Oleh : Eka
Kegiatan brandu atau purak yang dilakukan oleh warga Gunungkidul menjadi salah satu faktor meningkatnya risiko penularan antraks. Tradisi ini merupakan kegiatan pemotongan sapi dan kambing yang terpaksa dipotong karena sakit, lalu dagingnya diperjual belikan ke tetangga dengan harga yang murah.
Tradisi ini diduga terus berjalan akibat kondisi sosial ekonomi masyarakat pedesaan. Dari sisi peternak hal tersebut dapat mempertahankan nilai ekonomi dari sapi yang mati, sedangkan dari sisi masyarakat tradisi ini dianggap sebagi bentuk kepedulian terhadap warga yang mengalami musibah dan sebagai asas gotong royong.
Dikarenakan harga daging segar dan sehat yang mahal dan hanya bisa dijangkau oleh kalangan tertentu maka ketika ada daging yang murah masyarakat pun tergiur untuk membelinya dan menjadi terbiasa mengkonsumsi binatang yang sudah sakit.
Budaya brandu ini jelas menunjukkan potret kemiskinan yang parah ditengah masyarakat. Hal ini juga menggambarkan lalainya penguasa dalam mengurus rakyat sehingga tradisi ini terus berlangsung, padahal tradisi ini selain membahayakan kesehatan juga melanggar aturan agama yang mengharamkan memakan bangkai.
Berbeda dengan negara yang menerapkan sistem Khilafah yang melakukan dan menetapkan kebijakan yang terbaik agar masyarakatnya mendapatkan kehidupan yang layak dan kehidupan yang sejahtera. Oleh karena itu, budaya brandu tidak akan dibiarkan berkembang karena dalam syariat Islam tidak boleh melakukan perbuatan yang membahayakan diri sendiri juga orang lain.
Sistem Islam akan menjamin rakyat hidup sejahtera dan terdidik sehingga faham aturan agama maupun aturan yang terkait dengan kesehatan dirinya.