ingin menjadi wakil rakyat, kepala daerah, atau pejabat negara. Data KPK menunjukkan, sejak 2004 hingga 2022, sebanyak 343 anggota DPR/DPRD dan 178 kepala daerah terjerat korupsi. Masih ada 310 pejabat eselon I, II, III, dan IV yang berurusan dengan KPK.

Banyak politikus yang terjerat korupsi karena harus membiayai syahwat politiknya, seperti ingin menjadi wakil rakyat, kepala daerah, atau pejabat negara. Namun, soal biaya politik mahal sejatinya merupakan persoalan sangat klasik. Berbagai akar masalah yang menjadi penyebab biaya mahal pun sudah banyak ketahui dan diurai. 

Kekuasaan, Jabatan Adalah Amanah yang harus Dipertanggungjawabkan

Pertanyaannya, dapatkah politikus dan pejabat menempatkan kekuasaan sebagai amanah yang bisa dan harus dipertanggungjawabkan di hadapan rakyat dan sekaligus di hadapan Allah?

Kesadaran untuk mempertanggungjawabkan amanat di hadapan rakyat karena fondasi kekuasaan politik pemerintahan di Indonesia menganut prinsip kedaulatan di tangan rakyat. Politikus yang sedang menjabat sebagai wakil rakyat dan pejabat merupakan personal yang ditunjuk dan diamanahi oleh rakyat untuk menjalankan roda kekuasaan secara bermoral dan berkeadaban.

Dalam perspektif Islam, kekuasaan/jabatan merupakan beban berat yang harus dijalankan. Karena jabatan merupakan hal yang sangat berat, yang tidak setiap orang mampu memikulnya, maka Islam melarang seseorang untuk meminta-minta jabatan. Jabatan merupakan ”hasil dari kepercayaan rakyat atau Allah”, bukan permintaan. 

Pada sebuah hadis, Rasulullah bersabda, ”jika urusan diserahkan bukan kepada ahlinya, maka tunggulah kehancuran itu” (HR Bukhari).

”Suara rakyat” adalah ”suara Tuhan”. Kalimat sakral bagi para penganut demokrasi ini tentu sudah larut dan bersenyawa dalam darah para politikus/pejabat yang menisbahkan diri sebagai pengemban amanat rakyat. Kalimat tersebut bukan kata mutiara yang sekadar indah untuk diucapkan dalam kampanye atau untuk memengaruhi massa, melainkan merupakan ”kalimat ikrar atau janji” yang harus dipertanggungjawabkan.

Larangan Meraih Jabatan dengan Suap

Suap berdosa baik bagi yang memberi maupun yang menerima. Suap untuk mendapat kekuasaan, membeli suara rakyat  dengan memberi iming-iming sejumlah uang agar memberikan suaranya. 

Money politik sangat kental di sistem demokrasi. Semua bisa dibeli dengan uang baik itu jabatan, kekuasaan, maupun keputusan hakim bisa berubah karena bisa dibeli dengan uang.

Jabatan dan kekuasaan yang dibeli dengan uang, mana bisa bekerja tenang? Beban dosa meliputi hati hingga menjadikan tidak tenang. Dibebani hutang untuk membayar biaya politik yang tak tanggung-tanggung besarnya. 

Saat menjabat masih dibebani hutang, mana mungkin bisa tenang? Seharusnya pemimpin mengurus umat, mencukupi kebutuhan umat, menyejahterakan umat. Tetapi kalau pemimpin sibuk membayar hutang suap sebagai money politik, kapan mengurus umat?

Sudah Saatnya Taat Syariat, aturan Allah yang tercantum dalam kitab suci Al Quran. Di mana ada ayat menyebutkan larangan untuk menerima suap. Dalam sistem demokrasi, banyak sekali terjadi praktek suap, demi meng-goalkan syahwat menjadi pemimpin yang dilarang agama.

QS. Al-Baqarah Ayat 188

وَلَا تَاۡكُلُوۡٓا اَمۡوَالَـكُمۡ بَيۡنَكُمۡ بِالۡبَاطِلِ وَتُدۡلُوۡا بِهَآ اِلَى الۡحُـکَّامِ لِتَاۡکُلُوۡا فَرِيۡقًا مِّنۡ اَمۡوَالِ النَّاسِ بِالۡاِثۡمِ وَاَنۡـتُمۡ تَعۡلَمُوۡنَ

Dan janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim, dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

Maksudnya, janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil seperti dengan cara korupsi, menipu, ataupun merampok, dan jangan pula kamu menyuap dengan harta itu kepada para hakim untuk bisa melegalkan perbuatan jahat kamu dengan maksud agar kamu dapat memakan, menggunakan, memiliki, dan menguasai sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa karena melanggar ketentuan Allah, padahal kamu mengetahui bahwa perbuatan itu diharamkan Allah.

Pada bagian pertama dari ayat ini Allah melarang makan harta orang lain dengan jalan bathil. "Makan" ialah "mempergunakan atau memanfaatkan", sebagaimana biasa dipergunakan dalam bahasa Arab dan bahasa lainnya. Batil ialah cara yang dilakukan tidak menurut hukum yang telah ditentukan Allah.

Para ahli tafsir mengatakan banyak hal yang dilarang yang termasuk dalam lingkup bagian pertama ayat ini, antara lain:
1.Makan uang riba.
2.Menerima harta tanpa ada hak untuk itu.
3.Makelar-makelar yang melaksanakan penipuan terhadap pembeli atau penjual.

Kemudian pada ayat bagian kedua atau bagian terakhir yang melarang menyuap hakim dengan maksud untuk mendapatkan sebagian harta orang lain dengan cara yang batil, dengan menyogok atau memberikan sumpah palsu atau saksi palsu. 

Rasulullah saw bersabda:
"Sesungguhnya saya adalah manusia dan kamu datang membawa suatu perkara untuk saya selesaikan. Barangkali di antara kamu ada yang lebih pintar berbicara sehingga saya memenangkannya, berdasarkan alasan- alasan yang saya dengar. Maka siapa yang mendapat keputusan hukum dari saya untuk memperoleh bagian dari harta saudaranya (yang bukan haknya) kemudian ia mengambil harta itu, maka ini berarti saya memberikan sepotong api neraka kepadanya". (Mendengar ucapan itu) keduanya saling menangis dan masing-masing berkata. Saya bersedia mengikhlaskan harta bagian saya untuk teman saya. Lalu Rasulullah saw memerintahkan, "Pergilah kamu berdua dengan penuh rasa persaudaraan dan lakukanlah undian dan saling menghalalkan bagianmu masing-masing menurut hasil undian itu ". (Riwayat Malik, Ahmad, al-Bukhari, Muslim, dan lain-lain)

Dalam ayat di atas disebutkan larangan suap demi mendapatkan nafkah untuk mencukupi kebutuhan sekeluarga. Kini praktek suap terjadi di segala bidang. Hanya orang kuat beriman tangguh bisa tetap berada di jalan Allah.

Wallahu a'lam bish shawwab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak