Oleh : Eti Fairuzita
Kasus dugaan pencurian data pribadi kembali terjadi. Kali ini, diduga sekitar 34 juta data paspor atau keimigrasian bocor dan diperjualbelikan. Hal itu terungkap lewat akun pegiat informatika, Teguh Aprianto di akun Twitter @secgron. Teguh mengunggah tangkapan layar portal yang menjual data paspor Warga Negara Indonesia (WNI) yang terdiri atas nama lengkap, tanggal berlaku paspor, tempat tanggal lahir.
Data tersebut dijual antara 10 ribu dolar AS atau sekitar 150 juta rupiah. Pihak Ditjen Imigrasi pun langsung menindaklanjuti dugaan kebocoran data ini. “Sedang diselidiki (dugaan kebocoran data paspor)," kata Silmy melalui pesan singkatnya, Kamis, 6 Juli 2023.
Seiring perkembangan teknologi digital kasus kebocoran data makin marak terjadi. Kasus kebocoran data (paspor) adalah kasus kesekian kalinya, tentu hal ini menggiring pada sebuah pertanyaan siapa yang bertanggung jawab atas jaminan keamanan dan perlindungan data rakyat ? Data digital merupakan entitas yang sangat berharga bagi para pengelolanya dalam meraup cuan sebanyak-banyaknya.
Kasus kebocoran data yang banyak terjadi ini seolah menjadi niscaya dalam sistem kapitalisme. Sistem ini membuat cara pandang manusia hanya berorientasi pada materi untuk mencari keuntungan dengan berbagai cara meski harus merugikan orang lain. Tentu, negara harus turun tangan dalam menyelesaikan masalah ini. Tapi sayangnya, kapitalisme telah membuat negara menjadi tidak berfungsi sebagaimana harusnya. Disfungsi itu telah membuat negara tidak mampu memberikan jaminan sebagai penyedia utama kenyamanan, perlindungan, dan keamanan bagi setiap warganya.
Negara kapitalisme hanya menjadi regulator dan fasilitator. Maka tidak heran, dengan banyaknya kasus yang merugikan rakyat, solusi yang diberikan hanya membuat RUU Perlindungan Data Pribadi (PDP). Tentu, semua kekacauan tersebut tidak akan terjadi jika urusan rakyat diatur oleh sistem pemerintahan Islam, yakni Khilafah. Sebab, Khilafah adalah sebuah negara yang hadir sebagai perisai yang akan melindungi warga negaranya.
Rasulullah Saw Bersabda :"Sesungguhnya seorang imam adalah perisai, orang-orang berperang dari belakangnya dan menjadikannya pelindung, maka jika ia memerintahkan ketakwaan kepada Allah azza wa jalla dan berlaku adil, baginya terdapat pahala dan jika ia memerintahkan yang selainnya maka ia harus bertanggung jawab atasnya,"(HR. al-Bukhari, Muslim, an-Nasai, dan Ahmad).
Maka Khilafah akan bertanggung jawab penuh menjadi pelindung warga negaranya. Dengan landasan ini, kasus peretasan atau pun kebocoran data pribadi tidak akan mudah terjadi, bahkan tidak mungkin terjadi jika di dalam sistem Khilafah. Sebab, Khilafah akan proaktif, menjaga, melindungi, dan menjamin keamanan data rakyat, termasuk menjaga harta rakyat. Bahkan lebih dari itu, perlindungan data pribadi menjadi satu hal yang sangat penting karena terkait dengan pertahanan nasional.
Khilafah sangat memahami arus digitalisasi yang menawarkan kecepatan dan kemudahan. Namun pada saat yang sama, arus ini juga membawa potensi kejahatan online. Seperti, hacking atau sosial engineering.
Karenanya, Khilafah akan mengerahkan tim IT negara untuk menciptakan mekanisme perlindungan terkuat dengan teknologi yang paling canggih dan terbaru. Khilafah tidak akan berhenti pada sistem mobile app shielding, multifactor authentication, dan electronic signature yang saat ini banyak digunakan sebagai pelindung data digital. Khilafah akan terus melakukan inovasi, riset, evaluasi teknologi dan peningkatan layanan. Tugas ini akan diemban secara penuh oleh Khilafah.
Tidak akan membiarkan pihak swasta menjadi pelayan utama perlindungan data warga negara seperti negara kapitalisme saat ini. Pihak swasta hanya diperbolehkan menjadi pendukung dan pembantu negara untuk melayani masyarakat. Selain optimal, di sisi perannya sebagai negara, Khilafah akan memastikan para pegawai negara khususnya yang bertugas melayani pendataan digital, adalah orang yang amanah dan profesional. Dimana kriteria ini akan menjadi penjaga dari sisi faktor human error. Pegawai yang amanah akan menjalankan tugasnya dengan sebaik mungkin karena adanya kesadaran akan hubunganya dengan Allah (idraksillah billah) sehingga dia tidak akan berani melakukan keculasan dan kelalaian dalam pekerjaannya.
Sementara pegawai yang profesional akan membuat pelayanan mudah dan cepat karena dia telah ahli di bidangnya. Seandainya ada kasus peretasan atau pun kebocoran data, Khilafah memiliki sistem sanksi yang membuat siapapun dibuat jera olehnya. Tindakan peretasan, kecurangan, penipuan, dan seluruh jenis kejahatan cyber lainny yang membuat data bocor adalah tindakan yang merugikan orang lain bahkan negara. Maka dalam sanksi Islam, pelaku akan diberikan sanksi takzir.
Syekh Abdurrahman Al Maliki dalam kitabnya Nidzamul Uqubat fil Islam menjelaskan "Takzir adalah sanksi pidana untuk perbuatan-perbuatan atau kejahatan-kejahatan yang hukumannya tidak di atur dalam nash (al-Quran dan al-Hadist). Hukuman yang diberikan akan diserahkan pada ijtihad qadhi (hakim) atau Khalifah. Hukuman akan diberikan sesuai kadar kejahatan, hukuman paling ringan adalah pewartaan, sementara yang paling berat adalah hukuman mati,"
Keistimewaan sanksi yang diterapkan oleh Khilafah ini, akan menimbulkan efek jawabir (penebus dosa pelaku) dan zawajir (pencegah di tengah-tengah masyarakat agar tidak ada kejahatan serupa). Jika negara telah memberikan perlindungan optimal, para pegawai menjalankan tugasnya dengan benar, dan pelaku peretas dihukum sesuai kadar kejahatannya, tentu perlindungan data warga negara bukan sesuatu hal yang mustahil diwujudkan. Semua ini niscaya akan terwujud, jika umat hidup berada di bawah naungan negara Islam yaitu Khilafah Islamiyah.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini