Oleh : Eti Fairuzita
Upaya dalam program hilirisasi tampaknya terus digalakkan oleh pemerintah. Langkah ini dimulai dengan keputusan larangan ekspor nikel dan bauksit dalam bentuk bahan mentah. Pemerintah berdalih bahwa kebijakan hilirisasi akan menambah pendapatan negara, namun apakah semua ini akan terealisasi dan memberikan keuntungan bagi negeri kita.
Pada 1-1-2020, pemerintah resmi melarang ekspor bijih nikel. Pada 10-6-2023, pemerintah juga melakukan pelarangan ekspor bijih bauksit. Hal ini berdasarkan UU 3/2020 tentang Perubahan atas UU 4/2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (UU Minerba).
Sayangnya, kebijakan itu tidak berjalan lancar. Uni Eropa menggugat Indonesia ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) mengenai larangan bijih nikel. Pada Oktober 2022, Indonesia dinyatakan kalah dalam gugatan tersebut.
Setelah itu, IMF dikabarkan meminta Indonesia menghapus kebijakan larangan ekspor biji nikel secara bertahap. Informasi ini berdasarkan dokumen IMF ‘Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia’ yang memberikan catatan mengenai program hilirisasi nikel di Indonesia. (Okezone, 2-7-2023).
Namun, meskipun IMF melarang kebijakan hilirisasi ini, pihak pemerintah RI bersikeras tetap menjalankan program yang dinilai akan menyelamatkan Indonesia. Oleh karena itu, pemerintah sejak awal membuka keran investasi sebesar-besarnya, terutama untuk pengelolaan bijih nikel. Salah satunya dengan PT Vale Indonesia Tbk. (INCO) atau PT Vale yang didirikan pada Juli 1968 dengan nama PT International Nickel Indonesia. Pemerintah dengan PT Vale bekerja sama dengan menandatangani kesepakatan kontrak kerja sejak 1968—2025.
Tidak dipungkiri, ada dampak yang dirasakan Indonesia dengan kebijakan hilirisasi ini. Program baru ini tentu membuat pemerintah mampu menggaet investor masuk Indonesia. Mereka mendirikan smelter (perusahaan pengolah bijih nikel) di beberapa wilayah, seperti Halmahera dengan kapasitas 20.000 ton dan Morowali 30.000 ton. Menurut ESDM, pada 2022, setidaknya sudah ada 15 smelter nikel di penjuru Indonesia. Hasil nikel setengah jadi ini kemudian diekspor ke luar.
Diharapkan, hasil penjualannya akan menambah devisa bagi negara. Tambahan devisa inilah yang dapat menaikkan pendapatan negara sehingga memengaruhi pertumbuhan ekonomi. Jadi, dengan naiknya nilai pertumbuhan ekonomi, pemerintah mengeklaim hal itu sudah cukup menguntungkan. Selain itu, pemerintah juga menilai adanya kebijakan hilirisasi ini akan membuka lapangan pekerjaan, artinya akan mengurangi jumlah pengangguran di dalam negeri.
Sayangnya, iming-iming hilirisasi di atas jauh panggang dari api. Pada kenyataannya, target kebijakan itu bagaikan pungguk merindukan bulan. Keuntungan yang diimpikan tidak tercapai, padahal kebijakan tersebut sudah berjalan hampir tiga tahun.
Dalam dunia pertambangan, pihak yang mendapatkan untung justru para pengelola (investor), yaitu Cina sebagai penanam modal yang mendirikan perusahaan smelter di Indonesia. Cina mendapat untung besar karena tidak perlu keluar banyak biaya untuk mendapatkan bijih nikel. Perusahaan yang dekat dengan wilayah tambang juga akan mengurangi ongkos transportasi.
Investor Cina juga begitu pintar, mereka tidak perlu membuka tambang nikel dan mengurus perizinan. Cukup dengan membeli bijih nikel dari penambang lokal dengan harga murah, mereka akan terbebas dari beberapa kewajiban.
Sejatinya pula, penjualan nikel setengah jadi tidak memberi dampak pendapatan yang tinggi karena harga nikel akan sangat tinggi apabila dijual dalam bentuk sudah jadi. Nah, perusahaan Cina mengelola bahan setengah jadi itu di negaranya sehingga merekalah yang nantinya dapat untung berkali-kali lipat.
Pembukaan perusahaan smelter nikel ini ternyata juga tidak dapat menyerap tenaga kerja dalam negeri. Mereka justru mendatangkan para pekerja dari Cina dan memberinya gaji yang sangat besar. Akibatnya, tidak banyak pengangguran dalam negeri yang dapat bekerja.
Keuntungan yang digadang-gadang Indonesia saat ini juga tak ada artinya. Pasalnya, perusahaan-perusahaan smelter tadi mendapatkan fasilitas istimewa dari pemerintah. Di antaranya, bebas bayar bea masuk, bebas bayar royalti (sebagai pemegang IUI), tax holiday, bebas PPN, bebas pajak ekspor, serta bebas bayar PPH-21 dan iuran izin tinggal terbatas (ITAS) dan dana kompensasi penggunaan TKA (DKPTKA) karena TKA Cina menggunakan visa kunjungan 211.
Akibat langsung bagi masyarakat sekitar daerah smelter adalah kerusakan lingkungan. Limbah hasil pengolahan nikel menggunakan teknologi hidrometalurgi atau high pressure acid leach (HPAL) ternyata sangat berbahaya. Perusahaan membuang zat buangan (tailing) ke perairan. Ini mengakibatkan air tanah dan air laut tercemar, berubah menjadi berbau dan keruh kecokelatan.
Tailing mengandung logam berbahaya, seperti Pb, Cd, Cu, Zn, dan Ni yang nilainya melampaui ambang batas. Kandungan seperti ini tentu tidak cocok untuk lingkungan biota air (tawar atau laut). Kandungan limbah ini juga merusak rumah-rumah ikan. Sisa galian (ore) mengendap di atas terumbu karang. Akhirnya, ikan pun ogah tinggal di sana.
Makin masifnya penambangan nikel pun memunculkan deforestasi yang akhirnya berdampak pada penyerapan air ketika musim hujan. Hasilnya, banjir makin sering terjadi dan surutnya juga memerlukan waktu yang lama.
Apabila dibandingkan dengan keuntungan ekonomi saat ini, kerusakan lingkungan justru memberikan kerugian yang lebih parah. Manusia butuh waktu yang lama untuk memperbaikinya. Dapat kita katakan bahwa kebijakan hilirisasi saat ini masih setengah-setengah. Keberanian pemegang kebijakan melawan IMF juga hanya sebatas lip service.
Pada titik tertentu, dengan permainan IMF dan kroni-kroninya, posisi Indonesia akan terpojokkan karena negara ini bukanlah negara superpower, seperti AS. Mereka tidak akan membiarkan negeri muslim maju sehingga mereka akan terus menjadikan negeri muslim yang kaya, seperti Indonesia, sebagai wilayah tambang yang menggiurkan.
Selama kapitalisme berkuasa di dunia ini, seluruh negeri muslim, termasuk Indonesia, akan tetap dalam cengkeramannya. Oligarki akan terus menggerogoti kekayaan negeri dan rakyat hanya bisa gigit jari. Hasilnya, bukannya untung, rakyat malah buntung.
Dalam Islam, pengelolaan SDA (termasuk barang tambang) haram untuk diprivatisasi, apalagi dikelola investor asing. Pengelolaan tambang hanya boleh dilakukan oleh negara. Jika ada perusahaan yang diminta bekerja sama, status mereka adalah pekerja, bukan pemilik tambang.
Hasil pengelolaan tambang tadi dapat dimanfaatkan sendiri, dapat juga untuk diekspor. Hasilnya wajib dikembalikan kepada rakyat berupa pemberian fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, dan sebagainya. Oligarki tidak boleh sedikit pun mengambil keuntungan tersebut. Jika hasil tambang nanti diekspor, negara juga tidak boleh mengirim ke negara yang jelas-jelas memusuhi Islam.
Demikianlah cara Islam menyelamatkan SDA. Namun, usaha itu hanya dapat dilakukan kalau negara mengambil Islam sebagai landasannya.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini