Oleh : Nita Karlina
Praktik pungutan liar atau pungli di lingkungan rumah tahanan (rutan) KPK saat ini tengah menjadi sorotan. Selain total nominal yang besar hingga mencapai Rp4 miliar, sejumlah pihak juga melihat perlunya perombakan sistem di internal KPK.
Kasus ini mencuat setelah Dewan Pengawas (Dewas) KPK mengumumkan adanya temuan praktik pungli di lingkungan rutan KPK. Ketua Dewas KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean menyebut, temuan itu didasari atas inisiatif penyelidikan yang dilakukan oleh Dewas. “Untuk itu dewan pengawas telah menyampaikan kepada pimpinan KPK agar ditindaklanjuti dengan melakukan penyelidikan," kata Tumpak dalam konferensi pers di Gedung ACLC KPK pada Senin, 19 Juni 2023.
Tumpak mengatakan, dalam temuan Dewas KPK tersebut, ada dua unsur pelanggaran yang dapat diselidiki lebih lanjut, yakni dugaan pelanggaran etik dan unsur tindak pidana. “Ini sudah merupakan tindak pidana, melanggar Pasal 12 huruf c, UU 31 tahun 1999 jo UU 20 tahun 2021. Selanjutnya tentunya dewan pengawas juga akan memeriksa masalah etiknya," ujar Tumpak. (Tirto.id,24/06/2023)
Ironis, lembaga KPK yang merupakan lembaga pertama pemberantas korupsi, kini sangat memprihatinkan dalam kelembagaannya sendiri terjadi pungli atau pungutan liar di dalam rutan KPK. Hal tersebut di umumkan oleh dewan pengawas KPK setelah kurang lebih 3 bulan berjalan, dan yang lebih fantastis nilainya sudah mencapai 4 miliar rupiah.
Atas peristiwa ini perlu di pertanyakan bagaimana independensi KPK itu sendiri. Masih teringat dengan kasus ketua KPK, Firli bahuri yang di hukum ringan atas pelanggarannya. Firli terbukti telah melanggar kode etik dan pedoman perilaku terkait penggunaan helikopter untuk kepentingan pribadi. Tak hanya itu, Firli juga sempat di laporkan karna melanggar kode etik ketika memberhentikan salah satu penyidik KPK. Kasus kebocoran data KPK, dan masih banyak kasus lainnya yang menjadi catatan merah untuk Firli, namun Firli selalu lolos akan hukuman dan kasusnya pun dengan cepat di tutup.
Dari kasus tersebut, menunjukan bahwa kronisnya masalah korupsi di negeri kita. Harus di akui bahwa krisis kepemimpinan memang sedang terjadi. Tak hanya di lembaga KPK, tetapi hampir di seluruh instansi pemerintahan. Sementara itu, dugaan adanya upaya pelemahan fungsi KPK melalui revisi UU KPK memang sudah tercium, bahkan sebelum revisi UU itu di sah kan. Fungsi KPK sebagai pemberantas korupsi dipandang di mutilasi, dan di lucuti wewenangnya.
Inilah wajah asli lembaga anti korupsi di negeri kita. KPK seakan di genggam erat oleh rezim, tidak lagi memperhatikan aspirasi masyarakat. Kasus korupsi yang makin menggerogoti negeri ini tidak hanya di sebabkan karna pelemahan fungsi KPK dan krisis kepemimpinan, namun karna sistem kapitalisme yang di emban oleh negeri kita. Kapitalisme berhasil menjadikan pemilik modal berkuasa atas segala bentuk peraturan. Jika menguntungkan, maka apapun akan di lakukan.
Cara Islam Menuntas Korupsi
Agama Islam membagi istilah korupsi dalam beberapa dimensi yakni risywah atau suap, saraqah atau pencurian, al gasysy atau penipuan dan juga khianat atau penghianatan. Istilah dari penggunaan mempunyai pengartian yang luas seperti menyantap, mengeluarkan untuk keperluan ibadah, keperluan sosial dan lain sebagainya. Menggunakan harta kekayaan dari hasil tindak pidana korupsi sama saja dengan hasil rampasan, hasil judi, hasil curian dan hasil haram lainnya. Dengan cara meraihnya yang sama, maka hukum menggunakan hasilnya juga tentunya sama.
Ulama fikih dalam urusan ini juga sepakat jika menggunakan harta yang didapat dengan cara terlarang maka hukumnya adalah haram karena prinsip harta tersebut bukan menjadi milik yang sah namun milik orang lain yang didapat dengan cara terlarang.
Dasar yang menjadi penguat pendapat ulama fikih ini diantaranya adalah firman dari Allah SWT sendiri, “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain di antara kamu dengan jalan yang batil, dan (janganlah) kamu membawa (urusan) hartamu itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari pada harta benda orang lain itu dengan (jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui.” (QS. Al-Baqarah: 188).
Dalam ayat tersebut juga tertulis larangan mengambil harta orang lain yang didapat dengan cara batil seperti menipu, mencuri dan juga korupsi. Harta yang didapat dari hasil korupsi juga bisa diartikan menjadi harta kekayaan yang didapat dengan cara riba, sebab kedua cara ini sama – sama berbentuk ilegal. Jika memakan harta yang diperoleh secara riba itu diharamkan (QS. Ali Imran: 130).
Para ulama juga menggunakan kaidah fikih yang memperlihatkan keharaman dalam memakai harta korupsi yakni “apa yang diharamkan mengambilnya, maka haram juga untuk memberikan atau memanfaatkannya.”
Dalam pandangan syariat Islam, korupsi termasuk salah satu dosa besar, yaitu ghulul (penghianatan terhadap amanat rakyat). Dilihat dari cara kerja dan dampaknya, korupsi dapat dikategorikan sebagai pencurian (sariqah) dan perampokan (nahb). Semua tindakan tersebut tergolong dosa besar yang memiliki sanksi serius dalam Islam.
Ghulul adalah tindakan seorang aparat atau pejabat mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi dan memasukkan ke hartanya. Rasulullah SAW menjelaskan kata ghulul dalam hadis riwayat Adi bin Amirah al-Kindi, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa di antara kalian yang kami tugaskan untuk suatu pekerjaan (urusan), lalu dia menyembunyikan dari kami sebatang jarum atau lebih dari itu maka itu merupakan ghulul (harta korupsi) yang akan dia bawa pada hari kiamat.” (HR. Muslim)
Sebagian ulama mengqiyaskan tindakan korupsi dengan mencuri. Yakni, pelakunya sama-sama dipotong tangan. Dalam hadis disebutkan, “Allah melaknat seorang pencuri yang mencuri sebiji telur sehingga menyebabkan tangannya dipotong dan yang mencuri seutas tali sehingga tangannya dipotong.”
Di samping itu, menurut Imam Malik, pelaku pencurian wajib mengembalikan harta yang telah dicurinya jika dia tergolong orang kaya. Namun, jika miskin, dia dimaafkan untuk tidak mengembalikan hartanya. Pada intinya, hukum potong tangan sebagai hukuman dari perbuatannya. Bukan sebagai tebusan atas apa yang telah dia ambil.
Namun untuk pelaku korupsi, beberapa ulama merasa perlu mengembangkan jenis hukuman tersebut dari hudud (hukum syariat yang sudah jelas aturannya) kepada ta’zir (hukuman berdasarkan kebijakan hakim). Mengingat tindakan korupsi bisa berdampak pada penyengsaraan rakyat, penyelewengan wewenang, hingga membuat pemerintahan tidak bisa berjalan optimal.
Dengan demikian, mustahil berharap menghapus korupsi pada lembaga anti korupsi dalam sistem kapitalis, yang telah nampak jelas tidak independen nya lembaga tersebut.
Maka, kembali kepada hukum Allah adalah solusi tuntas, agar segala bentuk kemaksiatan dapat teratasi. Wallahualam bishowwab