Sistem Islam; Kunci Keamanan Akidah Dalam Gembok Kesesatan Sekularisme






Oleh: Novi Anggriani, S.Pd

Banyaknya ajaran sesat di Indonesia menjadi kekhawatiran bagi masyarakat. Dari beberapa kasus sebelumnya, sudah ada Ahmadiyah Qadhiyan, Gerakan Fajar Nusantara, Kerajaan Ubur-Ubur, Hakekok Balakasuta. Tak berhenti sampai disitu, baru-baru ini ada pondok pesantren Al Zaytun yang tengah viral di tengah-tengah masyarakat. Pondok pesantren tersebut menampilkan gerakan sholat yang tidak sesuai dengan tata cara dan rukun dari ajaran Islam. Hal itu menuai protes dari masyarakat bahwa apa yang dilakukan oleh Panji Gumilang selaku ketua dari pondok pesantren tersebut sudah menghina ajaran Islam dan mengajarkan kesesatan terhadap para santrinya. Ditambah lagi, peristiwa dugaan pelecehan seksual terhadap santriwati di pondok pesantren Al Zaytun beberapa hari ke belakang yang semakin mencuat.

Pemerintah Lambat Dalam Mengambil Keputusan

Dilansir dari republika.co.id, Ketua Forum Ulama Ummat Indonesia (FUUI), KH Athian Ali, mempertanyakan sikap pemerintah yang lamban dalam menyelesaikan penyimpangan Ma'had Al Zaytun serta adanya keterkaitan dengan NII KW 9. Pemerintah tidak cukup untuk memberikan teguran, tetapi secepatnya mengambil tindakan membubarkan.

"Jadi apa lagi yang mau ditunggu pemerintah? Mengapa ada negara di dalam negara ini dibiarkan. HTI yang punya pemikiran tentang khilafah sudah dibubarkan, FPI juga dibubarkan, loh kok ini Al Zaytun yang jelas punya struktur pemerintahan sendiri malah dibiarkan", ungkapnya.

Athian melihat adanya saling lempar dan menunggu di antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan aparat dalam menyelesaikan persoalan Al Zaytun. Hal tersebut menurutnya justru semakin menimbulkan banyak pertanyaan dan kecurigaan di tengah masyarakat. Ia mengatakan selama 22 tahun Al Zaytun dengan leluasa menyesatkan umat. 

FUUI bahkan mencatat ada sebanyak 151 ribu masyarakat dari berbagai daerah yang pernah bergabung dengan NII KW 9 yang berbasis di Al Zaytun. Kebanyakan adalah buruh, karyawan dan mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi. Bahkan menurutnya banyak mahasiswa yang pernah masuk menjadi anggota NII KW 9 tak bisa melanjutkan studinya lantaran biaya kuliah justru disetorkan sebagai iuran wajib kepada Al Zaytun. 

Athian mengatakan FUUI sudah menyerahkan berbagai dokumen yang berisi temuan dan bukti-bukti penyimpangan ajaran Al Zaytun serta hubungan kuat dengan NII KW 9. Dokumen itu telah diserahkan sejak 2001 kepada Polri, TNI, hingga BIN. Namun menurut Athian hingga saat ini tak ada tindakan apapun terhadap Al Zaytun. 

Sebelumnya Gubernur Jawa Barat, Ridwan Kamil menegaskan akan berkoordinasi dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) terkait dugaan ajaran sesat di Pondok Pesantren Al-Zaytun, Indramayu. Ridwan Kamil menjelaskan, kalau urusan fikih ada di wilayah para ulama. Oleh karena itu, pihaknya sedang berkoordinasi menunggu fatwa dari MUI.

"Kalau fatwanya harus ada tindakan secara keagamaan, maka pemerintah Jawa Barat akan melakukan sebuah ukuran. Karena urusan agama, fiskal, hubungan luar negeri, yustisi, pertahanan keamanan ada wilayah pusat", ujar Ridwan Kamil saat ditemui di Trans Hotel, Kota Bandung, Kamis (15/6/2033). 

Idealnya, menurut dia yang harus turun pertama itu adalah Kementerian Agama melalui Kanwil Kemenag. "Ya, sesuai peraturan perundang-undangan, tapi urusan kondusivitas, menjaga kemanan, demonya tidak merusak itu urusan pemerintah daerah, jadi kami menunggu rekomendasi dari mereka," katanya. 

Liberalisme Mendominasi Keputusan Negara

Mudahnya ajaran sesat masuk di Indonesia menunjukkan bahwa negara tidak ketat dalam menjaga akidah umatnya. Apalagi Indonesia yang masyarakatnya mayoritas muslim, yang mana ajaran sesat itu bisa merusak keimanan kepada Allah, hal itu semestinya patut dijaga keamanannya. Namun seolah pemerintah tidak peduli dengan keselamatan akidah umat. Karena memang pada dasarnya liberalisme juga berperan dalam pengaturan kehidupan negara. Sehingga pertimbangan-pertimbangan yang dilakukan oleh pengusa mengenai ajaran sesat sering terjadi.

Selain itu, kesesatan yang dilakukan oleh Pondok Pesantren Al Zaytun terpampang nyata di berbagai media. Protes rakyat dan ulama di media pun sudah disampaikan untuk membubarkan pesantren itu karena telah terbukti menampilkan pemikiran dan praktek ajaran sholat yang tidak sesuai dengan ajaran Islam. Ini merupakan penghinaan terhadap Islam. Apalagi menjadikan pondok pesantren yang notabenenya tempat pembinaan Islam sebagai tempat pembinaan ajaran sesat. Oleh karena itu, seharusnya negara tidak menunda untuk membubarkannya.
 
