Korupsi Dana Desa: Masalah Sistemik yang Harus Ditangani dengan Solusi Islam



Oleh: Krisdianti Nurayu Wulandari


Beberapa bulan yang lalu, Asosiasi Pemerintah Desa Seluruh Indonesia (Apdesi) mendesak pemerintah pusat mengalokasikan 10 persen Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dana desa, Minggu (19/3/2023). Harapannya adalah untuk meningkatkan kualitas pembagunan di wilayah perdesaan. (Kompas TV, 20/03/23).

Mirisnya, di tengah tuntutan kenaikan dana desa, korupsi dana desa justru banyak terjadi. Menurut laporan Indonesia Corruption Watch (ICW) pada 2022, terdapat 155 kasus korupsi di sektor ini dengan 252 tersangka sepanjang tahun tersebut. Angka korupsi dana desa tersebut setara dengan 26,77% dari total kasus korupsi yang ditangani oleh penegak hukum pada tahun 2022. Selanjutnya, kasus korupsi di sektor utilitas, pemerintahan, pendidikan, dan sumber daya alam juga meningkat dibandingkan tahiun 2021, dengan kasus korupsi di sektor desa sebanyak 154 kasus. (Tirto.id, 30/06/23)

Sebagai contoh adalah seorang Kepala Desa Lontar di Kecamatan Tirtayasa, Kabupaten Serang, Banten bernama Akiani telah menjadi tersangka dalam kasus korupsi dana desa dengan kerugian negara sebesar Rp988 juta. Selama masa jabatannya dari tahun 2015 hingga 2021, Akiani menggunakan dana desa untuk kepentingan pribadinya. Saat ini, Akiani telah ditahan dan akan diadili di Pengadilan Negeri Serang. Tindakannya tersebut dijerat dengan Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 jo Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. 

Di tengah mirisnya kasus korupsi dana desa yang terus menggurita, di sisi lain juga ada wacana revisi UU desa yang menetapkan masa jabatan kepala desa dari enam tahun menjadi sembilan tahun. Melihat fakta yang demikian, tentunya penambahan masa jabatan kepala desa yang panjang akan beresiko terhadap meningkatnya korupsi dan justru semakin menghambat pembangunan dan kesejahteraan masyarakat yang ada di desa.

--
Mengapa Hal Ini Bisa Terjadi?
--
Mengguritanya persoalan korupsi di negara kita —baik itu setingkat perdesaan, perkotaan maupun negara—  adalah hal yang lumrah terjadi dikarenakan masih berlakunya sistem demokrasi kapitalisme. Sebab sistem ini memungkinkan banyak terjadinya peluang untuk korupsi baik ditingkat pusat maupun desa. Aturan dan undang-undang dapat direvisi sesuai dengan kepentingan, pengawasan minim, dan pelaku korupsi belum diberikan hukuman yang tegas. Akibatnya korupsi semakin merajalela. 

Sistem politik demokrasi adalah sistem politik yang berbiaya mahal. Alhasil, setiap individu yang ingih meraih tampuk kekuasaan akan menggelontorkan dana yang sangat besar untuk mencapai keinginannya tersebut. Seperti dana pemilu dan lain sebagainya. Sementara gaji yang diperoleh tidak sebanding dengan yang dikeluarkan saat pemilu. Oleh karena itu, mereka berupaya dengan keras untuk bisa mengembalikan modal yang telah dikeluarkan selama menjabat. Dan satu-satunya jalan termudah tercepat adalah dengan melakukan korupsi.

Ditambah lagi dengan pandangan hidup kapitalisme bahwa kebahagiaan itu ketika memperoleh sebanyak-banyaknya materi. Juga ditambah dengan ketidaktegasan hukuman yang diberikan terhadap pelaku korupsi sehingga tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku. Maka dengan ini, selama sistem demokrasi-kapitalisme masih bercokol, praktik-praktik korupsi masih akan terus menerus terjadi.

--
Pandangan Islam
--
Islam telah jelas mengharamkan praktik korupsi. Sebagaimana dalam firman Allah pada surat al-Baqarah ayat 188 yang berbunyi:

وَلَا تَأْكُلُوْٓا اَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ بِالْبَاطِلِ وَتُدْلُوْا بِهَآ اِلَى الْحُكَّامِ لِتَأْكُلُوْا فَرِيْقًا مِّنْ اَمْوَالِ النَّاسِ بِالْاِثْمِ وَاَنْتُمْ تَعْلَمُوْنَ

Artinya: Janganlah kamu makan harta di antara kamu dengan jalan yang batil dan (janganlah) kamu membawa (urusan) harta itu kepada para hakim dengan maksud agar kamu dapat memakan sebagian harta orang lain itu dengan jalan dosa, padahal kamu mengetahui.

Dalam sistem Islam, loyalitas kepemimpinan harus didasarkan pada ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya, bukan kepentingan kelompok, golongan, atau keluarga. Para pemimpin, baik di tingkat pusat maupun desa, menjalankan tugas dan amanah yang diberikan hanya untuk memenuhi kepentingan dan kemaslahatan rakyat yang dipimpinnya. Sebab politik dalam Islam itu adalah ri'aayatu syuunil ummah, yaitu mengatur (mengurusi) segala urusan ummat.

Nabi Muhammad bersabda, "Setiap dari kalian adalah pemimpin dan setiap dari kalian akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang dipimpinnya." (HR Al-Bukhâri, Muslim, Abu Daud, Tirmidzi dari hadis Abdullah bin Amr).

Selain itu, sistem Islam juga akan mengoptimalkan fungsi Badan Pengawas Keuangan yang bertugas memeriksa dan mengawasi kekayaan para pejabat negara. Aturan dan perundang-undangan yang berlaku adalah hukum Islam, sehingga tidak ada celah untuk menciptakan, merancang, atau memperdagangkan hukum, karena hukum Islam bersifat mutlak dan jelas (tidak pernah berubah).

Kemudian, negara akan menerapkan sistem sanksi Islam yang dapat memberikan efek jera dan pelajaran bagi mereka yang berniat untuk melakukan korupsi atau tindakan kriminal lainnya. Hukumannya akan ditentukan oleh khalifah dan bisa berupa hukuman sesuai dengan tingkat kejahatannya, seperti penjara, pengasingan, atau bahkan hukuman mati.

Dengan menerapkan Islam secara menyeluruh, korupsi dapat diselesaikan tanpa banyak drama dan permasalahan yang berkepanjangan. Untuk memerangi korupsi secara menyeluruh, kita harus mencabut akar permasalahannya dengan menggantikan sistem demokrasi kapitalisme dengan Islam sebagai satu-satunya solusi untuk menyelesaikan masalah kehidupan yang semakin rumit. Wallaahu A'lam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak