Oleh: Krisdianti Nurayu Wulandari
Untuk kesekian kalinya, penistaan terhadap agama Islam kembali terjadi. Bukan yang pertama kalinya namun sudah sering kita jumpai berbagai bentuk penistaan terhadap agama Islam, salah satunya adalah pembakaran al-Qur'an. Kali ini aksi pembakaran al-Qur'an dilakukan oleh seorang warga negara Irak bernama Salwan Momika. Dia melakukan aksi tersebut di Swedia. Momika merobek beberapa halaman salinan al-Qur'an dan membakarnya dengan tujuan mengkritik Islam, mengenalkan diri sebagai ateis sekuler di media sosial. (Tempo.co, 30/06/23)
Dia juga memuji politisi sayap kanan Swedia, Rasmus Paludan, yang sebelumnya juga melakukan aksi pembakaran kitab suci umat Islam tersebut. Menurut Momika, Islam adalah ancaman terhadap nilai-nilai Swedia. (Tempo.co, 30/06/23)
Aksi pembakaran al-Qur'an yang dilakukan Momika adalah tindakan yang sangat melukai perasaan umat Islam. Hal ini ditunjukkan dari munculnya berbagai kecaman di seluruh dunia, diantaranya Turki, Irak juga Indonesia.
Sejumlah pejabat Turki mengutuk keputusan pihak berwenang Swedia karena telah mengizinkan tindakan menginjak-injak dan membakar Al-Qur'an. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Irak, yang mengutuk pembakaran al-Qur'an dalam aksi protes yang mendapat izin polisi. Irak menyebut aksi tersebut sebagai tindakan "rasis" dan "tidak bertanggung jawab". Kecaman serupa juga disampaikan Majelis Ulama Indonesia (MUI) melalui keterangan Ketua Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerja Sama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim.
Sudarnoto menyatakan dalam keterangannya kepada media bahwa kebebasan berpendapat dan berekspresi seperti ini sangat merugikan hak-hak warga lain terutama umat Islam yang seharusnya dilindungi oleh pemerintah dan oleh siapapun.
Sering munculnya berbagai aksi penistaan agama di berbagai wilayah salah satunya di Swedia menunjukkan betapa lemahnya umat Islam saat ini. Bagaimana tidak? Para pemimpin Islam hanya bisa melakukan kecaman tanpa adanya tindakan tegas yang bisa membuat para pelaku jera untuk melakukan penistaan tersebut. Tidak ada jaminan yang membuat pelaku untuk tidak mengulangi aksinya kembali. Alhasil, penistaan terhadap agama Islam kerap kali berulang. Dan para pembenci Islam itu akan senantiasa menciptakan makar di tengah-tengah umat.
Umat Islam saat ini bagaikan buih di lautan. Jumlahnya banyak, tetapi tidak berdaya ketika menghadapi penistaan terhadap agamanya. Hal ini senada dengan yang dikatakan Ustadz Ismail Yusanto, “Sekadar melindungi Al-Qur’an tidak bisa, melindungi muruah Nabi tidak bisa, melindungi negeri muslim tidak bisa. Ini harus menjadi pelajaran, beginilah kalau kita lemah. Kenapa kita lemah? Karena tidak bersatu. Kenapa tidak bersatu? Karena kita tidak punya institusi politik global yang menyatukan kita, tidak punya pemimpin yang menyatukan kita,” tegasnya.
Tidak adanya kepemimpinan tunggal di tengah umat yang dapat menjaga serta melindungi kemuliaan Islam dan kaum muslim menjadikannya semakin terpinggirkan. Sebab, umat Islam telah tersekat-sekat oleh ikatan nasionalisme yang sejatinya memecah belah kesatuan umat. Akibatnya, semakin melemahkan umat Islam di kancah dunia.
Oleh karena itu, penjagaan terhadap agama Islam wajib dilakukan. Sebab Islam adalah agama yang rahmatan lil 'aalamiin, rahmat bagi seluruh alam. Dan salah satu tujuan syariat Islam adalah menjaga dan melindungi agama. Dibutuhkan sikap ketegasan untuk menghadapi para penista agama. Sebagaimana yang dicontohkan oleh Khalifah Abdul Hamid yang lantang dan berani untuk mencegah penista agama agar tidak melakukan tindakan tersebut. Jika tetap kekeh melakukan yang demikian, maka Khalifah akan mengambil tindakan tegas sesuai dengan aturan syariat Islam.
Namun, saat ini yang terjadi justru kebalikannya. Maka, adalah suatu hal yang penting untuk terus mendorong penegakan syariat Islam agar umat memahami bahwa satu-satunya pilihan hidup terbaik saat ini dan di masa depan adalah menerapkan syariat Islam dalam segala aspek kehidupan. Wallahahu A'lam
Tags
Opini