Oleh : Haniah (Aktivis Dakwah)
Badan Metereologi Klimotologi dan Geofisika (BMKG) telah memprediksi bahwa Indonesia akan menghadapi musim kemarau lebih kering dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Curah hujan selama musim kemarau diprediksi akan normal hingga lebih kering dibandingkan biasanya, sehingga bencana kekeringan bisa mengancam sejumlah sector kehidupan seperti pertanian, kebakaran hutan, krisis air, hingga sejumlah penyakit yang muncul akibat perubahan cuaca ekstrim. Musim kemarau tahun 2023 tiba lebih awal dari sebelumnya. Maka berdasarkan analisis BMKG, saat ini sebesar 28% atau 194 zona musim wilayah Indonesia sudah memasuki musim kemarau. Jika 3 tahun terakhir (2020-2022) kerap didapati hujan di musim kemarau, maka diprediksi hal tersebut tidak akan terjadi pada 2023 ini. berdasarkan laman resmi BMKG, turunnya hujan di musim kemarau 3 tahun terakhir dipicu peristiwa La Nina yang mengakibatkan iklim basah. Namun, pemantauan terbaru, suhu permukaan laut di Samudra Pasifik menunjukkan bahwa saat ini intensitas La Nina terus melemah, dengan indeks pada awal Februari 2023 sebesar -0,61. Suhu muka air laut di Samudra Pasifik yang terus melemah mengarah pada El-Nino pada Juni 2023 yang berakibat semakin menghangat kawasan tersebut.
Peningkatan suhu ini menyebabkan pertumbuhan awan lebih tinggi di wilayah Samudra Pasifik tengah dan mengurangi curah hujan di Indonesia. Dampak El Nino mengakibatkan musim kemarau yang lebih ekstrim akan terjadi di berbagai wilayah Indonesia, tidak terkecuali Provinsi Sulawesi Selatan yang sebagian besar wilayahnya berbatasan dengan selat Makassar. Sebagai salah satu daerah lumbung pangan di Indonesia, Dinas TBH BUN Sulsel telah menyiapkan sejumlah program antisipatif yang telah dan sedang berjalan saat ini. program itu diantaranya pemetaan zona rawan kekeringan, manajemen air, pengaturan pola tanam, persiapan benih unggul hingga bantuan substitusi kepada petani jika terjadi gagal panen.
Perkiraan BMKG wilayah 1 Medan Aryo Prasetyo mengimbau masyarakat untuk memulai menghemat penggunaan air dan memaksimalkan cadangan air. Menurutnya kekeringan tidak merata terjadi akan tetapi bertahap hingga akhir tahun. Dalam keterangan terpisah, kepala Stasiun Klimotologi BMKG Yogyakarta Reni Kraningtyas Menyebut Sembilan Wilayah di Daerah Istimewa Yogyakarta berstatus waspada kekeringan meteorologis, berdasarkan hasil pemantauan 10 Juni 2023. Peluang kekeringan di Sembilan wilayah mencapai 70%. Ia menjelaskan kekeringan meteorologis adalah berkurangnya curah hujan dalam jangka waktu yang panjang dengan kurun waktu bulanan, dua bulan, dan seterusnya.
Ancaman kekeringan berpotensi menimbulkan sejumlah dampak, salah satunya pada sector pertanian dengan system tadah hujan. Menurutnya ketersediaan air tanah berkurang, terjadi kelangkaan air bersih, dan peningkatan potensi terjadinya kebakaran hutan dan lahan, karena itu diperlukan kewaspadaan dan upaya antisipasi dari masyarakat setempat terkait dampak bencana kekeringan, tuturnya.
Pemerintah juga telah mewaspadai dampak terjadinya El-Nino yang memicu kekeringan. Presiden Jokowi telah mengingatkan agar impor beras cepat dilakukan untuk memastikan ketahanan pangan. Indonesia juga mengimpor beras pada tahun lalu untuk mengantisipasi kekurangan pangan.
