Islam Solusi Tuntas Korupsi Dana Desa




Oleh Ummu Syahamal


Pada 2022 Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan bahwa kasus korupsi di sektor desa paling banyak ditangani oleh aparat penegak hukum. ICW juga mencatat sejak terbitnya UU Nomor 6 Tahun 2014 (uu ini merupakan dasar penyelenggaraan tentang Desa)  ada kenaikan konsisten kasus korupsi di desa. Dimana pada 2022 , dari 155 kasus korupsi ternyata 133 kasus berkaitan dengan dana desa, sementara 22 kasus berkaitan dengan penerimaan desa. Korupsi dana desa ini menyebabkan kerugian negara sebesar Rp381 miliar (Katadata.co.id, 8/4/2023).


Di tengah peliknya persoalan korupsi dana desa ini, Ratna Juwita, dari Fraksi PKB,  justru mengusulkan dalam rapat Badan Anggaran DPR RI agar ada peningkatan alokasi APBN untuk dana desa pada tahun anggaran 2024 sebesar Rp10 triliun dari yang sebelumnya 70 triliun pada 2023 menjadi 80 triliun pada 2024 (Tirto.co.id, 30/6/2023). Memang disatu sisi desa juga harus terus dibangun dan tidak masalah juga bila anggaran nya pun terus ditambah sesuai kebutuhan rakyat. Hanya saja dapatkah dana desa itu benar-benar digunakan dengan amanah? Data diatas menunjukkan justru negara telah mengalami banyak kerugian akibat korupsi dana desa.


Miris memang, beraneka berita korupsi rasanya sudah sering kita dengar. Mulai dari korupsi di bansos, e-ktp, dana desa, dan sebagainya.  Entah sampai kapan korupsi akan terselesaikan dengan tuntas? Apalagi Wakil Ketua KPK, Nurul Ghufron menyatakan bahwa pemberantasan korupsi tidak bisa lagi didekati sebagai kejahatan personal. Menurutnya, korupsi saat ini merupakan kejahatan sistemik. Untuk itu, pemberantasan korupsi pun harus dilakukan secara komprehensif dan sistemik pula ( tempo.co, 18/11/2020).


Jika ditelaah, pernyataan tersebut memang benar adanya. Hari ini semakin bertambahnya kasus korupsi bukan semata karena lemahnya KPK atau BPK, tapi lebih kepada sistemnya. Demokrasi kapitalis yang diterapkan hari ini telah menyuburkan korupsi. Demokrasi adalah sistem politik yang landasan dasarnya adalah sekulerisme alias pemisahan aturan agama dari kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Sehingga dalam sistem ini membolehkan manusia bebas membuat aturan sebagai solusi mengurus kehidupan bernegara dan bermasyarakat. 


Padahal sesungguhnya manusia adalah makhluk yang terbatas dan lemah, termasuk lemah akalnya dalam menimbang baik dan buruk jika dikembalikan standarnya kepada masing-masing individu. Ditambah manusia punya nafsu dan keinginan yang fitrahnya ingin dipuaskan. Maka dari itu ketika demokrasi bergabung dengan kapitalisme maka akan memunculkan sebuah sistem yang tidak manusiawi, sebab keduanya akan mewadahi secara sempurna sifat manusia yang terbatas, lemah,  disisi lain butuh dipuaskan nafsu dan keinginannya, namun dipermudah dengan bolehnya membuat berbagai aturan yang bisa menguntungkan diri maupun segelintir kelompoknya.


Satu-satunya sistem yang manusiawi, yang logis dan solutif sebenarnya dapat kita temui dalam sistem Islam. Karena syariat Islam merupakan aturan kehidupan yang lengkap yang bersumber dari Allah swt sang Pencipta manusia, Zat yang paling faham bagaimana urusan umat manusia seharusnya diatur. Termasuk dalam menangani korupsi, Islam telah punya solusinya. 


Berikut ini metode sistem Islam untuk mencegah terjadi korupsi: Pertama, rekrutmen para aparat negara harus berasaskan profesionalitas dan integritas. Sehingga jangan sampai terjadi korupsi karena ketidak profesionalan menjalankan amanahnya. Misalkan ia kepala desa yang diamanahi dana desa maka ia harus faham bagaimana merancang anggaran dan menyalurkan dana sesuai peruntukannya. Jadi ia harus faham apa saja kebutuhan real penduduk desanya, mana kebutuhan yang darurat harus segera dipenuhi, dan bagaimana penyalurannya secara adil kepada yang membutuhkan. 


