Oleh: Rahmawati, S. Pd
(Pendidik dan Pemerhati Generasi)
Di dalam negara demokrasi, pemilihan umum atau kontestasi politik menjadi sebuah agenda wajib per lima tahunan. Sebuah mekanisme untuk menentukan calon pemimpin dari hasil pemilihan. Namun pada praktiknya, adanya aturan Presidential Treshold yaitu ambang batas yang dimiliki partai politik yang memiliki dominasi kursi di DPR RI sebanyak 20% yang kemudian berhak untuk mengajukan nama calon presiden dan wakil presiden (Amsari, 2019).
Fenomena selanjutnya adalah perubahan sikap yang ditunjukkan selama proses menuju pemilihan. Ada kalanya terjadi perubahan sikap yang ditunjukkan ketengah-tengah masyarakat untuk meraih simpati publik dengan kemerakyatannya. Tidak jarang pula terjadi aksi saling menjatuhkan dari pihak-pihak yang ingin mengendaliakan elektabilitas calon tertentu.
Kesepakatan untuk membentuk koalisi besar menjadi teknik dalam pemenangan calon tertentu. Namun pada faktanya, koalisi besar yang sudah terbentuk tidaklah menjamin untuk sebuah kemenangan. Terlepas dari mekanisme pemilihan itu sendiri, inti dari sebuah pemilihan adalah terpilihnya pemimpin yang mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di negeri ini.
Menurut Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah Busyro Muqoddas, setidaknya ada sepuluh masalah utama yang dihadapi bangsa saat ini, yaitu: gurita narkoba, korupsi, suap, praktik penguasaan 77% kekayaan negara oleh oknum tertentu, hukum yang lemah, maraknya mafia suap, kerusakan generasi, parktik keadilan ekonomi rakyat, dan kesenjangan ekonomi yang harus segera diselesaikan.
Dimata masyarakat, demokrai dianggap sesuatu yang sakral dan merupakan satu-satunya sistem pemerintahan yang mampu menyelamatkan dunia. Bahkan Ketika demokrasi terbukti tidak mampu menyelematkan sebuah kondisi negara pun, masih dianggap sebagai proses dari berdemokrasi. Ketika berbicara kelemahan demokrasi, maka akan terbayang tandingannya adalah pemerintah yang otoriter yang sangat tidak diharapkan keberadaannya.
Sebagai hasil dari pemikiran manusia, demokrasi tentu memiliki kelemahan. Dan semboyan ‘dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat’ sudah dibantah oleh pelaksana demokrasi itu sendiri. Sebut saja Presiden Rutherford B. Hayes tahun 1876 mengatakan saat itu berubah menjadi ‘from the company, by company, and for the company’. Yang terjadi di Indonesia justru ‘dari elit, oleh elit dan untuk elit’.
Ini disebabkan yang berperan penting dalam pengambil kebijakan adalah pemilik modal, bukan rakyat. Rakyat hanya berperan dalam pencoblosan ala demokrasi. Yang tidak menjamin rakyat terlibat dalam penentuan keputusan kemaslahatan rakyat. Demokrasi mengajarkan kebebasan kepemilikan dan melegalkan penjajahan. Kebebasan beragama pun dipelihara untuk menyuburkan perselisihan dengan tidak terselesaikannya kelompok aliran sesat dan pelecehan terhadap al qur’an. Kebebasan berperilaku hanya menciptakan output yang destruktif.
Demikian dengan selogan suara terbanyak, pada faktanya banyaknya suara rakyat yang menolak kenaikan harga BBM tidak mampu menjadi pengendali BBM tidak akan pernah mengalami kenaikan. Realita kedaulatan ini memposisikan penguasa sebagai pembuat aturan dan mengesahkan dalam bentuk undang-undang kapanpun dan dimanapun tanpa ada koreksi. Semua kebijakan dibuat semata-mata untuk memuluskan kepentingan tertentu tanpa melihat dampak yang akan diterima masyarakat secara luas. Maka proses birokrasi ataupun aksi penolakan dari rakyat tidak bisa menghentikan pengesahan undang-undang yang sudah menjadi pesanan para pengusaha.
