Oleh: Julia Ummu Adiva
Dilansir dari Healthy Children, bahwa sindrom baby blues termasuk dalam depresi yang dialami selama dan setelah kehamilan. Walaupun hal yang normal dan bisa hilang dalam 10 hari setelah melahirkan. Bahkan, diperkirakan 50-80% dari semua ibu mengalami kondisi ini setelah melahirkan. (Orami.com, 12/08/2022)
Demikian pula, Seperti dilansir dari Republika.com, 28/05/2023 bahwa gangguan kesehatan mental tinggi pada populasi ibu hamil, menyusui, dan ibu dengan anak usia dini tercatat di wilayah Lampung, hampir 25% wanita mengalami gangguan depresi setelah melahirkan. Hal ini terungkap dalam data laporan Indonesia National Adlescent Mental Health Survey (I-NAMHS) 2023.
Dari hasil penelitian Andrianti (2020) terungkap, 32% ibu hamil mengalami depresi dan 27% depresi pascamelahirkan. Selain itu, penelitian skala nasional menunjukkan 50—70% ibu di Indonesia mengalami gejala baby blues. Angka ini tertinggi ketiga di Asia. Dari fakta diatas menggambarkan Ada apa dengan kesehatan mental ibu hingga termasuk dalam tertinggi peringkat ketiga di Asia?
Menurut Psikolog dan Ketua Komunitas perempuan dari Wanita Indonesia Keren (WIK) Maria Ekowati mengatakan, kondisi baby blues biasanya terjadi karena kondisi hormonal, meskipun perempuan sudah lama mempersiapkan diri sebagai calon ibu. Maria juga mengatakan bahwa kondisi baby blues parah yang dialami wanita hamil karena “accident” hingga berada dalam rumah tangga yang tidak harmonis, perselingkuhan hingga KDRT.
Kadang kala, perempuan mengalami momen yang tidak mudah ketika menjalankan peran baru sebagai ibu. Tak jarang, ibu mengalami perubahan suasana hati secara drastis hingga mengalami baby blues syndrome.
Penyebabnya bisa banyak faktor, seperti sulit beradaptasi dari kehidupan sebelum dan sesudah menjadi ibu, perubahan hormon, kurang istirahat lantaran waktu tidur yang tidak teratur, kurangnya dukungan keluarga, kerabat terdekat dan suami ataupun memiliki riwayat gangguan mental.
Di samping faktor tersebut, ada faktor lain yang lebih krusial yang turut memengaruhi tingginya angka baby blues pada populasi ibu hamil dan menyusui, yakni kesiapan menjadi orang tua dan memikul tanggung jawab mengurus anak-anak mereka, terutama dalam sistem sekuler saat ini.
Kesiapan menjadi orang tua tentu tidak ujug-ujug, apalagi terbentuk secara instan dan tiba-tiba. Tidak cukup pula dengan pelatihan atau pembekalan pranikah dari KUA menjelang hari pernikahan. Ada proses panjang untuk membentuk setiap perempuan siap menjadi istri dan ibu bagi anak-anak mereka, yakni proses pendidikan dari usia dini hingga dewasa.
Mengapa banyak perempuan mudah mengeluh dan merasa cemas tatkala menghadapi kondisi baru setelah ia melahirkan? Hal ini lantaran mental mereka tidak terlatih sejak dini untuk menyiapkan diri menjadi ibu dan mengurus rumah tangga.
Di antara kesalahan pendidikan sekuler hari ini adalah ketaksiapan generasi muda memikul tanggung jawab sebagai orang tua. Adakah kurikulum saat ini membentuk kepribadian generasi yang siap bertanggung jawab atas kehidupan mereka?
Sebaliknya, generasi hari ini seolah menjadi generasi bermental “kerupuk” dan serba instan, ketika diuji dengan sedikit cobaan dan musibah, mereka mudah goyah, stres, dan rentan depresi. Ini karena kurikulum sistem pendidikan kita menjauhkan manusia dari aturan agama (Islam). Makna agama dipersempit pada pelaksanaan ibadah ritual semata.
Seharusnya, pendidikan membentuk calon-calon ibu yang siap memikul beban dan tanggung jawab besar. Akan tetapi, calon-calon ibu ini dirusak dengan pola pendidikan sekuler. Jadilah mereka tidak paham cara menjadi ibu arsitek peradaban yang akan melahirkan generasi penerus yang tangguh dan berkualitas.
Disadari atau tidak, kehidupan sekuler kapitalistik telah merenggut kesehatan mental individu. Remaja mengalami gangguan mental karena nilai-nilai sekuler liberal menjadi kiblat gaya hidup mereka. Akibatnya, banyak di antara remaja kita mudah mengalami stres hingga depresi dalam setiap masalah yang menghampiri mereka, bahkan bunuh diri dianggap sebagai solusi terbaik.
Di Amerika Serikat pada hasil risetnya "The Conversation, University of Queensland, dan Johns Hopkins Bloomberg School of Public Health" pada tahun 2022 menunjukkan bahwa 1-20 remaja (5,5%) di Indonesia terdiagnosis memiliki gangguan mental. Artinya, sekitar 2,45 juta remaja di seluruh Indonesia termasuk dalam kelompok orang dengan gangguan jiwa (ODGJ).
Coba bayangkan, bagaimana mereka akan menjadi calon ibu tangguh, sedangkan pada usia muda saja sudah mengalami gangguan mental? Apa jadinya generasi masa depan jika melihat calon-calon ibu pencetak generasi banyak mengalami gangguan mental? Bisakah terwujud generasi tangguh dan berkualitas kelak? Lebih-lebih, peradaban mana pun, jika ingin merusak generasinya, sasaran pertama adalah dengan merusak ibu dan calon ibu mereka. Inilah wajah generasi hasil peradaban sekuler.
Dalam pandangan Islam baby blues syndrome bisa dicegah sejak dini, dengan cara menyiapkan pendidikan dan supporting system, yang dalam hal ini negara sebagai pembuat kebijakan. Bagaimana gambaran Islam dalam menyiapkan calon orang tua masa depan yang tangguh? Berikut tahapannya:
Pertama, menerapkan kurikulum berbasis akidah Islam dengan tujuan membentuk kepribadian Islam pada setiap individu
Kedua, dukungan sistem politik ekonomi Islam yang menyejahterakan. Untuk menghilangkan stres dan beratnya beban hidup, dimana negara harus menjamin terpenuhinya kebutuhan pokok seperti sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan.
Ketiga, lingkungan sosial masyarakat yang Islami. Negara penting dalam menciptakan kehidupan masyarakat yang bersih dari segala kemaksiatan sehingga terwujud masyarakat yang beramar makruf nahi mungkar.
Demikianlah langkah-langkah diatas yang bisa dan dapat di jalankan oleh individu, masyarakat dan tak lepas dari peran negara yang harus berjalan beriringan, sehingga dapat terwujud insan yang bertakwa dan menjadikan suasana keimanan yang kokoh lagi kuat dengan terikat oleh hukum syara.
Wallahu-a'lam bish-shawab[]
Tags
Opini