Kedua, negara wajib melakukan pembinaan keimanan kepada seluruh aparat dan pegawainya. Ketiga, negara wajib memberikan gaji dan fasilitas yang layak kepada aparatnya. Keempat, larangan menerima suap dan hadiah bagi para aparat negara. Karena para aparatur negara sudah menerima gaji, maka negara melarang mereka mendapatakan harta diluar gaji mereka karena itu termasuk kekayaan gelap menurut pandangan Islam. Rasulullah SWT bersabda " Rasulullah saw telah melaknat penyuap dan penerima suap" (HR.at-Tirmidzi dan Abu Dawud). 


Dalam Islam para aparatur negara juga dilarang keras menerima hadiah (gratifikasi) dalam bentuk apapun, Rasulullah . menegaskan hal tersebut seperti sabdanya " Siapa saja yang kami angkat sebagai pegawai atas suatu pekerjaan, kemudian kami beri dia upahnya, maka apa yang dia ambil selain itu adalah kecurangan". ( HR Abu Dawud). Juga dalam hadis lainnya rasul bersabda " Hadiah yang diterima oleh penguasa adalah kecurangan (HR al-Baihaqi).


Kelima, adanya perhitungan kekayaan bagi aparat negara. Saat khalifah Umar bin Khatthab ra memimpin, beliau mendata harta kekayaan para aparaturnya saat sebelum menjabat dan sesudah menjabat, jika beliau ragu maka harta pejabat tersebut akan dibagi dua, satu untuk pejabat tersebut satu bagian lagi dimasukan ke Baitul Mal. Keenam,  adanya keteladanan dari pemimpin dan pejabatnya. 


Ketujuh, pengawasan oleh individu, negara, masyarakat dan jamaah dakwah. Hal ini tidak seperti saat ini dimana ulama maupun jamaah yang vokal mengkritisi dan menyodorkan solusi Islam ke tengah umat justru mendapatkan tekanan bahkan persekusi. Kedelapan, pemberian hukuman yang setimpal dan tegas. Korupsi dalam pandangan Islam disebut dengan perbuatan Khianat, orangnya disebut khaa’in. Tindakan khaa’in ini tidak termasuk definisi mencuri (sariqah) dalam Syariah Islam, sebab definisi mencuri (sariqah) adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam (akhdzul maal ‘ala wajhil ikhtifaa’ wal istitar). 


Sedang khianat ini bukan tindakan seseorang mengambil harta orang lain, tapi tindakan penghianatan yang dilakukan seseorang, yaitu menggelapkan harta yang memang diamanatkan kepada seseorang itu (Abdurrahman Al Maliki. Nizhamul Uqubat, hlm. 31). 


Oleh karena itu sanksi (uqubat) untuk khaa’in (pelaku khianat) bukanlah hukum potong tangan bagi pencuri sebagaimaa dalam QS. Al Ma’idah : 38, melainkan sanksi ta’zir, yaitu sanksi yang kadarnya ditentukan oleh hakim. Bentuknya mulai dari yang ringan, seperti nasihat atau teguran, sampai yang paling tegas, yaitu hukuman mati. Berat ringannya hukuman disesuaikan dengan berat ringannya kejahatan (Abdurrahman Al Maliki, Nizhamul Uqubat, hlm. 78-89).


Sistem sanksi dalam Islam sangat efektif karena bersifat jawabir dan zawajir. Sebagai jawabir adalah penebus siksaan di akhirat kelak, dan sebagai zawajir adalah pencegah terjadinya tindakan kriminal berulang di kemudian hari karena adanya efek jera.


Demikianlah metode Islam dalam memberantas korupsi. Hanya saja metode tersebut membutuhkan pemerapan sistemik oleh negara. Maka tugas kita bersamalah untuk terus melakukan penyadaran kepada masyarakat bahwa Islam punya syariat yang solutif. Yang penerapannya akan membawa Rahmatan lil alamin. Wallahu a'lam bish showab.


Goresan Pena Dakwah

ibu rumah tangga yang ingin melejitkan potensi menulis, berbagi jariyah aksara demi kemuliaan diri dan kejayaan Islam

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak