Oleh : Eti Fairuzita
Kelangkaan minyak gereng ternyata masih terjadi di tengah masyarakat. Kalaupun ada, harganya sangat mahal. Kebijakan pemerintah ini diklaim sebagai upaya dalam mengatasi kelangkaan minyak goreng, namun sayangnya terjadi kekisruhan dalam hal distribusi. Beberapa waktu lalu, minyakita dijual seharga Rp 16.000 per liter di Pasar Tradisional Jakarta.
Harga tersebut berada di atas Harga Eceran Tertinggi yang ditetapkan Kementerian Perdagangan senilai Rp 14.000 per liter. Selain mahal, Minyakita juga masih dijual bersyarat atau bundling. Artinya, pedagang yang ingin membeli Minyakita dari distributor harus membeli produk lainnya. Kondisi seperti ini jelas akan memberatkan konsumen.
Pembelian Minyakita dari distributor pun masih terbatas. Berdasarkan pantauan Katadata.co.id di Pasar Tradisional Pondok Labu, Jakarta Selatan, Minyakita masih tersedia di beberapa lapak, namun jumlahnya sedikit. Salah satu pedagang sembako, Via Amalia mengatakan, Minyakita dalam seminggu hanya bisa tersedia sebanyak dua dus. Satu dus tersebut berjumlah 12 Minyakita. "Makanya sekarang saya beli Minyakita dari tangan ketiga, jadi harganya lebih mahal," ujar Via kepada Katadata.co.id, di Pasar Tradisional Pondok Labu, Jakarta, Rabu (31/5).
Via mengatakan, dirinya membeli Minyakita dari pihak ketiga senilai Rp 15.000 per kg. Dengan demikian, dia menjual ke konsumen seharga Rp 16.000 per kg. Dia tidak lagi membeli Minyakita di distributor atau agen lantaran ada persyaratan yang harus dipenuhi. Persyaratan tersebut yaitu, harus membeli produk minyak goreng lain atau bundling untuk bisa mendapatkan Minyakita.
Klaim pemerintah yang menjadikan minyakita sebagai solusi mahalnya minyak bagi rakyat kecil nyatanya kurang berhasil. Buktinya, minyakita masih mahal dan untuk mendapatkannya ada syariat yang harus dipenuhi. Kegagalan ini menunjukkan adanya kesalahan regulasi distribusi dan lemahnya kontrol pemerintah atas jalannya rantai distribusi. Harga minyakita kini justru melambung di atas harga eceran tertinggi.
Kondisi ini wajar terjadi karena masyarakat sedang diatur oleh sistem kapitalisme.
Sistem kapitalisme yang berorientasi pada materi, pemilik modal menjadi penguasa sesungguhnya dalam sebuah negara. Sedangkan posisi negara hanya sebatas regulator kebijakan yang tidak memiliki power sedikit pun di depan mereka.
Selain karena efek penimbunan, permasalahan minyak goreng saat ini adalah karena pasokan yang langka, dan tingginya harga. Semua ini disebabkan buruknya tata kelola negara yang kalah di depan para mafia.
Hal tersebut tidak akan terjadi jika negara mengambil peran sebagai raa'in atau pengurus rakyat.
Rasulullah Saw Bersabda :
"Imam (Khalifah) adalah raa'in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya,"(HR. al-Bukhari).
Imam as-Suyuti mengatakan, lafadz raa'in (pemimpin) adalah setiap orang yang mengurusi kepemimpinannya. Lebih lanjut ia mengatakan, "Setiap kamu adalah pemimpin" artinya, penjaga yang terpercaya dengan tugas dan apa saja yang di bawah pengawasannya.
Negara seperti ini tidak akan terwujud kecuali dengan negara yang menerapkan syariat Islam secara kaffah dalam naungan Khilafah.
Sebagai negara periayah, tentu Khilafah akan mengatur agar distribusi minyak goreng sebagai bahan pangan mudah diakses oleh rakyat. Aturan ini dapat dipahami oleh syariat Islam yang mengatur mekanisme pasar dan non pasar.
Dari aspek non pasar negara wajib memastikan ketersediaan bahan untuk produksi minyak goreng.
Dalam hal ini, Khilafah akan memberi perhatian kepada petani sawit melalui biro pertanian dari Kemaslahatan Umat dan diwan iqtha (biro subsidi) dari Baitul Maal.
Perhatian ini bisa berupa intensifikasi dan penggunaan sarana produksi yang lebih canggih. Selain itu bisa juga dilakukan ekstensifikasi untuk meningkatkan luasan lahan pertanian yang diolah sehingga potensi hasilnya juga akan makin besar. Adapun dari aspek pasar, negara wajib mengawasi berjalannya pasar agar sesuai dengan syariat.
Dalam distribusi, Khilafah wajib menghilangkan semua hal yang mengacaukan pasar, seperti tindakam penimbunan, intervensi harga oleh para kartel, monopoli, dan sebagainya. Dimana semua perbuatan tersebut akan menyebabkan kelangkaan barang dan gejolak harga. Dalam kondisi demikian, Khilafah akan memberikan sanksi ta'zir kepada siapapun yang mengancam berjalannya mekanisme pasar dan memerintahkan untuk mengeluarkan barang-barang yang ditimbun.
Abu Umamah al-Bahili berkata, "Rasulullah melarang penimbunan makanan,"(HR. al-Hakim dan al-Baihaqi). Khilafah juga akan memastikan supply dan demand pasar terpenuhi. Pada kasus tidak tercukupinya permintaan, Khilafah boleh memasok barang tersebut sebagai bentuk intervensi pasokan agar kondisi pasar kembali seimbang.
Hal ini pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab tatkala Madinah kekurangan bahan makanan akibat paceklik. Beliau memasok bahan pangan dari Bashrah dan sekitarnya. Beliau menulis surat kepada Abu Musa ra, di Bashrah yang isinya,
"Bantulah umat Muhammad saw ! Mereka hampir binasa,"
Setelah itu beliau juga mengirim surat kepada Amru bin Al-Ash ra dengan isi yang sama, di Mesir.
Kemudian kedua gubernur ini mengirimkan bantuan ke Madinah dalam jumlah besar yang terdiri dari makanan dan bahan pokok berupa gandum.
Khilafah juga tidak mematok harga barang sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah kapitalisme saat ini. Islam memerintahkan agar harga barang diserahkan kepada mekanisme pasar. Dengan konsep ini, harga barang akan terjangkau oleh semua rakyat. Karena mematok harga, hanya akan merusak kestabilan harga barang di pasar.
"Siapa saja yang melakukan intervensi pada sesuatu dari harga-harga kaum muslimin untuk menaikan harga atas mereka, maka adalah hak bagi Allah untuk mendudukannya dengan tempat dari api pada hari kiamat kelak,"(HR. Ahmad, al-Hakim, al-Baihaqi).
Seperti inilah Khilafah menjamin ketersediaan bahan pangan untuk warga negaranya. Bukan hal yang sulit menyediakan minyak goreng sesuai dengan kebutuhan warga. Semua itu mudah asalkan masyarakat diatur dengan sistem Khilafah.
Wallahu alam bish-sawab
Tags
Opini