Ancaman kekeringan adalah suatu keniscayaan ditengah adanya perubahan iklim dengan segala konsekuensinya. Namun upaya antisipasi yang dilakukan Negara hanyalah bersifat kuratif yaitu tidak menyentuh akar persoalan. Bahkan himbauan pengematan air bersih hingga mempercepat impor tidak bisa memastikan dapat terpenuhinya kebutuhan rakyat secara menyeluruh dalam menghadapi kekeringan. Hingga saat ini belum ada upaya dari Negara untuk melakukan pemetaan, mulai dari pemetaan iklim, kondisi cuaca, potensi panas, hujan, dan termasuk dampak terhadap pertanian.
Terjadinya cuaca ekstrim selain disebabkan oleh faktor klimatologis juga dipengaruhi oleh perilaku manusia terhadap bumi. Penggundulan hutan (deforestasi) juga turut terjadi pemicu peningkatan suhu bumi. Laju deforestasi atau pembabatan hutan yang begitu pesat beberapa decade terkahir bukan karena populasi manusia yang bertambah akan tetapi karena tekanan politik globalisasi seperti liberalisasi kehutanan, pertambangan, dll.
Penerapan ekonomi kapitalisme dan system politik demokrasi yang melegalkan liberalisasi SDA dibawah kendali Negara, alhasil Negara mengeluarkan kebijakan terkait konsesi hutan demi melancarkan bisnis para pemilik modal. Disaat yang bersamaan Negara abai terhadap kepentingan rakyat.
Umat harus mengembalikan bumi dan segala isinya kedalam pangkuan system kehidupan dari penciptanya yaitu Allah SWT. Hanya dengan system Islamlah yang akan menyelamatkan bumi dari berbagai bentuk kerusakan. Islam mewajibkan Negara mengurus rakyat dengan baik dan menjamin kesejahteraannya. Negara juga wajib membuat kebijakan yang memperhatikan kepentingan rakyat. Sebagaimana sabda Rasulullah SAW., “Imam (khalifah) adalah rain (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (H.R. Bukhari)/
Air merupakan kebutuhan rakyat yang sangat berkaitan erat dengan kelangsungan hidup manusia. Oleh karena itu, Negara wajib menjaga daur air dan segala aspek yang menjaga keberlangsungannya, baik hutan, iklim, sungai, dan danau.
Islam telah menempatkan air sebagai harta kepemilikan umum (rakyat) yang tidak boleh dikuasai oleh segelintir orang termasuk pihak swasta. Sebab hal tersebut akan menghambat sebagian yang lain untuk mengaksesnya hingga dapat mebahayakan nyawa mereka. Negaralah yang memiliki hak untuk mengelola sumber air agar dapat didistribusikan kepada rakyat secara menyeluruh. Negara akan membangun infrastruktur air terbaik agar air dapat dijangkau oleh masyarakat dimanapun dan kapan pun. Negara juga harus tetap memperhatikan faktor ekologis dan hidrologis, disisi lain tidak bisa dipungkiri beberapa wilayah di negeri ini berpotensi mengalamai anomaly iklim yang dapat mengganggu siklus hidrologi. Diantaranya fenomena el nino yang berdampak kekeringan suatu wilayah. Khilafah akan mengantisipasi dengan melakukan kajian dan riset, dari riset tersebut khilafah meninjak lajuti dengan berbagai rekomendasi dengan solusi yang dibutuhkan dalam menghadapi kondisi ekstrim, baik yang bersifat jangka pendek menengah ataupun jangka panjang.
Adapun upaya khilafah dalam menghadapi dampak anomaly tersebut :
1. Mengedukasi masyarakt secara terus menerus dalam rangka membangun kesadaran dan melibatkan masyarakat secara sistematis dalam menghadapi bencana kekeringan.
2. Membangun rehabilitasi dan memelihara jaringan irigasi serta konservasi lahan air.
3. Memberikan bantuan sarana produksi seperti benih, pupuk, hingga kompas spesifik kepada masyarakat.
4. Bersama masyarakat mengembangkan budaya hemat air.
Disisi lain, ada perilaku manusia juga kebijakan Negara yang menimbulkan dampak buruk seperti pembabatan hutan dan konsesi htan. Demikian juga kebijakan lain yang berpihak pada para pemilik modal, nammun abai kepentingan rakyat. Sudahkah Negara mengantisipasi dampak dari kekeringan yang akan dan sedang terjadi, mulai dari kekurangan air bersih dan ketersediaan pangan.
Wallahua'lam bi ash-shawwab