Oleh : Ummu Hanif, pemerhati Sosial dan Keluarga
Isu kerawanan pangan memang masih jadi PR besar bagi pemerintah Indonesia, bahkan dunia. Dari hasil pemetaan ketahanan dan kerentanan pangan atau Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) yang dilakukan Badan Pangan Nasional (Bapanas) pada 2022, didapatkan bahwa dari total 416 kabupaten dan 98 kota di Indonesia, 74 di antaranya atau 14,34% masih masuk kategori prioritas 1—3 atau kondisi rentan rawan pangan. Daerah yang termasuk paling rentan alias prioritas 1 ada di Provinsi Papua (68% kabupaten) dan Papua Barat (50% kabupaten). Juga ada di Provinsi Aceh, termasuk Kota Subulussalam. (www.badanpangan.go.id)
Alih-alih diselesaikan, di Indonesia, isu ini cenderung menjadi komoditas politik yang mencuat saat jelang pesta lima tahunan. Nyaris setiap parpol dan capres mengangkat isu ini sebagai jualan politiknya. Janji pengentasan kemiskinan dan membangun ketahanan pangan seakan menjadi menu wajib dalam kampanye untuk memenangkan persaingan.
Dari rezim ke rezim, berbagai ikhtiar memang sudah dilakukan. Misal, menjaga stabilitas pasokan dan harga pangan; meningkatkan penyediaan pangan melalui pengembangan cadangan pangan daerah dan penguatan lumbung pangan; meningkatkan pemenuhan kuantitas dan kualitas konsumsi pangan yang beragam, bergizi, seimbang, dan aman (B2SA); dan lain-lain.
Berbagai program juga turut gencar dilakukan. Antara lain penyediaan lapangan kerja, padat karya, redistribusi lahan, pembangunan infrastruktur dasar (jalan, listrik, rumah sakit), serta pemberian bantuan sosial. Juga pemerataan penyediaan layanan kesehatan (fisik dan nonfisik), sosialisasi dan penyuluhan kesehatan, perbaikan kualitas sanitasi dan akses air bersih, serta pencegahan dan penanganan balita pengidap stunting.
Hanya saja, semua upaya tersebut tampak baru sebatas wacana atau tidak lebih dari proyek mercusuar. Yang sudah berjalan, alih-alih menyolusi persoalan, malah menambah permasalahan, semisal impor yang jorjoran, ataupun program bansos yang sering salah sasaran dan dikorupsi pejabat yang berwenang.
Walhasil, tidak sedikit masyarakat yang belum merasakan kehadiran negara atau penguasa dalam menyelesaikan problem krusial mereka. Tengok saja, bagaimana masyarakat bisa memenuhi kebutuhan pangan, air, energi, dan kesehatan secara memadai jika harganya makin tidak terjangkau dan daya beli mereka kian minimal? Bagaimana pula para petani bisa semangat berproduksi jika harga benih, pupuk, transportasi, dan teknologi kian melangit, sedangkan impor pangan dan pengurangan subsidi terus-terusan dilakukan?
Berbagai megaproyek yang dicanangkan pemerintah untuk membangun ketahanan pangan dan menggenjot perekonomian masyarakat pun nyatanya nyaris gagal. Yang justru tampak menonjol adalah wajah kapitalisasi serta liberalisasi sektor strategis, termasuk pangan, energi, kesehatan, dan lainnya.
Berbagai Proyek Strategis Nasional, antara lain pembangunan Kawasan Ekonomi Khusus, termasuk food estate yang digadang-gadang bisa menyedot jutaan tenaga kerja dan menggenjot produksi, misalnya, nyatanya hanya menghambur-hamburkan uang negara. Apalagi sebagiannya berakhir mangkrak. Bahkan, terbukti nyata, proyek-proyek tersebut nyatanya hanya menjadi ajang bancakan para kapitalis bermodal besar untuk mengeruk potensi sumber daya alam dan manusia secara legal.
Maka, ibarat pungguk merindukan bulan, jika berharap penyelesaian kasus kerawanan pangan di dalam pangkuan sistem kapitalisme. Hanya dengan sistem Islam, yang memandang bahwa kekuasaan adalah amanah berdimensi dunia akhirat-lah, yang akan membawa para penguasa benar – benar peduli akan Nasib rakyatnya. Maka, sudah saatnya kaum muslimin kembali merindukan Islam diterapkan dalam kancah kehidupan. Tidak mengebirinya, sebatas ibadah semata. Wallahu a’lam bi ash showab.