Demikianlah watak demokrasi yang lahir dari rahim sekularisme. Sebuah kebebasan berpendapat yang selalu di elu-elukan hanyalah topeng untuk menutupi wajah sebenarnya demokrasi. Demokrasi menjadikan kedaulatan di tangan rakyat bukan dalam artian melibatkan seluruh rakyat untuk sebuah keputusan tertentu, tetapi hanya pada rakyat yang memiliki kepentingan dan kekuasaan saja. Sehingga muncul kebijakan yang tidak berpihak kepada rakyat.
Pemimpin dalam sistem demokrasi sampai kapan pun tidak akan pernah berpihak kepada rakyat. Tujuan politik yang hanya untuk meraih kekuasaan saja, hanya menggunakan rakyat untuk mendulang suara semata. Setelah tercapainya kekuasaan, pemimpin akan berpaling dari tuntutan rakyat yang seharusnya diperjuangkan. Sebagian besar kebijakan dan peraturan dibuat untuk mengokohkan bisnis penguasa yang pada akhirnya semakin membebani rakyat semata.
Jika masalah dalam negeri ini tidak kunjung terselesaikan, maka hanya berharap pada sistem Islam. Sistem yang tidak ada bandingannya dengan demokrasi, apalagi otoriterian. Islam hadir menjadi penyelesai problem umat manusia, baik muslim, maupun non muslim. Islam meletakkan kedaulatan di tangan Allah SWT (hukum syara) yang terbebas dari kepentingan segelintir manusia serakah, tapi semata-mata untuk kemaslahatan umat manusia.
Islam akan membebaskan negeri-negeri dari penjajahan, perampokan kekayaan alam, degradasi moral, korupsi, krisis hukum dan kerusakan lainnya. Jika pun ada kemakmuran yang ditunjukkan oleh sebuah negara demokrasi, hal itu tidak lain adalah hasil dari eksploitasi dan imperialisme di negara lain.
Pemimpin dalam Islam selalu berpihak kepada rakyat, karena itu adalah tujuan politik dalam Islam, yaitu mengurusi urusan rakyat. Pemimpin sangat memperhatikan rakyat dan menjadikan kepentingan rakyat menjadi kepentingan diatas segala-galanya. Sehingga wajar pemimpin di dalam Islam sangat dicintai rakyat.
Pemimpin di dalam Islam sanagat amanah karena memiliki kesadaran atas hubungannnya dengan Allah SWT di setiap waktu, tidak hanya saat ritual ibadah saja. Pemimpin dalam Islam hanya takut kepada Allah SWT dalam perkara menggunakan harta rakyat, bahkan yang menjadi miliknya pun akan terdedikasikan untuk rakyat. Hanya dalam Islam lah kita akan menemukan pemimpin yang benar-benar tulus berpihak kepada rakyat.
Allah SWT menciptakan manusia sekaligus menciptakan seperangkat aturan yang menjadi bekal dalam mengarungi kehidupan manusia. Jika manusia mampu menjalani seperangkat aturan tersebut, maka umat manusia akan mendapat keselamatan dalam kehidupan. Jika peraturan tersebut dicampakkan, maka akan terjadi kerusakan di dalam setiap aspek kehidupan.
Kembalinya pada aturan Allah SWT yaitu kembalinya pada sistem pemerintahan Islam (khilafah). Ini adalah satu-satunya jalan dalam mencari keridhoan Allah SWT dan keluar dari belenggu permasalahan kehidupan selama ini. Akan mudah ditemukan sosok-sosok pemimpin yang adil dan membawa manusia kembali hidup dalam kemulian Islam. Allahu’alambisshawab.
Tags
Opini