Hak Asasi Manusia yang merupakan turunan dari liberalisme menjadikan negara lambat dalam mengambil keputusan. Atas nama HAM, negara lambat dalam memutuskan termasuk soal penghinaan Islam dan kesesatan pondok pesantren Al Zaytun. Sehingga masalah-masalah di negeri ini tidak tuntas diselesaikan karena negara tidak hidup pada peraturan agama, melainkan tumbuh dari ide dasar sekularisme. 

Pernyataan KH Athian Ali mengenai perbedaan tindakan penguasa yang cepat dalam menanggapi aktivitas HTI dan FPI yang menyerukan ide khilafah sangat berbeda dengan Al Zaytun. Padahal khilafah sudah jelas keberadaannya dalam sejarah dan kewajiban untuk menegakkannya yang dibahas dalam fiqih. Namun Al Zaytun yang punya struktur pemerintahannya sendiri dan terbukti sesat begitu lambat ditangani bahkan pemerintah saling melempar tanggung jawab dalam memutuskan pembubarannya. Terbukti juga dengan tidak ditangani pemerintah secara serius dari laporan FUUI, menunjukkan ketidakberpihakan penguasan dalam menangani penghinaan terhadap Islam.

Dari sini kita bisa melihat bahwa penguasa tidak mampu menjaga keamanan akidah umat. Akibatnya ajaran sesat dan penghinaan terhadap Islam mudah dilakukan. Keberanian para pelaku dalam menyesatkan umat dan menghina Islam tidak terlepas pada tidak adanya ketegasan hukum dalam memberikan efek jera. Hal ini merupakan masalah besar dalam menjaga dan menyelamatkan umat dan generasi dari kerusakan pemikiran sesat.

Umat Butuh Islam Kaffah Sebagai Penjaga

Akidah Islam tidak bisa dijaga oleh sistem peraturan lain kecuali sistem Islam. Karena secara alaminya ide-ide yang lahir dari luar Islam justru ide yang rusak. Islam sebagai ideologi punya ciri khas sendiri dalam mengatur hidup manusia. Karena pada dasarnya Islam diturunkan oleh Allah sebagai agama yang sempurna dan pelengkap bagi agama-agama samawi lainnya. Seperti firman Allah SWT: 

الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْإِسْلَامَ دِينًا

“…Pada hari ini telah Aku sempurnakan untukmu agamamu, dan telah Aku cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Aku ridhai Islam sebagai agama bagimu…” [ TQS. Al-Ma'idah 5 : 3]

Hukum- hukum Islam hanya bisa diterapkan di bawah naungan khilafah yang penerapannya mengikuti manhaj kenabian. Penerapan hukum-hukum Islam di dalamnya juga mengatur sistem pemerintahan untuk memenuhi segala perintah Allah, maka keamanan umat untuk menjalankan Islam sesuai yang dicontohkan oleh Rasulullah akan terlaksana. Begitu pun ajaran-ajaran sesat dan penghinaan terhadap Islam hampir tidak ditemukan. Karena hukum bagi pelakunya adalah hukuman mati. Sehingga akan menimbulkan efek jera bagi yang lain agar tidak melakukan hal yang sama.

Seperti yang dilakukan pada periode Mamluk yang berkuasa pada abad ke-13 hingga abad ke-16. Tercatat 60 kasus hukuman mati yang dilakukan oleh negara bagi mereka-mereka yang meninggalkan Islam. Seluruh hukuman ini secara detail merekam tindakan para terpidana secara terbuka mengumumkan perpindahan dan menghina Islam di muka umum. Kejadian serupa tercatat saat umat Islam menguasai Semenanjung Iberia di masa Dinasti Utsmaniyah Turki.

Jabatan kepemimpinan dalam Islam adalah sebuah amanah yang akan dimintai pertanggungjawabannya apabila umat tidak terjaga akidahnya. Maka di dalam sistem pemerintahan Islam, seorang pemimpin akan secara tegas mencegah segala hal yang memunculkan kesesatan dan penghinaan terhadap Islam. Untuk mencegah dharar bagi umat maka dilakukan aktivitas memata-matai (tajassus) terhadap pelaku apabila terlihat mencurigakan dalam menyebarkan ide sesat dan ini adalah tugas Departemen Keamanan Dalam Negeri apabila dilakukan di dalam negeri. Sedangkan apabila aktivitas tajassus ini terjadi di luar negeri maka itu adalah tugas Departemen Peperangan.

Selain itu, tugas dan kepemimpinan dalam Islam sangat jelas pengaturannya. Pemerintahan dalam Islam menjalankan setiap amanahnya berdasarkan ketetapan syariat dan ketika ada masalah mereka tidak saling lempar tanggung jawab. Melainkan akan menyelesaikan masalah tersebut sesuai hukum yang ditetapkan oleh khalifah melalui ijtihad para mujtahid apabila hukum tersebut masih umum di Al-Qur’an dan As-Sunnah. Negara Islam itu negara yang konsisten dalam penjagaan agama, sehingga apapun bentuk penghinaan terhadap akidah dan penyimpangan syariat akan ditindak tegas.

Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak