Sihir Industri Musik, Dopamin Ekonomi ala Kapitalis?





Oleh : Teti Ummu Alif
(Pemerhati Masalah Umat) 

Pasca pandemi industri hiburan tampaknya kembali menggeliat. Pasalnya, industri hiburan populer terutama musik seolah menemukan momen untuk menarik pasar dan cuan dengan segudang agenda konser yang memenuhi jadwal selama setahun belakangan. Pasar even pagelaran musik di Asia diperkirakan akan terus tumbuh hingga 3,27% sepanjang 2023 hingga 2027. Hal ini diprediksi akan menghasilkan volume pasar mencapai US$ 4,51 milyar (Statista.com 2023). Sungguh sebuah industri yang menjadi magnet luar biasa untuk mengeruk keuntungan. 

Sebagai salah satu pasar potensial, Indonesia tak ketinggalan menjadi negara bidikan utama. Animo generasi muda mengikuti konser musik sangat luar biasa. Promotor bermasalah, harga tiket yang melonjak, calo yang bertebaran, jeratan pinjol, belum lagi potensi sampah dan kerusuhan di beberapa daerah nyatanya tak menyurutkan semangat para pemuja musik dan idolanya. 

Lantas seperti apa sesungguhnya sihir industri musik ini di tengah kehidupan generasi muda islam? Mengapa kekuatan penetrasinya seolah tak terbendung? Bagaimana upaya umat islam menghadapi arus industri hiburan yang membius ini? 

Di era digitalisasi saat ini hiburan populer khususnya musik memang mengalami perkembangan yang sangat pesat. Terlebih pada masa pasca pandemi saat ini. Musik merupakan salah satu platform yang sangat digandrungi dan memiliki user yang selalu meningkat disetiap tahun. Baik diskala nasional maupun global. Di Indonesia misalnya, warga +62 bisa menghabiskan waktu selama 27,2 jam untuk mendengarkan musik per minggunya. Bahkan, konon katanya hal ini mengalahkan rekor global yang hanya rerata 21 jam per minggu. Sehingga, pendapatan juga diproyeksi sepanjang 2023 bakal meningkat dengan pertumbuhan tahunan mencapai 4,4%. 

Untuk itu dukungan dari pemerintah pun luar biasa. Lihat saja bagaimana Kementrian Perdagangan bersama Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif menjadikan industri musik sebagai salah satu sumber pendapatan negara. Maka tak heran jika pemerintah akan terus menggalakkan acara konser di masa mendatang tanpa memikirkan akibatnya. Sebab, pajak yang berasal dari bisnis hiburan begitu fantastis. Alhasil generasi muda yang nota bene penikmat musik terbesar akan semakin sulit keluar dari jeratan ini. Bahkan mereka rela merogoh kocek yang dalam hanya demi bertemu sang idola. Setali tiga uang, pemangku kebijakan membuka lebar pintu masuknya para pengusaha dan pelaku industri hiburan ke tanah air. Betapa tidak hanya dengan alasan peningkatan ekonomi, izin konser sangat mudah didapatkan. Sehingga negara begitu mudah meraup cuan hanya lewat gelaran konser musik. 

Hal ini bisa dilihat bagaimana konser musik girl band asal Korea Blackpink pada beberapa waktu lalu mampu meningkatkan PAD DKI Jakarta. Dimana pada April 2023 tercatat mencapai Rp12,28 triliun. APBD DKI Jakarta pun surplus sebesar Rp4,04 triliun dari konser yang berlangsung pada 11—12 Maret 2023 itu. Kini, Pemda DKI bersiap meraup kucuran uang dari konser Coldplay pada 15-11-2023 mendatang di Gelora Bung Karno (CNBC Indonesia 13/4). Bahkan, Kemenkeu mencatat, pemda sudah mengantongi Rp640,8 miliar hanya dari pajak hiburan. Konser musik memberikan banyak sumbangsih yang telah diperhitungkan pemda. Inilah salah satu alasan konser musik di sejumlah daerah mudah diselenggarakan tanpa kendala.

Jika dicermati, kondisi ini memang sangat wajar terjadi di alam kapitalisme. Karena, pajak sendiri merupakan urat nadi bagi keberlangsungan negara selain utang. Kedua sumber ini kerap digunakan untuk menambal defisit anggaran. Mirisnya, pada saat yang sama sumber daya alam yang melimpah malah diserahkan kepada swasta. Sedangkan para pejabat mengurus rakyat dengan memungut pajak. Realita ini sesungguhnya kian menegaskan bahwa para pemangku kebijakan tengah frustasi dalam mengurusi negara. Mereka tidak mampu lagi memikirkan cara terbaik mengelola SDA untuk kesejahteraan rakyat. Sebab, negara kita terjajah oleh sistem ekonomi kapitalisme liberal beserta sistem sosial dan politiknya. Maka tak heran jika tidak ada benteng kuat untuk menahan pengaruh gaya hidup liberal berupa konser musik bertaraf internasional.

Oleh karena itu, kita seyogianya sadar bahwa generasi muda muslim saat ini adalah mangsa empuk sistem kapitalisme. Berbagai konser musik telah mengeksploitasi jiwa anak muda dan menguras kantong mereka. Mereka mengidolakan para idola di luar Islam, padahal semestinya generasi muda muslim mengidolakan Rasulullah saw., para sahabat dan shahabiyyah, serta para ulama salaf saleh. Rasulullah saw. bersabda, “Janganlah kalian menjadi imma’ah, (yakni) kalian berkata, ‘Jika orang-orang baik, kami pun ikut baik. Jika mereka zalim, kami pun ikut zalim. Akan tetapi, siapkan diri kalian (untuk menerima kebenaran dan kebaikan), (yakni) jika orang-orang baik, kalian harus baik; dan jika mereka rusak kalian, jangan menjadi orang zalim.” (HR Tirmidzi).

Generasi muda muslim harus memiliki ifah, yakni menjaga kehormatan diri dan tidak mau mengerjakan hal keji. Juga menjadi generasi izah, yakni generasi yang mulia dan kuat. Bukan generasi imma’ah, yakni pengikut yang terbawa arus gaya hidup hedonistik. Sejatinya pula kaum muslim harus menyadari efek sejumlah konser musik atas akidah dan ajaran agama mereka.

Negara tidak boleh semata memandang faktor keuntungan karena telah menaikkan pendapatan daerah. Negara harus menyadari bahwa ini bentuk penjajahan asing atas nilai-nilai agama, serta melemahkan dan merusak generasi muda, khususnya pemuda muslim. Selamatkan generasi muda dengan islam kaffah agar tidak dijadikan sebagai dopamin ekonomi. Wallahu a'lam.

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak