Konsumsi Hewan Sakit, Potret Buram Kelalaian Penguasa




Oleh : Eti Fairuzita



Penularan antraks sebenarnya bukan barang baru di Gunungkidul. Dalam beberapa tahun terakhir, penularan antraks terus ditemukan meningkat.
Kementerian Pertanian menyebut tradisi brandu atau purak jadi salah satu faktor yang meningkatkan risiko penularan antraks di sana.
Pemotongan sapi atau kambing yang sakit atau mati berkaitan dengan tradisi purak atau brandu.

Dalam sebuah investigasi oleh Balai Besar Veteriner Wates dan Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Gunungkidul, disebutkan bahwa tradisi ini merupakan pemotongan sapi dan kambing sakit yang dipotong paksa. Lalu, daging diperjualbelikan ke tetangga dengan harga di bawah standar.
Peneliti menyebut, warga sebenarnya sadar akan risiko antraks dan larangan mengonsumsi ternak yang sakit atau mati mendadak. Namun, hal ini sering diabaikan.

Ada dugaan tradisi terus berjalan akibat kondisi sosial-ekonomi masyarakat pedesaan. Dari sisi peternak, ada dorongan untuk mempertahankan nilai ekonomi dari ternak yang mati.
Dari sisi masyarakat, tradisi ini dianggap sebagai asas gotong royong dan bentuk kepedulian terhadap warga yang mengalami musibah.

Kabid Kesehatan Hewan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan Retno Widyastuti mengakui, tradisi brandu membuat kasus antraks terus bermunculan di Gunungkidul.
"Itu adalah salah satu hal membikin kita [Kabupaten Gunungkidul] tidak berhenti-berhenti ada antraks itu mergane (karena) kalau dipotong itu, kan, bakteri yang ada di darah itu mengalir keluar berubah menjadi spora. Spora itu yang tahan puluhan tahun," kata Retno ditemui di Kantor Pemkab Gunungkidul, Rabu (5/7).

Saat ditanya ke warga, Retno bercerita bahwa tujuan brandu pada dasarnya memang baik. Brandu bertujuan agar peternak tidak rugi besar. Daging dipotong, lalu dijual dalam bentuk paket dan uang yang terkumpul diberikan pada peternak.

Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner Kementan Syamsul Ma'arif menambahkan, iuran ini sifatnya untuk menghibur pemilik ternak yang kehilangan hewan ternaknya.
Hanya saja, tradisi ini justru membawa petaka buat warga. Sifat bakteri penyebab antraks, Bacillus anthracis, akan membentuk spora saat terpapar udara terbuka. Syamsul menjelaskan karena sifat ini, konsumsi daging hewan yang terpapar antraks sangat dilarang.

Pakar kedokteran hewan Universitas Airlangga (UNAIR) Nusdianto Triakso mengatakan bahwa brandu atau purak merupakan kebiasaan yang umum ditemukan di Indonesia.
Meski tak semua ternak yang sakit positif antraks, namun kebiasaan mengkonsumsi hewan ternak yang mati adalah pilihan yang salah. Nusdianto menyoroti pentingnya edukasi untuk masyarakat.

Tradisi brandu merupakan potret yang sangat jelas menunjukkan kemiskinan yang parah di tengah-tengah masyarakat. Di sisi lain, juga menggambarkan betapa rendahnya tingkat literasi masyarakat sehingga biasa mengkonsumsi binatang yang sudah sakit. Hal itu membuktikan lalainya penguasa dalam mengurus rakyatnya. Bahkan membiarkan tradisi yang membahayakan ini tetap berlangsung sekalipun melanggar aturan agama terkait larangan memakan bangkai.

Islam memiliki aturan yang ditujukan untuk umatnya agar memakan makanan yang halal lagi baik.
Allah Swt Berfirman :"Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik (sehat) dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan karena sesungguhnya setan itu adalah musuh yang nyata bagimu," (Qs. al-Baqarah : 168).

Umat Islam juga diharamkan untuk memakan bangkai, Allah Swt Berfirman : "Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah," (Qs. al-Baqarah : 173).

Selain itu, bangkai itu merupakan najis sehingga haram untuk diperjualbelikan. Kalaupun membeli dengan tujuan baik, hukumnya tetaplah haram.
Ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw mengenai larangan melakukan jual beli khamar, bangkai, dan babi.

Dalam kasus ini, menjual dan mengonsumsi daging sapi dan kambing yang mati karena antraks itu jelas akan membahayakan diri sendiri dan orang lain. Padahal di dalam Islam sendiri diharamkan, baik membahayakan diri sendiri maupun membahayakan orang lain. Hal ini sesuai sabda Nabi saw yang diriwayatkan Imam Malik mengenai tidak boleh ada bahaya dan tidak boleh membahayakan orang lain.

Islam merupakan agama sempurna yang membawa rahmat untuk seluruh alam, baik muslim maupun non-muslim, apa pun warna kulit, agama, ras, dan segala latar belakang mereka. Sebagaimana firman Allah dalam Qs Al-Anbiya ayat 107. "Dan tidaklah Kami mengutus engkau (Muhammad), melainkan untuk menjadi rahmat bagi semesta alam.

Dalam kitab Syakhshiyah Islamiyah Juz III, Syekh Taqiyuddin, menjelaskan makna ayat tersebut, "Maka adanya Rasul adalah rahmat, adanya al-Qur’an adalah obat dan rahmat. Semuanya itu menunjukkan bahwa sesungguhnya syariat mendatangkan rahmat (maslahat), yaitu hasil yang diperoleh atas pelaksanaan syariat.

Dengan demikian, seharusnya pemerintah menerapkan seluruh hukum Islam secara kafah yang berlaku, baik bagi muslim maupun non-muslim, karena akan membawa maslahat bagi seluruh umat manusia. Oleh karena itu, tradisi brandu harus dihapuskan karena sudah jelas-jelas bertentangan dengan hukum Islam.
Karena hanya penguasa yang memiliki wewenang untuk memberlakukan aturan, bahkan setiap dari keputusannya akan dimintai pertanggung jawaban.

Wallahu alam bisa-sawab

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak